
Ringkasan
Ghea Ananda adalah seorang perempuan berusia 30 tahun yang telah mengganggur selama dua tahun setelah di-PHK perusahaan lama. Status melajang tanpa pekerjaan dan hanya hobi rebahan sampai menonton Uttararan, membuat Ghea dipaksa menikah oleh keluarga dan para tetangga yang sering julid bila Ghea lewat. Jangan kan menikah, pacar atau gebetan saja Ghea tidak punya. Tidak ingin menjadi buah bibir orang banyak, Ghea pun teringat tentang janji masa kecilnya dengan Yandi Asmad, tetangga sekaligus sahabat Ghea sejak kecil. Pernikahan itu pun terjadi. Sayangnya, pernikahan tidak semulus dugaan Ghea. Sebab, mantan sang suami tiba-tiba memasuki kehidupan Yandi lagi. Apalagi dia harus menerima kenyataan kalau mantan pacar Yandi ternyata sudah bersuami. Ghea dengan segala kekoplakannya harus mempertahankan Yandi apa pun yang terjadi demi menjadi ibu rumah tangga yang happy tanpa perlu mencari uang sendiri. Banzai!
Bab. 1 Nikah, Yuk!
"Semua orang akan menikah pada waktunya. Kalau belum, pilihannya hanya dua, sabar atau maksa saja."
- Ghea -
Pengangguran adalah sebutan untuk seseorang yang tidak memiliki pekerjaan, hobi rebahan, menjadi beban keluarga dan bisanya cuma numpang tidur serta makan. Begitu definisi yang diberikan Fara, Ibu Ghea, pada anak perempuannya setiap kali melihat anaknya sedang rebahan dan main handphone. Padahal, Ghea sebenarnya bukan tidak mau memiliki pekerjaan, hanya saja, dia enggan menjadi seseorang yang berpenghasilan. Trauma karena masa lalu di perusahaan lama.
Ghea sebenarnya dulu memiliki pekerjaan. Dia pernah bekerja sebagai leader produksi di salah satu perusahaan ponsel milik negara beban dunia. Akan tetapi, di-PHK dan belum mendapatkan pekerjaan baru selama dua tahun lamanya. Usia yang tidak lagi muda, hampir tiga puluh tahun, membuatnya susah mendapatkan pekerjaan. Melamar sana-sini, belum menampakkan hasil. Jangankan dipanggil untuk wawancara, lamarannya saja sepertinya tidak dibaca. Hidup di negara yang penduduknya dikenal santuy, ternyata hanya wacana. Mulut tetangga dan keluarganya tidak sesantuy dugaannya. Nahasnya, pekerjaan bukan satu-satunya masalah hidup Ghea. Sebab, di usia yang terbilang sudah matang, dia juga diharuskan melakukan satu hal lagi yang tidak bisa ditunda menurut keluarganya, terutama Fara, ibunya.
"Ghea, kapan nikah? Tiga bulan lagi kamu sudah berumur tiga puluh tahun, lho." Pertanyaan serupa selalu dilontarkan untuknya di setiap kesempatan. Saat berkumpul dengan keluarga, ada acara nikahan tetangga, reuni dengan teman SMA. Bahkan, keluar sebentar menghirup udara pagi pun, tidak luput dari serangan. Ghea sudah bosan. Muak dengan pertanyaan yang dia sendiri tidak tahu jawabannya. Jangankan menikah, pacar saja dia tidak punya.
Ghea pernah memiliki pacar saat kuliah dulu. Hubungan itu berjalan sekitar tiga Minggu. Kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Tidak mudah untuk bangkit dan menata hati. Sebab move on dan membuka hati adalah dua perkara yang berbeda. Ghea trauma, tetapi tidak berarti putus asa untuk kembali jatuh cinta. Dia hanya belum menemukan lelaki yang bisa membuatnya nyaman dan ingin berkomitmen saja. Meskipun untuk orang lain, itu terdengar seperti alasan belaka.
"Kalau sampai usia tiga puluh tahun kamu nggak dapat pekerjaan, pilihannya cuma dua." Fara berbicara penuh penekanan. Ghea dan anggota keluarga lain, di meja makan hanya terdiam, tidak berani menyela atau merespon berlebihan. "Kamu menikah atau kerja serabutan sana. Jadi pembantu, pekerja kafe atau penjaga toko baju sekalian."
Ghea langsung batuk-batuk. Jenis pekerjaan yang Fara sebutkan sama sekali tidak cocok untuknya. Pernah, Ghea menjadi pramusaji dengan gaji seratus ribu per malam. Esoknya dia langsung sakit dan gaji yang baru didapat lenyap untuk berobat. Bukannya manja, tapi Ghea tidak cocok dengan pekerjaan yang memakai tenaga.
"Ghea nikah aja, Bun." Tegas, dia menjawab, membuat seluruh anggota keluarga menatap heran kepadanya.
Bukan tanpa alasan bila seluruh keluarga kaget dengan pernyataan dan jawaban enteng Ghea, mengingat selama ini, Ghea hampir tidak pernah dekat atau menjalin hubungan dengan lelaki mana pun. Bahkan, dia sempat dicurigai penyuka sesama hawa. Beruntung, anggapan itu tidak berlangsung lama sebab nyatanya Ghea tidak tertarik dengan siapa pun, baik lelaki atau perempuan. Di balik kelegaan kalau Ghea bukan penyuka sesama hawa, tetap saja, Fara, ibu Ghea, sangat mengkhawatirkan masa depan putrinya. Oleh karena itu, setelah berdiskusi dengan suami tercintanya, Fara dan suaminya sepakat untuk mendesak Ghea agar buru-buru menikah dan meninggalkan status lajangnya. Dengan menjadi ibu rumah tangga. Fara berpikir, status pengangguran Ghea pun tidak akan menjadi masalah di masa depan.
"Sama siapa, Kak?" Hardi, si bungsu, memberanikan diri bertanya karena penasaran.
"Manusia, dong. Bentar." Ghea mengambil ponsel di saku celananya, mengetikkan beberapa kalimat dan menekan tombol send. "Bentar lagi calon mempelai lekakinya datang." Ia memamerkan senyuman bangga membuat Fara dan anggota keluarga yang lain berpandangan dengan heran.
"Kamu jangan ngerjain Bunda, lho. Ini masalah serius, Ghea." Fara memperingatkan.
"Nggak, kok, Bun. Tenang saja."
"Sungguh?" Fara masih tidak percaya.
"Iya, Bun. Sungguhan, kok." Ghea menjawab dengan yakin membuat Fara sedikit tenang meskipun tetap gelisah karena penasaran siapa calon suami Ghea yang akan datang ke hadapan mereka.
Tak lama kemudian seorang lelaki muncul dengan memakai setelan kemeja putih polos dan celana kain berwarna hitam. Smeua orang terdiam karena tidak menyangka kalau lelaki itu yang akan datang mengingat mereka sudah sering melihat lelaki itu di dalam kehidupan sehari-hari. Walau rasanya tidak percaya kalau Ghea yang terkenal tidak tertarik dengan siapa pun, ternyata akan menentukan pilihan kepada lelaki yang terbilang terlalu baik untuk seorang Ghea yang urakan dan berantakan, baik sebagai wanita atau manusia.
"Pengangguran, ngapain, kok, aku harus ke sini pakai baju begini? Ada acara apa?" Lelaki berpostur tinggi dan tegap dengan rambut pendek muncul. Dia Yandi, tetangga sekaligus sahabat sejak kecil Ghea. Raut wajahnya jelas tidak terlihat santai, sepertinya dia terburu-buru datang karena pesan singkat dari Ghea.
"Yan, duduk sini!" Ghea mengusir paksa adik keduanya, Royyan, dari kursinya lantas meminta Yandi untuk duduk di sana.
Yandi hanya menurut lantas duduk di kursi samping Ghea.
"Kamu masih ingat nggak janji masa kecil kita dulu?" Ghea memberikan senyuman penuh arti membuat Yandi mendadak ngeri. Firasatnya mendadak buruk.
"Yang mana?" Yandi pura-pura lupa.
"Kamu bakal iya.in semua permintaanku."
"Kamu mau apa?"
"Nikah, yuk!"
Hening beberapa saat. Pupil mata Yandi seketika melebar setelah otaknya berhasil mencerna ucapan terakhir Ghea.
"Hah? Kenapa aku harus menikah dengan tutup toples kayak kamu?" Yandi terlalu shock. Ucapan jujurnya membuat Gaza, ayah Ghea langsung berdehem dua kali.
"Sorry, Om. Sepertinya saya harus membawa Ghea ke rumah sakit jiwa. Lama menggangur membuatnya rada gila." Yandi merasa tidak enak hati. Meskipun dia ingin lebih mencaci maki Ghea agar lebih sadar diri. "Kamu sakit atau gimana? Kejedot di mana, sih? Aku jedotin lagi biar sadar!" Yandi gemas sampai ingin meninju orang.
Ghea cemberut. Reaksi Yandi saat ini di luar ekspektasinya, "Janji adalah hutang, Yan. Kita harus nikah pokoknya." Ghea memaksa, tidak mau menerima penolakan. "Udah ya, Bun. Masalahnya sudah beres. Tinggal Bunda atur aja sama orang tua Yandi kapan kami nikahnya. Ghea ke kamar dulu, udah kenyang."
Perempuan itu melenggang pergi meninggalkan ruang makan dan masuk ke kamarnya. Sengaja dia mengunci pintu. Tidak mau diganggu.
Di atas kasur, Ghea merebahkan diri. Guling sana-sini menguji tingkat kenyamanan kasurnya lantas melihat layar ponselnya, ingin melanjutkan serial Uttaran yang belum selesai ditonton. Belasan miscall dan pesan dari Yandi tidak dipedulikan. Tapasya is number one.
