Bab. 2 Mute
"Hidup sudah susah, mati apalagi. Bunuh diri itu sakit, lebih sakit dari sakit gigi.”
- Yandi -
Keadilan tidak ada di dunia ini. Yandi merasakan hal itu kini. Cobaan datang silih berganti. Belum selesai satu, masalah datang lagi. Ketenangan dalam hidup meskipun sehari, rasanya hanya mimpi.
Di kantor, Yandi disibukkan dengan beban pekerjaan yang tidak pernah usai. Atasan yang seenaknya sendiri membuatnya kadang merasa tidak dihargai. Lembur, bekerja keras dan lebih banyak mengerjakan urusan kantor dibanding orang lain, nyatanya tidak memberikan hasil apapun. Dia seperti dimanfaatkan saja. Saat libur kerja pun, dia masih diusik oleh anak buah yang hobi mendadak tidak tahu apa-apa saat dirinya tidak masuk kerja. Di rumah pun, ibunya selalu mengomel ini dan itu. Tidak ada benarnya. Sepertinya, pepatah kalau perempuan selalu benar, memang benar adanya. Belum lagi penjajahan dari Ajeng, adik perempuan satu-satunya yang melebihi kejamnya kompeni Belanda membuatnya menjadi sangat tersiksa meskipun tidak ada pilihan lain selain mengiyakan keinginan mereka.
Ah, sekarang bertambah satu lagi. Jangan lupakan juga Ghea, si pengangguran gila yang mengajaknya menikah tanpa ada peringatan duluan. Meskipun dia pernah berjanji akan mengiyakan segala keinginan Ghea, nyatanya, semua itu hanya janji dari seorang anak kecil yang usianya bahkan belum genap lima tahun. Sayangnya, tidak ada yang bisa dilakukan karena seperti kata pepatah, janji adalah hutang. Nahasnya, Yandi tidak memiliki alasan untuk menolak permintaan Ghea yang sudah mirip perintah atasan itu. Tidak bisa dibantah atau dilawan, apalagi dibatalkan. Never.
"Nikah, Yuk!" Perkataan Ghea kemarin yang secara tiba-tiba dan mendadak di depan keluarga perempuan itu, menjadi mimpi buruk di hidupnya yang sudah buruk. Dari sekian banyak perempuan, Ghea, pengangguran sejati, pemalas, jarang mandi dan hobi nonton sinetron India, jauh dari tipe istri idaman Yandi. Bertahun-tahun menimba ilmu sampai S1. Mati-matian bertahan di perusahan agar tetap bekerja dan menjadi pria mapan, akan seperti lelucon bila ujung-ujungnya dia menikahi teman sekaligus tetangganya sendiri. Memang, Ghea perempuan asli. Namun, Yandi tidak pernah berpikir untuk menjadikan Ghea sebagai istri.
Yandi mengakui, saat kecil, dia sering bermain rumah-rumahan dengan Ghea. Perempuan itu menjadi istrinya dan dia berperan sebagai suami. Namun, itu hanya permainan, bukan beneran. Masakan buatan Ghea bukan tanah liat atau makanan plastik seperti dulu. Dia mungkin akan mati keracunan bila memakan masakan buatan Ghea. Bukan lebay. Kenyataannya, Ghea buta dengan bumbu dapur. Perempuan itu bahkan pernah salah memasukkan garam ke kopi buatan ayahnya sampai Gaza harus diare selama tiga hari karena ulah anaknya sendiri.
Yandi bergidik ngeri. Mustahil untuk menikahi Ghea dan hidup bersama perempuan itu sampai mati. Kalaupun bisa, umurnya mungkin tidak akan lama lagi. Janji yang diucapkan saat dia masih polos, kecil dan tidak tahu kejamnya perempuan, adalah alasan terbesar mengapa dia tidak bisa hidup lebih lama lagi. Ia tidak menduga kalau Ghea akan setega itu padanya.
"Sorry, Ghea. Aku nggak bisa nikah sama kamu." Yandi berucap sedih. Matanya panas, berkaca-kaca. Kedua tangannya memegang tali yang melingkar di lehernya. Tali itu diikat menjadi simpul dan menggantung di pohon Mangga tepi jalan. Sementara kedua kakinya, menapak ke tiga buah batu bata yang sengaja disusun. Yandi ingin bunuh diri.
Sore, menjelang mangrib, dia sengaja berhenti, menepikan sepeda motornya hanya untuk melaksanakan niatnya, mengakhiri hidup agar tidak harus memenuhi janji. Apalagi orang tua Ghea benar-benar menganggap keputusan sepihak anak mereka sebagai keseriusan. Gilanya lagi, ibu dan ayahnya langsung setuju. Mereka berdebat mengenai tanggal pernikahan, seserahan dan lainnya. Yandi seperti tidak dianggap sama sekali, seolah pendapat dan suaranya tidak dianggap penting untuk didengarkan.
Yandi memejamkan mata, siap menendang batu bata agar jerat tali di lehernya menegang dan kematian tiba dan membebaskannya dari kejamnya dunia. Lelaki berpipi chubby itu mulai menghitung. Satu... Dua...
"Habata itara modoranai to itte
Mezashita no wa aoi aoi ano sora..."
Lagu Blue Bird, OST anime Naruto mengejutkan Yandi. Lelaki itu segera mengambil ponsel dari saku celana dan menjawab telpon masuk tersebut.
"Yan, kamu di mana? Jam segini, kok, belum pulang? Seblak mama mana?" Suara omelan itu berasal dari Bari, ibunya. "Sepuluh menit lagi nggak pulang, mama bakar semua komik Naruto punya kamu!"
Bulu kuduk Yandi langsung meremang sempurna, teringat perjuangannya dalam mengumpulkan dan menabung sampai tidak jajan hanya untuk membeli komik Naruto. Walau dia berencana untuk mengakhiri penderitaan hidupnya, perjuangan selama ini tidak boleh menjadi sia-sia, terlebih untuk Naruto, karakter anime yang selalu membuatnya kuat untuk bertahan dari kejamnya dunia yang membuatnya hampir menyerah untuk bertahan hidup selama ini.
"Jangan, Ma! Bentar lagi Yandi pulang, kok." Buru-buru dia menjawab.
"Bagus. Seblak mama jangan lupa. Sekalian mampir rumah pak Joni. Bayarin listrik, oke?"
"Oke, Ma." Tidak ada pilihan selain menyetujui permintaan Bari. Mamanya tidak pernah bercanda dan segala ucapan wanita itu akan menjadi kenyataan setelah diucapkan, bukan sekadar ancaman atau gertakan semata.
Tanpa menunggu lagi, Yandi melepas tali di lehernya lantas turun dan mengendari sepeda motornya lagi. Batal bunuh diri. Naruto adalah salah satu alasan mengapa dia bisa bertahan menjalani hidup buruknya selama ini. Menikahi Ghea tidak lebih buruk daripada harus kehilangan semua koleksi komiknya dalam sehari. Perempuan itu mungkin tidak terlalu buruk untuk dijadikan istri.
Yandi terdiam. Perkataannya barusan lupakan saja, anggap tidak pernah ada.
"Yan, baru pulang? Kucel amat itu muka, udah kayak orang mau bunuh diri nggak jadi. Haha." Ghea memang terkadang peka, cuma tidak pernah sadar diri saja.
Mereka tidak sengaja bertemu saat sedang mengantre seblak Mang Ujang, langganan Bari.
"Kamu belum mandi?" Yandi masih bertanya meskipun sudah mencium aroma kecut dari tubuh calon istrinya.
Ghea hanya memberikan cengiran, "Lagi asyik nonton. Mandinya besok aja kalau ingat."
Yandi mengelus dada dalam anggannya, menampol kepala Ghea pun percuma. Perempuan itu tidak akan mandi sebelum diikat dan dicelupkan ke bak mandi.
"Kalau jadi istrimu nanti aku sering mandi, kok, Yan." Mulut Ghea nggak bisa dijaga. Para pembeli lain yang kebanyakan tetangga dan orang tidak dikenal menoleh ke arah mereka berdua.
"Neng Ghea mau nikah sama Yandi?" Bu Hartoyo, ketua gosip satu kelurahan bertanya, memastikan pendengarannya. Bodohnya, Ghea langsung mengiyakan membuat Yandi ingin menangis.
"Kapan nikahnya?"
"Saya diundang nggak?"
Ibu-ibu yang lain mulai bertanya silih berganti, kepo.
"Kita nikah kapan, Yan?" Ghea bertanya dengan mata berbinar. Wajahnya seolah tidak ada beban.
Jangan tanya aku. Anggap aja aku remot tv. Batin Yandi menyerit. Kesal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
