Operasi Karma
Sebelum kejadian dipanggung,
Senin datang seperti biasa. Tapi tidak ada yang terasa biasa buatku.
Aku bangun pagi dengan degup jantung yang ganjil, bukan karena takut, tapi karena adrenalin. Rencana sudah berjalan. Livia sedang bersiap makan siang bareng Adrian di kantin nanti. Dita, si kameramen resmi tim Karma, sudah standby dengan hoodie dan kamera kecilnya yang bisa masuk kantong jaket.
Aku berangkat ke sekolah bukan sebagai Kirana si cewek biasa. Aku Kirana, pendiri gerakan sosial keadilan cinta. Pendendam bermulut manis.
Di kelas, Adrian menyapaku seperti biasa. “Pagi, sayang.”
Aku membalas dengan senyum paling polos. “Pagi juga. Malam ini jadi jemput aku, kan?”
Dia mengangguk, mencubit ujung hidungku. “Pasti dong.”
Pasti? Aku nyaris ketawa.
Saat jam istirahat, aku menyelinap ke balkon lantai dua untuk pantau. Dari atas, aku bisa lihat Livia dan Adrian duduk bareng di kantin. Makan satu mangkok berdua, suapan-suapan manja, pose selfie yang kelihatan spontan padahal direkayasa Livia.
Dita mengendap-endap di meja dua baris dari mereka, pura-pura lagi review makanan buat konten YouTube. Aku menahan tawa waktu lihat Livia menyelipkan tisu bertuliskan “Selasa: giliran Clarissa” ke saku jaket Adrian. Tapi cowok itu terlalu sibuk memamerkan senyum manisnya buat nyadar ada pesan tersembunyi di balik saus bakso.
Hari berjalan cepat. Selasa datang.
Clarissa tampil total. Dia pakai kemeja putih yang baru dia setrika pagi-pagi, dan ikat rambutnya jadi ponytail ala girl-next-door. Di perpus, dia sengaja duduk di pojok bareng Adrian, pura-pura belajar matematika padahal lagi ngitung berapa kali cowok ini ngedate dalam seminggu.
Dita rekam semuanya pakai kamera kancing, serius, kamera kancing, alat ekskul videografi emang gila.
Dan Rabu…
Rabu itu giliranku.
Aku berdiri di depan gerbang sekolah sambil bawa kado kecil, cokelat murahan yang kubungkus pakai kertas hadiah bekas ulang tahun adikku. Adrian datang naik motor pinjeman kakaknya, senyum-senyum bangga karena merasa paling laku di dunia. Aku naik ke boncengan, dan sepanjang jalan aku nyanyi pelan, “Karma is a relaxing thought…”
Dia ketawa. “Kamu kenapa sih akhir-akhir ini makin manis?”
Aku cengengesan. “Lagi belajar jadi cewek ideal.”
Padahal, dalam pikiranku, aku udah bikin diagram kronologis lengkap tentang pengkhianatannya. Dengan catatan kaki. Dan highlight warna-warni.
Sesampainya di rumah, aku kasih dia cokelat. “Buat kamu. Makasih udah jadi pacar yang... seru.”
Dia ngangguk, nggak sadar kalau di dalam bungkus cokelat itu aku selipkan flashdisk kecil. Isinya? Cuplikan video dia sama Clarissa dan Livia. Belum paham kenapa? Tunggu aja, sayang.
Malam itu aku tidur pulas. Mimpi aku duduk di kursi penonton, nonton karma naik panggung sambil nyanyi lipsync lagu galau.
**
Pensi tiba. Sabtu sore, lapangan SMA Merah Delima disulap jadi panggung besar. Lampu sorot, sound system pinjaman dari studio musik desa sebelah, dan tenda-tenda makanan yang penuh aroma sosis bakar, sempol, dan kentang spiral.
Siswa-siswi sibuk wara-wiri. Panitia ribut soal jadwal tampil, guru-guru duduk di barisan depan dengan kipas lipat di tangan, dan Adrian…
Adrian berdiri di belakang panggung, pakai jaket jeans sobek-sobek dan gitar akustik kesayangannya. Wajahnya penuh percaya diri. Mungkin dia pikir hari ini dia bakal viral karena suara dan wajahnya. Padahal dia bakal viral karena dosa sosialnya.
Kami bertiga—aku, Clarissa, dan Livia—duduk bareng di bawah panggung, saling pegang tangan. Bukan karena gugup. Tapi karena ini hari besar. Hari keadilan. Hari pendakian puncak dendam.
Dita berdiri di belakang, siap rekam pakai kamera DSLR.
MC naik ke panggung. “Dan sekarang… penampilan spesial dari cowok favorit kita semua… Adrian!”
Siswa-siswi bersorak. Beberapa cewek dari kelas sebelah bahkan berdiri dan melambai-lambai. Kami bertiga saling pandang.
“Waktunya,” bisik Clarissa.
Adrian mulai nyanyi. Suara dia merdu, harus kuakui. Lagu yang dia pilih? “Perfect” dari Ed Sheeran. Ironis. Nggak ada yang perfect dari dia, kecuali kemampuannya berbohong.
Saat bait kedua, Clarissa bangkit. Dia naik ke atas panggung, nyamperin Adrian sambil senyum manis.
“Eh, itu pacar gue,” katanya sambil angkat tangan ke arah penonton.
Satu sekolah langsung terdiam. Adrian tertegun.
Lalu, muncul Livia dari sisi kanan panggung. “Pacarku juga, kayaknya.”
Gemetar mulai terlihat di tangan Adrian. Tangannya refleks berhenti main gitar. Dia menatap kami satu per satu.
Dan saat itulah aku melangkah pelan-pelan ke panggung. Langkahku ringan, tapi setiap jejaknya kayak irama genderang perang.
Aku berdiri tepat di samping Adrian, menatap wajahnya yang pucat.
Lalu aku berkata pelan tapi terdengar jelas lewat mic:
“Pacarmu... pacarku juga.”
Penonton meledak. Ada yang bersorak, ada yang tepuk tangan, ada yang teriak, “Gila, sinetron banget nih!” Bahkan guru BK sampai berdiri dari kursi depan, mulutnya melongo.
Tapi belum selesai.
Layar besar di samping panggung, yang tadinya dipakai buat efek visual, tiba-tiba menampilkan video.
Video yang kami edit seminggu terakhir.
Montase Adrian bareng Clarissa, Adrian sama Livia, Adrian boncengin aku. Semua terekam. Dengan tanggal. Waktu. Lokasi.
Ada juga cuplikan dia chatting cewek lain, hasil screenshot dari salah satu mantan yang kami ajak gabung.
Layar menutup dengan kalimat:
“Adrian’s Love Tour 2025: Terlalu Banyak Fans, Kurang Panggung.”
Tawa meledak di mana-mana. Sekolah heboh. Ada yang nyorakin nama kami, ada yang mulai nyanyi “Karma... karma...” kayak chant suporter bola.
Adrian berdiri terpaku. Mukanya merah. “Kalian… kalian niat banget…”
Clarissa melipat tangan. “Yup. Karena kamu niat banget juga bohongin kami.”
Livia menepuk pundaknya. “Selamat, kamu viral.”
Aku mendekat, menatap matanya dalam-dalam. “Aku bukan Kirana yang dulu. Dan kamu bukan cowok yang bisa mainin semua orang tanpa kena balas.”
Adrian nggak bilang apa-apa. Dia turun dari panggung sambil menunduk, diikuti tatapan penuh rasa puas dari seluruh lapangan.
Kami bertiga turun pelan-pelan. Beberapa siswa menyalami kami. Bahkan Dita nangis karena katanya, “Akhirnya, film dokumenter gue punya nilai moral yang nyata!”
Hari ini akan jadi legenda.
Besoknya, nama “Adrian” trending di grup angkatan. Beberapa meme mulai beredar. Salah satunya gambar dia lagi main gitar dengan tulisan:
“Pacarnya siapa? Tunggu giliran, sayang.”
Kami nggak posting apa-apa di medsos. Karena biar publik yang ngomong. Kebenaran, kadang, lebih mematikan dari kata-kata.
**
