Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 6 Obrolan Hati

"Hatiku sedang tak bertuan. Kamu boleh ngisi, siapa tahu nyaman terus ke pelaminan."

- Ghea -

Rebahan, main ponsel dan ngemelin pocky, hasil menjarah uang dollar milik Hardi, Ghea benar-benar menikmati hidupnya. Fara dan kedua adiknya sedang pergi bersama Gaza, undangan jauh ke luar kota, sehingga tidak akan ada yang menganggu Ghea. Pada akhirnya dia mungkin akan berhasil menamatkan serial Uttaran untuk kedua kalinya.

"Ghea!" Suara teriakan itu berasal dari ruang tamu. Dari suaranya, Ghea sudah tahu siapa yang memanggil. Namun, dia memilih untuk mengabaikan.

"Aku bawain martabak manis Bangka!" Bujukan yang manis dan mengenyangkan. Ghea segera meletakkan ponsel dan keluar dari kamarnya.

"Anjir! Ghea, pakai baju, dong!!!" Yandi langsung protes saat melihat calon istrinya hanya mengenakan celana pendek dan tank top saja. Sementara rambutnya diikat satu memperlihatkan leher putih dan jenjang milik perempuan tersebut.

"Aku nggak telanjang, Yan. Jangan lebay, deh." Ghea menanggapi santai, duduk di sofa dengan kaki bersila. "Mana martabaknya? Aku lapar, nih. Bunda dan lainnnya sedang pergi, ke undangan kawan ayah."

Yandi meletakkan martabak manis di tangannya ke atas meja lalu melepas jaket yang dikenakannya dan memakaikannya pada Ghea.

"Jangan pakai baju haram santai begitu, dong. Bukannya seksi, kamu malah terlihat kayak cacing kremi." Yandi memberikan opini.

Ghea tidak peduli, asyik memakan martabak manis pemberitaan Yandi. Mulutnya sampai belepotan. Yandi dengan sigap meraih tisu di meja dan menyeka bibir teman kecilnya itu. Ghea hanya diam, sesekali memanyunkan bibir, ingin menggoda Yandi. Namun, lelaki itu sama sekali tidak menanggapi.

"Kamu homo, Yan?"

Yandi langsung menampar pelan bibir Ghea, "Ini mulut lupa dibacain doa apa gimana? Sembarangan aja nuduhnya! Aku normal, kok. Buktinya mau nikah sama kamu!"

Ghea hanya manggut-manggut. "Kok, mau? Selain aku, nggak ada yang mau nikah sama kamu, Yan?"

Yandi seperti ingin menjitak kepala Ghea biar kembali waras. Namun, perempuan itu memang sudah gila dari dulu. Yandi tidak mau membuang tenaga dengan percuma.

"Kamu ini gimana, sih? Kalau aku nggak mau, kamu pasti nuduh aku ingkar janji dan bakal ngedrama ke orang tuaku kan? Mereka udah pada setuju, aku bisa apa?" Yandi terdengar pasrah.

"Ah, kamu kepaksa?" Ghea terlambat sadar diri. Yandi sampai tertawa geli, saking tidak lucunya dia menganggap keoonan Ghea sebagai pelipur lara di hidupnya yang buruk.

"Ghea, nikah itu nggak sehari-dua hari, kamu yakin mau nikah sama aku? Aku cuma karyawan dengan gaji kecil, lho. Aku juga belum punya rumah sendiri dan kendaraan cuma sepeda motor doang." Yandi terlihat sangat serius. Pandangannya mengarah lurus ke arah manik hitam Ghea. "Setelah nikah, gimana? Mau tinggal di rumahku atau ngontrak aja?"

Ghea tidak menjawab, tenggorokannya mendadak kering, suaranya tidak keluar.

"Aku nggak mau kamu nyesel setelah kita nikah, Ghea. Kamu tahu kan, aku cuma ingin nikah sekali. Kalau ujung-ujungnya bercerai, lebih baik kita nggak usah nikah. Aku nggak mau merusak pertemanan di antara kita dan orang tua," lanjut Yandi.

Ghea masih tidak menjawab, pita suaranya seperti nge-lag mendadak membuatnya sedikit panik. Ia berlari ke dapur, meninggalkan Yandi. Meminum dua gelas air, tenggorokannya langsung lancar.

"Ghea, kok, aku ditinggal, sih? Kita lagi ngomong serius dan..."

"Rrrr....ah." Ghea bersendawa, keras, nyaring dan tepat di depan wajah Yandi membuat lelaki itu segera memasang wajah datar.

"Kamu sengaja kan?" Yandi sebal.

Ghea langsung menggeleng, "Kagak. Itu salah martabak cokelat, lho. Tenggorokanku langsung macet. Ini baru lancar lagi."

Yandi berdecak sebal, "Bodo ah. Aku pulang!"

Yandi balik badan, hendak pergi. Langkahnya tertahan saat Ghea menangkap lengannya. Mereka bersitatap beberapa detik lantas saling menjauh dan membuat ekspresi seperti mau muntah.

"Jijik, ah." Ghea merinding. Bulu kuduknya berdiri semua, seperti baru saja bertemu dengan setan.

"Kamu ini, emangnya tetap mau nikah? Tatapan saja kamu udah jijik." Yandi berjalan ke ruang tamu, menyusul Ghea yang sudah jalan duluan.

"Itu bisa diusahakan. Yang penting, aku nikah dulu sama kamu. Bunda pengen aku nikah cepat, kamu calon yang terkuat."

"Aku tanya, memannya kamu cinta sama aku?"

"Nggak, dong." Ghea menjawab cepat, tidak ada keraguan. "Tapi, bisa diusahakan. Banyak kan yang nikah awalnya nggak saling cinta, cukup saling percaya saja. Kita sudah kenal lama, aku yakin kamu bisa jadi suami yang baik buat aku. Setia dan nggak neko-neko." Ia memberikan pendapat terjujurnya. "Meski kamu biasa aja, nggak ganteng dan rada miskin."

Yandi meringis mendengar kalimat terakhir Ghea. "Sadar, Oi! Kamu juga nggak cantik, jorok dan bau!"

Ghea terkekeh, "Gini-gini mau kamu nikahin kan?" Sengaja, Ghea mengedipkan satu mata, menggoda Yandi membuat lelaki manis itu mendengus sebal.

"Itu karena kamu paksa. Sadar diri, dong!"

Ghea tidak peduli, meraih satu potong martabak dan memakannya dengan lahap.

"Jadi, kapan aku harus ngelamar kamu secara resmi? Mama nanyain dari dua hari yang lalu. Kalau malam ini aku nggak dapat jawaban, mama nyuruh aku tidur di teras." Yandi memberitahukan maksud kedatangannya.

"Lusa saja. Kan hari Minggu, kamu juga nggak kerja. Bunda dan ayah juga kayaknya nggak sibuk. Satu lagi, Aldo bakal pulang." Ghea memberikan pendapat.

Aldo adalah adik lelaki pertama dan tertua Ghea. Saat ini pemuda berusia sekitar dua puluh tahun tersebut sedang di Malang, kuliah di sana.

"Ah, gitu. Baiklah." Yandi setuju.

"Ngomong-ngomong, kamu mau mengundang teman SMA kita nggak? Dari kemarin aku diteror gara-gara kamu nggak bisa jaga mulut dari Novita. Si centil itu koar-koar di grup dan ngebuat aku diketawain satu grup," curhatnya.

Ghea hanya nyengir, "Sorry, tapi kita nikahnya sederhana aja. Aku nggak punya uang buat nyumbang."

"Oon! Di mana-mana biaya nikah itu dari pihak cowok! Bukan mempelai cewek. Paham?"

Ghea nyengir lagi. "makasih," ucapnya dengan tulus.

Yandi terdiam sebentar lalu bergidik ngeri, "Apa, nih? Kenapa kamu bilang makasih? Aku merasa sedang ditatap setan. Dingin!"

Ghea mendengus, "Pulang sana! Berduaan sebelum nikah bisa bahaya. Nanti kamu tergoda dan melakukan hal macem-macem pada Ghea, perempuan suci dan polos ini." Kegilaan Ghea kumat.

"Dih, suci dan polos? Jangan mimpi, perempuan tua. Kamu bukan polos, cuma soal percintaan nggak lulus. Kandas!" Yandi menyanggah.

"Kampret! Kamu juga nggak lulus. Bahkan kamu nggak pernah pacaran kan?" Ghea tidak terima.

"Kata siapa?" Yandi menatap Ghea serius.

"Hah?" Perempuan itu melongo.

"Aku pulang." Yandi berlalu pergi. Sementara Ghea hanya diam, gurat kesedihan di mata Yandi barusan membuatnya diam.

Apa itu? Yandi pernah pacaran? Kok, aku nggak tahu? Otak Ghea penuh dengan tanda tanya. Walau daripada benar atau tidak, Ghea jauh penasaran jenis kelamin dari mantan pacar Yandi, jika memang itu benar. Yah, meski dia tidak berniat kepo, rasa keingintahuan manusia memang sulit dipendam. Bahkan, oleh seorang Ghea sekali pun.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel