Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 4 Koplak Bridge

"Manusia boleh memiliki keinginan. Namun, keadaan selalu punya kenyataan."

- Yandi -

Yandi nyaris terlelap setelah meminum obat dan merasa mendingan. Demamnya sudah agak turun, tidak setinggi sebelumnya. Oleh karena itu, dia merasa kalau tidur adalah keinginan terbesar yang ingin diwujudkan saat ini. Akan tetapi, suara pintu kamar dibuka, disertai omelan tidak jelas, membuat rasa kantuknya hijrah entah ke mana.

"Yan, kamu tahu nggak? Tante Tuna ngambek gara-gara aku bilang, kamu cinta mati sama aku dibanding sama anaknya!" Ghea masuk dan langsung duduk di tepi kasur Yandi. Tidak peduli meskipun lelaki berkulit putih pucat tersebut memelototinya seolah ingin menelannya bulat-bulat.

"Kamu rabun, Yan? Ngeliatin gitu banget? Nggak beli kacamata aja? Beli sendiri, aku nggak punya uang." Ghea sama sekali tidak mengerti tatapan lelaki. Yandi menyerah, membalikkan badan, ingin tidur dan menganggap Ghea sebagai udara. Ada, tapi tidak bisa dilihat oleh mata.

"Yan, kamu denger nggak? Aku lagi ngomong, dengerin, dong!" Ghea menoel-noel kaki Yandi yang tertutup selimut. "Kalau nggak ditanggapin, aku teriak, nih. Bilang ibumu kalau kamu pernah narik kutangku!"

"Anjir! Kamu kalau ngomong jangan sembarangan, Ghea! Itu masa lalu! Udah dulu! Dari kelas 6 SD sampai sekarang, sampai berapa kali aku harus minta maaf biar kamu nggak bahas itu lagi?" Yandi merasa sebal. Kesalahan masa lalunya selalu diungkit, membuatnya menjadi seperti penjahat meskipun sudah melakukan penebusan dosa dengan taat.

Ghea mengembangkan senyuman, "selamanya," sahutnya dengan puas.

Yandi berdecak sebal. Rasanya, dia ingin menyeret Ghea keluar dan mengunci pintu kamar agar makhluk astral satu itu hilang dari pandangannya. Dia ingin sendirian dan tidur. Itu saja.

"Lagian, kamu ngapain berantem sama tante Tuna? Kalau gabut, mending nonton Uttaran. Kamu biasanya juga begitu kan?" Yandi memberikan usulan.

"Maunya gitu, tapi bunda bilang, aku harus beli garam terus ke rumahmu. Katanya kamu sakit. Sakit apa?" Ghea meletakkan tangan kirinya di kening Yandi. "Nggak panas, nih. Bohong ya?"

"Udah turun demamnya! Sekarang aku mau tidur, kepalaku pening. Kamu pulang sana!" Yandi menyuarakan isi hatinya, barangkali Ghea akan mengerti lalu pergi.

"Ini calon istrimu, Yan. Jangan diusir, dong. Nanti aku sakit hati terus nangis." Ghea memasang wajah memelas membuat Yandi merasakan aura tidak enak. Apalagi saat mata mereka bertatapan.

"Hum tere bin ab reh nahi sakte,

Tere bina kya wajood mera?

Tujh se juda agar ho jaayenge,

Toh khud se hi ho jaayenge juda." Ghea mulai bernyanyi, menyanyikan lagu Tum Hi Ho.

Yandi mendesah kasar, memiliki kebiasaan menyanyikan lagu India full song setiap kali merasa sedih, membuat Yandi harus memutar otak agar Ghea berhenti bernyanyi. Lagipula, ibunya akan marah kalau tahu Ghea, calon menantu dadakannya, sedih karena hal sepele. Dirinya pasti akan disalahkan.

"Aaj ke ladke I tell you, kitne lallu what to do? Koi mujhe poochhe how are you? koi mujhe bole how do you do?" Yandi berhenti, menilik respons Ghea. Perempuan dengan rambut cepol dua tersebut sedang menatapnya dengan senyuman merekah bak bunga sedang mekar. Matanya mengisyaratkan agar nyanyian Yandi diteruskan. Yandi terpaksa melakukannya.

"Kabhi koi mujhse na kahe... Oh my darling I love you."

"Oh my darling I love you!!!" Ghea menyambung dengan semangat. Sekarang, perempuan itu tertawa, cerah, seperti matahari pukul dua belas siang. Silau.

"Haha."

Yandi dan Ghea langsung menoleh ke arah pintu. Di sana, Ajeng, adik Yandi, sedang terbahak sembari memegangi perutnya. Dia pasti merasa lucu dan geli saat pecinta Jepang mendadak bernyanyi India. Jika diibaratkan seperti seseorang yang memakai baju pengantin, tapi malah datang ke pemakaman. Canggung banget! Parah!

"Astagfirullah, Kak Yan..." Ajeng tidak sanggup meneruskan kata-katanya. Air matanya turun saking ngakaknya. Yandi hanya bungkam, wajahnya sudah memerah karena malu.

"Ay-ya-ya

Hatiku tergoda

Ay-ya-ya

Sungguh mempesona

Ay-ya-ya

Saat memandangmu hati bergetar..."

Ajeng bernyanyi heboh setelah tawanya mereda. Dia menyeringai licik pada Yandi yang masih diam, mendadak kehilangan kemampuan untuk bicara.

"Oppa Nassar kiyowo. Sarange! Kak Yandi, amit-amit. Haha." Tawa penuh kepuasaan Ajeng membahana ke seluruh kamar. Semua gara-gara Ghea yang lupa menutup lagi pintu kamarnya tadi.

Yandi rasanya ingin menangkap, memasukkan Ajeng dan Ghea ke dalam karung lalu memasukkan mereka ke laut mati agar tidak bisa ditemukan lagi. Sayang, itu hanya impian yang tidak bisa dilaksanakan. Doa yang tidak boleh diwujudkan. Sebab, doa buruk sering berbalik ke diri sendiri. Jadi, sangat tidak dianjurkan.

"Jeng, suaramu ganggu. Tutup pintunya, terus ke dapur, ngemilin kencur sana baru belajar nyanyi!" Ghea berucap lantang dan tanpa dosa membuat Yandi seperti menemukan secercah harapan untuk kembali hidup.

"Sorry."

Ajeng menurut. Menutup pintu kamar lalu pergi. Adik lucknut Yandi itu memang bukan tandingan Ghea. Yandi jadi terharu sebab calon istrinya sangat berbakat dalam menjinakkan adiknya. Tidak sia-sia dia batal bunuh diri kemarin.

"Btw, Ghea, kamu yakin mau nikah sama aku?" Yandi mulai berbicara serius.

Ghea mengangguk, "sure. Kenapa emang? Kamu mau ingkar janji?"

Tuduhan tidak berdasar.

"Bukan gitu," sanggah Yandi. "Cuma, kamu ngerti kan kalau orang nikah harus tinggal bareng, tidur bareng dan lain-lain?" Yandi mulai menjelaskan hati-hati. Tidak ingin Ghea merasa dipojokkan atau bagaimana.

Ghea mengangguk kecil, "Tahu, kok. Terus kenapa?" Dia sama sekali tidak mengerti inti pembicaraan Yandi.

"Ghea, kasarnya, kamu kalau nikah sama aku, harus ngeliat aku luar-dalam. Pas pake baju dan nggak. Kamu siap?" Yandi enggan berbasa-basi.

"Lah, kan emang dari dulu udah lihat. Dulu kan, pas kecil, kita sering mandi hujan bareng. Bahkan, aku pernah lihat kamu pas tidur nggak pake baju alias telanjang kan?" Yandi terdiam, seperti salah meluncurkan pernyataan. Dia tidak tahu kalau Ghea menyimpan kenangan yang seharusnya tidak disimpan. Namun, dia tidak boleh kalah. Perdebatan ini harus dimenangkan. Demi harga dirinya sebagai laki-laki.

"Itu kan saat aku masih kecil, sekarang aku sudah tumbuh dan berkembang, ya kan?" Yandi menunjuk dirinya, memamerkan ketampanan dan otot di lengannya.

"Ah, jadi maksudmu, 'itu' juga sudah tumbuh dan berkembang?" Ghea menunjuk Yandi, sedikit ke bawah dan otak Yandi langsung error. Dia merebahkan diri dengan mata terpejam. Merasa baru saja dinistakan.

"Yan! Oi! Kok, tidur?"

Yandi tetap diam dengan mata tertutup rapat. Pura-pura mati saat ini adalah pilihan tepat daripada harus berdebat dengan perempuan yang gilanya sudah tidak ada obat. Laknat! Dia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Ghea yang sudah membuatnya menjadi terhina dan kehilangan kemampuan berbicara hanya dalam waktu singkat saja. Yandi sudah bisa membayangkan betapa tersiksanya dia bila pernikahan antara dirinya dan Ghea benar-benar terjadi nanti Sayangnya, rencana itu tidak akan bisa dibatalkan. Mengingat hal itu, Yandi sepertinya akan demam lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel