Perih
Bab 3Perih
Hal yang paling diharapkan adalah ... diterima oleh orang yang kita coba untuk mencintainya. Namun, jika tidak ... apa daya? Hanya mampu berdoa dan berusaha, akan tetapi, jika memang tak bisa, kita harus melangkah, untuk melepaskan perih.
Perasaan takut kembali menghantuiku, keringat dingin bercucuran di dahiku, mengapa aku bodoh? Tak menyadari bahwa Aras punya ratusan mata-mata.
Author Pov
Fia menggumam bahwa tamatlah dirinya ketika Fia telah sadar bahwa Haston berada di hadapannya dan mengagetkan wanita tersebut.
Haston yang melihat pun bertanya apakah Fia baik-baik saja atau tidak dan mengatakan bahwa Fia berkeringat dan ekspresi wajahnya terlihat panik terlebih saat Haston mengusap keringat dahi Fia.
Fia segera menurunkan tangan Haston kemudian memberitahukan pria tersebut bahwa dirinya tidak apa-apa.
Haston pun merasa lebih lega karena berkemungkinan Fia sedang melamun tadi.
"Aku pikir dirimu kenapa-kenapa, Fia."
Fia hanya menggeleng pelan kemudian meninggalkan Haston begitu saja, dan Haston yang melihat itu lantas bertanya-tanya di dalam hati dan pikirannya, apakah berkemungkinan Fia tidak nyaman dengan perlakuannya?
"Sialan kau Haston, kau payah sekali, ck ck ck!"
Sebenarnya Haston hanya tidak tahu bahwa Fia telah bersuami sehingga dia harus menjaga jarak dan menjaga sikap kepada orang lain, terutama kepada pria dia tidak ingin membuat suaminya salah paham atau dicap sebagai perempuan yang berselingkuh.
Di seberang jalan, tak jauh dari Fia dan Haston, mata-mata Aras memotret kejadian tersebut.
Kau gadis polos yang licik, berlindung dibalik keluguanmu, maafkan diriku yang harus melaporkan ini semua. Terimalah hukumanmu, ratapi nasibmu dengan penyiksaan seribu penderitaan.
Fia POV
Aku lari terburu-buru ke rumah, saat aku membuka pintu, Aras sudah ada di depan, dengan tangan dilipat di depan dadanya.
"Selama ini kau bermain belakang? Sepandai-pandainya kau menutupi, akan terbongkar juga." ucapnya.
"Kau salah paham, aku kenal dia barusan." jelasku, tapi dia tak mau mendengarku.
"Dasar pembohong! Kau pikir aku mudah tertipu hah?" tanyanya dan menampar pipi ku.
"Kau selalu seperti ini, berilah aku peluang untuk menjelaskannya, hilangkan ego yang ada dibenak mu, dan dengarkan penjelasanku." jawabku, rasa sakit di pipiku, aku abaikan. Terpenting saat ini, bagaimana aku bisa menjelaskannya.
"Lalu apa ini?" tanyanya sambil melemparkan sebuah kertas foto tepat di wajahku.
Aku terkejut, seseorang memotret diriku yang tengah mengusap sudut bibir Haston.
"Ini, tidak mungkin." ucap ku tak percaya.
"Tak mungkin? Kau mudah ditebak Fia, dibalik keluguanmu, kau selalu berlindung. Dan sekarang semuanya terbongkar, dasar wanita licik!" perkataannya kali ini berkali lipat lebih perih dari sebelumnya.
"Bisakah? Beberapa detik saja, kau mendengarkan penjelasanku?" tanya ku, dan ia menggeleng pelan.
"Apa lagi yang perlu kau jelaskan? Sebuah kebohongan baru lagi? Atau alasan tak berguna?" tanyanya balik, dan ini membuat ku muak.
"Dia teman baruku, Haston! Tolong sadarlah, apa kau tidak intropeksi diri? Bahwa tadi pagi, seorang wanita membopong mu yang tengah tertidur? Lantas nama apa yang harus kau juluki, brengsek? Hidung belang? Atau pelayer?" tanya ku sinis, dan sekarang dirinya yang terpojok.
"Pasti tidak dapat menjawabnya kan? Karena apa? Kau terciduk sendiri di depan istrimu." tatapku tajam, aku maju selangkah dan menonjok wajahnya.
Cukup sudah, tonjokan ini hanyalah pembuka dari sakit hati ku, dan belum seberapa, selanjutnya akan menyayat hati.
"Akh, lepaskan tanganmu, brengsek!" teriakku, tapi ia semakin mengeratkan genggaman tangannya.
"Ini, sakit!" tekanku.
Ia tidak peduli, malah membawa ku ke dalam kamarnya, mengunci pintu kamar dan menatapku tajam.
"Sudah berani hah? Satu tonjokan dibalas sepuluh cambukan." ucapnya dingin, dan aku mulai ketakutan.
Aku membayangkan, betapa perih cambukan demi cambukan menyentuh kulit ku, membayangkannya saja membuat bulu kuduk ku berdiri, lebih-lebih merasakannya? Aku tidak mau itu terjadi.
"Keluarkan aku dari sini, Aras! Cukup, kau menyiksaku. Apa kau tidak puas melihat ku menderita?" tanya ku, dan ia menggeleng.
"Tidak, sampai kau benar-benar menderita dan menangis darah." jawabnya kejam, terbuat dari apa hati pria ini, ataukah hatinya sudah menjadi hitam pekat? Hanya kegelapan yang ia rasakan.
Ia mengusap cambuknya pelan, dan menatapku menyeringai.
"Apa yang akan kau lakukan? Jangan gila, Aras! Hentikan!" bentak ku, dan ia terkekeh, "Jangan harap, sebelum kau tersiksa malam ini." balasnya, kemudian satu cambukan ia layangkan, begitu perih dan meresap ke dalam kulitku.
Cambukan kedua dan seterusnya ia hujamkan, punggung rasanya terbakar. Air mata ku rasanya sudah habis, menangis dan menangis, hanya itulah yang dapat aku lakukan saat ini.
Author POV
"Kau salah paham, Aras. Mata-matamu hanya mendapat informasi sebagian, dan betapa kejamnya dirimu, menyiksa seseorang tanpa bersalah, terlebih lagi dia adalah istrimu. Ingat karma! Biar Tuhan membalas segala perbuatanmu, dan suatu hari nanti, perasaan menyesal tak pernah lepas di dalam dirimu, benakmu, dan di dalam hatimu, setiap hari perasaan tersebut terus menghantuimu, dengan penderitaan yang panjang. Melebihi penderitaan ku selama ini." jelas Fia panjang lebar, sejenak Aras terdiam diri merenungkan setiap perkataan Fia. Lagi-lagi jiwa iblisnya keluar, dan melayangkan cambuk ke tubuh Fia tanpa ampun.
"Dasar istri sialan! Keparat! Tidak tahu diri! Mati lah kau!" teriak Aras, tak peduli dengan Fia yang tak sadarkan diri.
Malam itu, kekejaman Aras terhadap Fia begitu menyeramkan, bagai iblis berwujud manusia.
Perasaan cinta, mengalahkan rasa benci kepadamu.
Keesokan harinya, Fia belum sadar juga. Sedangkan Aras, ia menikmati teh paginya.
"Merepotkan saja, Edo!" panggil Aras.
"Dasar merepotkan! Apa lagi?" tanya Edo kesal.
"Telfon dokter." perintah Aras.
"Untuk apa kau menyiksanya terus? Ujung-ujungnya kau mengobatinya juga. Aku harap kau menarik kembali perkataanmu bahwa kau membencinya. Aku ingatkan! Benci dan cinta itu beda tipis, layaknya kertas, mudah robek. Hal tersebut diibaratkan dengan hatimu, perasaan bencimu akan mudah terkoyak, dan dikalahkan oleh perasaan cinta." ujar Edo.
"Itu hanyalah omong kosong, kemungkinan yang kau katakan itu akan berbalik, di mana rasa cinta akan terkoyak oleh perasaan benci." jawab Aras.
Edo tersenyum penuh arti, "Secara tak sadar, kau menyebut kata cinta." balas Edo.
"Shit! Jangan sampai itu terjadi, tujuan utama ku adalah membuat sepanjang hidupnya, penuh akan penderitaan. Hahaha." kata Aras tertawa jahat.
Edo tak tahu, terbuat dari apa hati sahabatnya itu? Sungguh mengerikan.
Fia mengerjapkan matanya, berusaha mencari sinar matahari di ruangan tersebut, tapi tidak ada sama sekali. Ruangan berbau pengap, dipenuhi oleh serangga-serangga menjijikan. Salah satunya kecoak.
"Ternyata, ia memindahkan ku dari kamarnya, segitu menjijikkannya diriku?" tanya Fia pada dirinya sendiri.
"Mengapa aku bodoh sekali? Mengapa tidak kuceraikan saja sekalian, sayangnya itu mustahil. Karena perasaan cinta ku kepadanya terlalu besar. Sungguh diriku sangat naif, terlalu baik, dan mudah dibodohi." jelas Fia pada dirinya sendiri.
Fia merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuhnya, ia berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi.
Darah bercucuran kemana-mana, bau amis mendominasi ruangan tersebut, Fia tak tahu sudah berapa lama ia tak membersihkannya.
"Mungkin saatnya aku berubah, dan menjadi Fia yang kuat." tekat Fia kepada dirinya sendiri.
Menjadi kuat bukanlah hal yang mudah, bagaimanapun, perubahan itu butuh proses. Proses itu bagaikan ujian terberat bagi seseorang untuk menentukan dirinya sendiri, apakah layak untuk berubah atau tidak.
