Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Flashback

Bab 2 Flashback

Fia POV

Kepulanganku di rumah, aku langsung menuju ke kamar, lagi-lagi aku menangis. Betapa tak berdayanya aku di depannya, sampai saat ini ia membenciku.

Waktu pernikahan senyumnya tak pernah luntur, ia mengeratkan tangannya di pinggangku, seolah takut aku di rebut oleh pria lain, aku bahagia! Bahagia sekali. Tapi, itu hanya sementara, setelah menikah sifatnya berubah menjadi dingin.

Flashback On.

"Kau pasti lelah Aras, mau kubuatkan teh?" tawarku dan ia menggeleng, aku mengangguk mengerti, mungkin ia lelah.

Aku menyiapkan air hangat di kamar mandi, dan menyuruhnya kemudian.

"Aku telah menyiapkan air hangat, mandilah, air hangat dapat menenangkan pikiranmu." ucapku, tak ada respon sama sekali, malahan dia menatapku tajam.

Dia menghampiriku, tak kusangka ia menjambak rambutku. "Hei wanita sial! Kau pikir aku mencintaimu?" tanyanya sinis.

"Ada apa denganmu Aras? Aku salah apa? Tolong lepaskan, ini sakit." ringisku, ia semakin menjambaknya.

"Aku tidak peduli! Di pernikahan tadi, itu semua hanyalah sandiwara! Sandiwara! Jangan mimpi aku mencintaimu, ini semua karena orang tuamu, yang memaksa orang tuaku untuk menikahimu jalang!" teriaknya, dan air mataku terjatuh.

"Kalau kau tidak mau, mengapa kau menerimanya? Kalau begitu kita bercerai saja!" balasku, dan ia menggeleng keras.

"Jangan harap! Aku tidak akan menceraikanmu sebelum kau, menderita!" katanya sambil menyeringai kejam.

"Tidak! Aku akan melaporkan semuanya ke Ayahku." ucapku.

"Laporkan saja, maka Ayah, bahkan keluargamu akan kubunuh." tatapnya tajam.

"Kau, brengsek!" teriakku dan meludahi wajahnya.

Ia menggeram marah dan menampar pipiku keras, diriku terhuyung sehingga kepalaku terbentur, dan darah segar mengalir di wajahku.

"Ini baru awal, penderitaanmu." bisiknya pelan, namun kejam.

Mulai saat itu, ia terus menyiksaku, mencaci maki, bahkan mengurungku seharian di kamar.

Flashback OFF

Setiap mengingat kenangan buruk tersebut, membuatku menangis. Apakah aku bisa mendapat secuil kebahagiaan? Rasanya sulit sekali, bahkan tertawa sangat jarang, bahkan tak pernah sekalipun.

Aku mengantuk berat dan pandanganku menggelap, biarlah diriku tidur di sofa empuk ini, melupakan sejenak penderitaanku dan menikmati tidur nyenyakku.

Esok hari, aku terbangun. Pukul 07.45 AM, ternyata aku kesiangan. Dengan cepat aku menuju kamar mandi, dan melakukan ritual pagi.

Semuanya telah selesai, aku ingin keluar, rasanya sangat bosan di rumah terus, mungkin ke kedai kopi membuatku senang, walau sebentar.

Baru saja ingin keluar, pintu rumah sudah terbuka, dan rasanya sakit sekali. Melihat pandangan di depanku, di mana seorang wanita asing memapah Aras yang tertidur.

"Hei, minggir! Aku dan kekasihku akan menghabiskan waktu seharian." ucapnya, dan aku menghalangi jalan mereka.

"Maaf, biar aku yang mengurusnya, karena ia suamiku." ucapku menatapnya tajam

"Oh, jadi kau istrinya? Sayang sekali istri tak dianggap." balasnya meledekku.

"Jaga ucapanmu! Apa kau tidak malu? Merebut suami orang? Apa milikmu itu kehausan rudal suami orang?" tanyaku sinis.

"Jaga mulut kamu yah, jangan nuduh sembarangan!" elaknya, dan aku tertawa mengejek.

"Hahaha, jangan nuduh sembarangan? Pelakor sepertimu, berapa banyak yah laki-laki yang kau puaskan?" tanyaku kembali.

"Perempuan sialan! Akan kubuat kau menderita, tunggu saja!" tatapnya sinis, tentu aku balas juga.

"Cih, murahan, pergi sana! Masih banyak laki-laki hidung belang yang mencarimu. Hush, hahaha." tawaku puas mengejeknya, dan pelakor itu pun pergi.

Aku menatap wajahnya sendu, kapan ia membalas perasaanku? Satu tahu, dua tahun, atau bertahun-tahun lagi harus kutunggu, ini sangat menyakitkan.

Aku mengusap wajahnya pelan, air mataku jatuh.

"Kapan kau membalas perasaanku? Apa kau belum puas melihatku menderita? Jika menyiksaku membuatmu bahagia, aku rela, rela. Melihatmu tersenyum, sudah cukup bagiku." ucapku sambil terisak, kemudian kukecup keningnya.

Aku beranjak dan keluar dari rumah tersebut.

Sambil menikmati segelas kopi, dan pandangan yang indah, didukung oleh angin sepoi-sepoi membuatku nyaman.

"Permisi, boleh aku duduk di sini?" tanya seorang pria kepadaku.

"Boleh, silahkan duduk." ucapku mempersilahkan.

"Terimakasih." ujarnya.

"Sama-sama." balasku.

Kami berdua diam, sibuk dengan diri masing-masing, aku melihat pria tersebut memainkan ponselnya.

"Ada apa?" tanyanya membuatku terkejut.

"Eh, tidak apa-apa." astaga aku salah tingkah? Ini pertama kali dalam hidupku, terutama salah tingkah karena laki-laki.

"Aku tau, dari tadi kau menatapku, nona." ucapnya sambil tersenyum.

"Aku menyerah, hehehe." balasku sambil terkekeh pelan.

"Haha, kenalkan namaku, Haston." ucapnya lalu mengulurkan tangannya.

"Aku Fia." balasku dan membalas uluran tangannya.

Ia mengangguk, dan menyeruput coffenya.

"Eum, di sudut bibirmu ada sisa kopi." ucapku memberitahunya, ia menatapku bingung.

"Di sudut bibirmu terdapat bekas kopi Has." ucapku.

"Mana?" tanyanya, dan aku menghela nafas. Karena kesal dengannya yang terus bertanya, aku mengelap bekas kopi tersebut.

Ia menatapku lekat sambil tersenyum, "Terimakasih, nona. Sebenarnya aku sengaja, haha." katanya, dan aku mencubit lengannya.

"Dasar jahil." balasku kesal.

"Maafkan aku, kumohon." ucapnya. Unc, menggemaskan sekali melihatnya memohon.

"Iyah, aku maafkan." kataku pelan, aku menghirup udara segar, sambil memejamkan mata dengan semilir angin menerpa wajahku.

"Kau tinggal di mana?" tanyanya.

"Dekat sini, lorong 6." jawabku.

"Kita berdekatan rumah." ucapnya semangat, dan aku membalasnya dengan senyuman.

"Kapan-kapan, aku mampir ke rumahmu." pungkasnya membuatku terkejut, jangan sampai Aras mengetahuinya, jika tau, ia akan menghukumku.

Perasaan takut kembali menghantuiku, keringat dingin bercucuran di dahiku, mengapa aku bodoh? Tak menyadari bahwa Aras punya ratusan mata-mata.

"Matilah aku." gumamku, dan Haston mengagetkanku.

"Apa kau baik-baik saja? Kau berkeringat." ucapnya, dan mengusap dahiku.

Aku segera menurunkan tangannya, "Maaf, aku melamun tadi." tundukku sopan.

"Oh, aku pikir kau kenapa-kenapa." balasnya.

"Eum, aku pergi dulu, suamiku pasti menunggu." pamitku, kemudian meninggakannya.

Aku akan mendapat masalah besar setelah ini.

Author POV

Di seberang jalan, tak jauh dari Fia dan Haston, mata-mata Aras memotret kejadian tersebut.

Kau gadis polos yang licik, berlindung dibalik keluguanmu, maafkan diriku yang harus melaporkan ini semua. Terimalah hukumanmu, ratapi nasibmu dengan penyiksaan seribu penderitaan.

Author Pov

Mata-mata Aras segera mengirimkan jepretan foto antara Fia dan Haston ke Aras, kesalahpahaman pun mengakibatkan timbulnya amarah yang besar dalam diri Aras sehingga malapetaka dalam rumah tangga Fia akan kembali berkobar dan membuat gadis tersebut menderita.

"Bagus, kau mengerjakan tugasmu dengan sempurna, kau tak perlu khawatir dengan jumlah yang akan kukirimkan nanti."

Mata-mata Aras yang mendapatkan pesan tersebut tersenyum sumringah, dirinya tak sabar menanti jumlah yang fantastis itu.

Di sisi lain, Fia yang telah sampai berlari dengan langkah yang terburu-buru. Saat Fia telah membuka pintu, fisik Aras telah berada di depannya yang merupakan tanda bahwa Aras sudah menunggu Fia.

"Dari mana saja, hm?"

"Aku pergi ke temp-" belum menyelesaikan kalimatnya, Aras langsung memotong ucapan Fia.

"Tempat di mana kau bisa berselingkuh dengan pria lain, hm?"

"Pria lain? Tidak Aras, aku tak tak pernah melakukan hal itu!" sanggah Fia.

"Pembohong, sepandai-pandainya kau menutupi akan terbongkar juga."

"Aku tak berbohong, percayalah!" Fia berusaha meyakinkan Aras.

"Kau pikir aku mudah tertipu?" Tanpa ragu, Aras menampar pipi istrinya, membuat Fia terpekik menahan tangis akibat rasa panas yang ia rasakan.

"Tolong jelaskan apa maksudmu, aku bingung kepadamu yang selalu menuduhkan dengan hal yang tidak-tidak," balas Fia dengan sakit hati.

"Hal yang tidak-tidak? Lalu apa ini, hm?" tanya Aras lalu menunjukan foto yang dikirimkan oleh bawahannya tadi membuat Fia terkejut.

"Siapa yang memfotoku?"

"Kau tidak perlu tahu siapa dia, tapi ini sudah membuktikan bahwa dirimu bermain di belakangku, Fia!" bentak Aras.

"Aku tidak selingkuh, bukan berarti diriku berhadapan dengan pria lain di foto itu lantas dirimu langsung menyimpulkan bahwa diriku berselingkuh, aku baru bertemu dengannya tadi dan kami hanya berkenalan saja, tidak lebih," ucap Fia menjelaskan tapi Aras tetap tidak percaya.

"Mana mungkin seseorang yang berselingkuh mau mengaku," balas Aras dengan menatap Fia penuh dengan kehinaan.

Fia sedikit kesal dan menatap Aras dengan sedikit kesinisan.

"Kau menuduhku karena hanya foto? Lalu bagaimana dengan dirimu yang secara terang-terangan pulang ke rumah dengan keadaan mabuk bersama wanita lain? Tidakkah kau sadar bahwa perlakuanmu jauh lebih parah dariku, Aras? Aku lelah kau siksa terus, aku menikah bukan untuk mendapatkan penderitaan seperti ini, kumohon intropeksi dirimu sendiri terlebih dahulu sebelum menuduhku," ujar Fia membuat Aras semakin marah.

"Tidak usah mengalihkan pembicaraan, Fia. Selingkuh tetaplah selingkuh."

"Hah? Lalu bagaimana denganmu? Kau tidak merasa bersalah dengan perilakumu yang membawa perempuan jalang ke rumah ini? Kau hanya pandai menyalahkanku, tapi tidak dengan dirimu sendiri!" sinis Fia.

"Sudah Fia, bagaimanapun kau akan mencari kesalahanku agar kau dapat kuampuni, kan? Sekali kau selingkuh itu merupakan kesalahan yang besar, dan aku takkan ragu untuk memberimu hukuman."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel