Panggung Karma
Senin pagi, langit terlihat biasa-biasa saja. Tapi tidak dengan suasana hatiku. Hari ini rencana dimulai, dan jujur saja… deg-degan. Tapi juga excited, kayak mau tampil drama musikal tapi tahu naskahnya lebih panas dari sinetron jam prime time.
Di sekolah, Adrian nyamperin aku seperti biasa. Masih dengan gaya sok akrab dan senyum penuh kepercayaan diri.
“Pagi, cantik.”
Aku senyum manis, padahal rasanya pengen bilang, “Pagi, pembohong.” Tapi tentu saja tidak. Aku tetap main peran. Karena di cerita ini, aku bukan cewek patah hati, tapi sutradara utama.
“Eh, kamu nanti jangan lupa ya, jemput aku hari Rabu,” bisikku sambil nyolek lengan bajunya.
“Oke, sayang,” jawabnya cepat, lalu ngedip.
Dia benar-benar nggak sadar. Dan itu justru bikin semua ini makin nikmat.
Di kantin, aku duduk bareng Dita, si videografer andalan kami. Dia udah siap dengan kamera mini tersembunyi yang dipasang di tempat tisu dan botol minum. Livia duduk beberapa meja dari kami, pura-pura sibuk buka-buka buku.
Beberapa menit kemudian, Adrian datang dan duduk di seberang Livia. Mereka ngobrol, ketawa, dan... tangan Adrian megang tangan Livia di bawah meja.
Dita langsung cek kamera. “Dapet. Clean banget. Angle cantik.”
Aku angguk. “Sip. Operasi Senin sukses.”
Hari berikutnya, giliran Clarissa. Dia ngajak Adrian belajar di perpus. Adrian dateng bawa es kopi dan roti bakar. Kamera tersembunyi dipasang di antara rak novel Korea dan ensiklopedia kuno. Clarissa pura-pura nyender manja di bahunya sambil nunjuk soal matematika. Adrian? Seperti biasa, senyum sok romantis.
“Dia bener-bener nggak punya firasat apa-apa,” bisik Clarissa waktu keluar dari perpus.
Aku hanya tersenyum. “Biarin. Semakin tinggi dia terbang, semakin keras jatuhnya nanti.”
Dan Rabu... hari paling personal buatku. Aku minta Adrian jemput sepulang sekolah. Aku berdiri di gerbang, dengan baju sedikit lebih rapi dari biasanya. Waktu dia datang, aku kasih dia kotak kecil.
“Apa ini?” tanyanya.
“Hadiah kecil aja. Kamu buka nanti ya di rumah.”
Dia senyum, lalu nyender di motornya. “Wah, makin sayang aku sama kamu.”
Sayang? Kalau ‘sayang’ bisa dibagi empat, mungkin dia juga sayang sama dompet, charger HP, dan motor pinjaman kakaknya.
Di dalam kotak itu, aku taruh satu USB kecil. Isinya? Kompilasi semua video yang kami rekam. Tapi tentu belum bisa dia buka sekarang. Itu kejutan nanti malam minggu.
Kami sengaja bikin dia nyaman, tenang, dan merasa paling di atas dunia. Biar jatuhnya lebih... memuaskan.
**
