Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 3 Calon Bini

"Nggak apa-apa pengangguran, asal nggak baperan.

Biar nggak penyakitan terus mati duluan."

- Ghea -

"Pengangguran!!! Eh salah, anak bunda yang bentar lagi nikah. Kamu di mana, Sayang?" Fara berteriak dari dapur. "Tolong belikan Bunda garam di warung Bu Tuna, dong!"

Ghea, anak perempuan the one and only, yang dipanggil Fara sedang rebahan di sofa, sembari menatap ponselnya, sedang maraton serial Uttaran di YouTube. Di episode tersebut, Ichcha sedang kritis karena tertabrak truk. Saking fokusnya, Ghea sampai tidak mendengar kalau namanya baru saja dipanggil oleh Bunda tercinta, Fara.

"Haha. Kan, jangan jadi orang baik. Dibuat mati duluan kan?!!!" Ghea mengomel, merasa puas karena saingan Tapasya di serial tersebut mungkin akan segera meninggal dunia.

"Ghea! Kamu dengar bunda manggil kamu nggak, sih? Yandi nanti batal nikahin kamu kalau durhaka sama orang tua, lho. Kalau sudah begitu, mungkin kamu harus melamar jadi pembantu atau tukang cuci keliling bulan depan." Fara setengah menakut-nakuti Ghea yang terlihat mengabaikan dirinya.

Ghea mengerucutkan bibir, lelucon ibunya sama sekali tidak lucu. Fokusnya pada drama India yang ditontonnya menjadi bubar dalam sekejap. Ghea sangat peka dalam beberapa hal, meski untuk banyak hal, dia sangat tidak peka.

"Bun, lagi asyik, nih. Nggak bisa nanti aja?" Ghea mencoba bernegosiasi.

Fara keluar dari dapur, melancarkan tatapan sinar laser dari kedua matanya membuat Ghea langsung duduk tegak seperti seutas tali bendera bersiap ditarik agar lurus.

"Ngapain nanti-nanti? Kamu kan pengangguran. Berangkat sana, jangan sok sibuk. Ini uangnya, dua ribu." Fara meletakkan selembar uang dua ribuan di atas meja. "Sekalian juga kamu ke rumah Yandi. Bunda dengar calon suamimu itu nggak masuk kerja, sakit. Kamu jenguk sana. Barangkali dia sakit rindu padamu."

Ghea merinding, ucapan Fara terdengar lebih horor daripada bertemu pocong. Dia memang berencana menikah dengan Yandi, tetapi membayangkan teman masa kecilnya rindu sampai sakit padanya, sama sekali tidak pernah. Ngeri kalau terjadi. Itu artinya Yandi selama ini diam-diam mencintainya. Kenyataan yang tidak akan sanggup dihadapi.

"Malah bengong. Nanti kesurupan, lho. Buruan!" Fara memberikan perintah sekali lagi.

Ghea terpaksa bangun, menghentikan sementara YouTube-nya lantas mengambil uang yang diberikan Fara dan melenggang pergi ke warung Bu Tuna yang letaknya tidak jauh dari rumahnya, hanya berjarak sekitar 50 meter saja.

Tiba di warung Bu Tuna, Ghea segera memberitahukan maksud kedatangannya. Enggan berbasa-basi. Sebab, dia tahu dengan jelas bagaimana karakter dari pemilik warung yang sedang didatanginya tersebut. Tentu saja, Ghea bukannya berprasangka buruk, tetapi tabiat manusia memang tidak mudah berubah. Ini juga merupakan salah satu alasan mengapa Ghea jarang keluar rumah dan bersosialisasi dengan tetangganya sendiri selama ini.

"Te, beli garam dapurnya satu."

"Eh, beli garam? Tante kira kamu mau ngasih undangan," ucap Tuna dengan senyum menggoda membuat Ghea hanya tersenyum hambar. Gosip pernikahannya dengan Yandi sepertinya sudah menyebar satu kelurahan. Bahkan, satu kecamatan mungkin. Well, memang yang namanya gosip selalu menyebar lebih cepat mengingat penyebarannya melalui mulut ke mulut. Lisan manusia terkadang memang adalah senjata mematikan yang bisa menjadi pedang bermata dua.

"Sabar, Te. Undangannya belum ada. Kan saya dan Yandi belum melaksanakan lamaran," sahut Ghea, berusaha untuk tetap tenang menghadapi tim garis keras pergosipan, satu perguruan dengan Hartoyo, ketua klub persatuan tetangga julid julid seksi alis JJS.

"Kapan rencana lamaran Ghea dan Yandi emangnya? Kalian, kok, bisa nikah, sih? Dijodohkan kedua orang tua ya?" Tuna sepertinya sudah melancarkan aksi cosplay menjadi wartawan dadakan. Namun, bukan Ghea namanya kalau panik hanya karena situasi begini. Dia tersenyum kecil, sebuah ide gila terlintas di otaknya sekarang. Sesekali, dia ingin memberikan pelajaran bagi tetangganya yang kepo dan julid.

"Lho, Tante nggak tahu? Yandi dari dulu memang cinta mati sama saya, Te." Ghea mulai mengarang indah. Tidak sia-sia dia menuntut ilmu selama 16 tahun sampai sarjana, keterampilan mengolah bahasanya meningkat setiap saat. "Sekarang, dia sudah tidak bisa menahan diri, makanya, maksa buat nikahin saya." Senyuman Ghea mengembang, geli dengan ucapan sendiri.

"Wah, begitu ceritanya. Pantas saja kalian berdua tidak pernah punya pacar, begitu rupanya. Salut saya, Ghea. Yandi ternyata setia banget!" Binar kekaguman Tuna memancar ke sana kemari, sampai menyilaukan mata Ghea.

Hoho. Dengar itu, Yan? Kamu akan jadi lelaki idaman gara-gara aku. Ghea bangga pada dirinya sendiri. Rasanya, dia ingin menangis terharu dengan keterampilan akting dan improvisasinya barusan. Walau Tuna terlihat tidak suka dengan perkataannya barusan, Ghea tidak gentar. Seperti lagu, dia akan terus maju dan tak gentar apa pun yang terjadi.

"Yandi ganteng, memiliki pekerjaan dan setia sama kamu bertahun-tahun. Dia top banget!" Tuna terus memuji Yandi membuat Ghea bangga pada dirinya karena membuat sahabat kecilnya terkenal. "Tapi, kok, Yandi mau sama kamu? Kan kamu pengangguran, nggak bisa dandan dan nggak bisa masak juga kan?"

Senyuman Ghea luntur seketika. Hatinya mendadak seperti diberi racun serangga, klepek-klepek mirip ikan keluar dari air. Mangap nyaring udara biar tetap hidup.

"Kan udah dibilang, Te. Yandi suka sama saya. Cinta. L.o.v.e. Love! Jadi, dia menerima saya apa adanya, dong! Nggak pernah denger kalau cinta itu buta?" Ghea kehilangan kontrol diri. Rasanya, dia ingin mengabsen kosakata terlarang dalam kamus kesopanan saat ini.

"Duh, jangan tersinggung, Ghea. Tante cuma heran aja." Tuna tersenyum penuh arti. "Kalau soal kecantikan, memiliki pekerjaan dan layak diperhitungkan, Rina, anak saya harusnya Yandi pertimbangkan."

Dada Ghea mendadak sesak. Dia lupa kalau Rina, anak Tuna, pernah menyatakan cinta pada Yandi dan ditolak dua kali. Ghea benar-benar lupa soal hal itu. Tidak menyangka Tuna masih menyimpan sakit dan membalas Yandi dengan memanfaatkan kekurangannya. Ghea harus membalas serangan. Demi harga diri Yandi dan dirinya. Merdeka!

"Namanya jodoh, Te. Siapa yang tahu? Rina bukannya sudah sama Taji? Mereka sudah pacaran dua tahun, tapi belum ada kepastian kapan kawin kan?" Ghea di atas angin. Serangan itu pasti akan berdamage, sakit banget sampai ulu hati. Nyeri sampai membuat kepala nyut-nyutan.

Tuna diam, serangan balasan tidak berhasil dikembalikan. Ghea menang.

"Te, saya beli garam dapur satu." Ghea mengulang pesanannya yang sejak tadi belum dilayani oleh Tuna.

"Habis!" Tuna masuk ke rumahnya, sebal.

Ghea melongo. Tidak menyangka akan mendapat respons seperti itu. Pertarungan yang tidak seru lagi.

Ghea mendesah kasar. Sedikit menyesal. Penyesalan memang selalu datang terlambat. Seharusnya, dia berpikir dua kali sebelum mengatakan hal itu. Sekarang, dia harus berjalan ke warung depan gang hanya untuk membeli sebungkus garam.

Cih, baperan. Ghea menggerutu lalu pergi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel