Berubah
"Tidak, sampai kau benar-benar menderita dan menangis darah." jawabnya kejam, terbuat dari apa hati pria ini, ataukah hatinya sudah menjadi hitam pekat? Hanya kegelapan yang ia rasakan.
Ia mengusap cambuknya pelan, dan menatapku menyeringai.
"Apa yang akan kau lakukan? Jangan gila, Aras! Hentikan!" bentak ku, dan ia terkekeh, "Jangan harap, sebelum kau tersiksa malam ini." balasnya, kemudian satu cambukan ia layangkan, begitu perih dan meresap ke dalam kulitku.
Cambukan kedua dan seterusnya ia hujamkan, punggung rasanya terbakar. Air mata ku rasanya sudah habis, menangis dan menangis, hanya itulah yang dapat aku lakukan saat ini.
Author POV
"Kau salah paham, Aras. Mata-matamu hanya mendapat informasi sebagian, dan betapa kejamnya dirimu, menyiksa seseorang tanpa bersalah, terlebih lagi dia adalah istrimu. Ingat karma! Biar Tuhan membalas segala perbuatanmu, dan suatu hari nanti, perasaan menyesal tak pernah lepas di dalam dirimu, benakmu, dan di dalam hatimu, setiap hari perasaan tersebut terus menghantuimu, dengan penderitaan yang panjang. Melebihi penderitaan ku selama ini." jelas Fia panjang lebar, sejenak Aras terdiam diri merenungkan setiap perkataan Fia. Lagi-lagi jiwa iblisnya keluar, dan melayangkan cambuk ke tubuh Fia tanpa ampun.
"Dasar istri sialan! Keparat! Tidak tahu diri! Mati lah kau!" teriak Aras, tak peduli dengan Fia yang tak sadarkan diri.
Malam itu, kekejaman Aras terhadap Fia begitu menyeramkan, bagai iblis berwujud manusia.
Perasaan cinta, mengalahkan rasa benci kepadamu.
Keesokan harinya, Fia belum sadar juga. Sedangkan Aras, ia menikmati teh paginya.
"Merepotkan saja, Edo!" panggil Aras.
"Dasar merepotkan! Apa lagi?" tanya Edo kesal.
"Telfon dokter." perintah Aras.
"Untuk apa kau menyiksanya terus? Ujung-ujungnya kau mengobatinya juga. Aku harap kau menarik kembali perkataanmu bahwa kau membencinya. Aku ingatkan! Benci dan cinta itu beda tipis, layaknya kertas, mudah robek. Hal tersebut diibaratkan dengan hatimu, perasaan bencimu akan mudah terkoyak, dan dikalahkan oleh perasaan cinta." ujar Edo.
"Itu hanyalah omong kosong, kemungkinan yang kau katakan itu akan berbalik, di mana rasa cinta akan terkoyak oleh perasaan benci." jawab Aras.
Edo tersenyum penuh arti, "Secara tak sadar, kau menyebut kata cinta." balas Edo.
"Shit! Jangan sampai itu terjadi, tujuan utama ku adalah membuat sepanjang hidupnya, penuh akan penderitaan. Hahaha." kata Aras tertawa jahat.
Edo tak tahu, terbuat dari apa hati sahabatnya itu? Sungguh mengerikan.
Fia mengerjapkan matanya, berusaha mencari sinar matahari di ruangan tersebut, tapi tidak ada sama sekali. Ruangan berbau pengap, dipenuhi oleh serangga-serangga menjijikan. Salah satunya kecoak.
"Ternyata, ia memindahkan ku dari kamarnya, segitu menjijikkannya diriku?" tanya Fia pada dirinya sendiri.
"Mengapa aku bodoh sekali? Mengapa tidak kuceraikan saja sekalian, sayangnya itu mustahil. Karena perasaan cinta ku kepadanya terlalu besar. Sungguh diriku sangat naif, terlalu baik, dan mudah dibodohi." jelas Fia pada dirinya sendiri.
Fia merasakan sakit luar biasa di sekujur tubuhnya, ia berjalan tertatih-tatih menuju kamar mandi.
Darah bercucuran kemana-mana, bau amis mendominasi ruangan tersebut, Fia tak tahu sudah berapa lama ia tak membersihkannya.
"Mungkin saatnya aku berubah, dan menjadi Fia yang kuat." tekat Fia kepada dirinya sendiri.
Menjadi kuat bukanlah hal yang mudah, bagaimanapun, perubahan itu butuh proses. Proses itu bagaikan ujian terberat bagi seseorang untuk menentukan dirinya sendiri, apakah layak untuk berubah atau tidak.
Fia POV
"Mungkin saatnya aku berubah, dan menjadi Fia yang kuat," tekat Fia kepada dirinya sendiri.
"Akh, sayangnya aku tidak bisa," ucap ku frustasi, mengapa cinta ini mendominasi? Tuhan, hapuskan rasa ini.
"Apa yang harus kuperbuat? Berjalan saja rasanya mau patah, teriak? Gak mungkin juga." Aku menghela nafas pelan, lebih baik aku mengobati luka ku.
Author POV
"Sudah puas menyiksanya?" tanya Edo, dan Aras menggeleng.
"Aku tak pernah puas menyiksanya, semakin hari ia berulah, itu membuatku pusing." jawab Aras, dan Edo menjitak dahinya.
"Kalau kau pusing, lebih baik bersenang-senang. Jangan terlalu memikirkannya." saran Edo, tapi Aras tetap keras kepala.
"Lebih baik kau lepaskan saja Fia, biar aku yang memilikinya." tambah Edo mendapatkan tatapan tajam.
"Hidup hanya sekali Do, jangan sampai kau menyia-nyiakannya karena perilaku bodoh mu itu." pungkas Aras, kemudian meninggalkan Edo.
"Ck, aku tak sabar melihatmu menderita, aku sebagai sahabat mu memandangmu miris, mengapa? Karena kau terlalu bodoh menyia-nyiakan wanita." kata Edo serius.
"Wah, aku tak sabar melihatnya lagi. Seandainya ia tak bersuami aku akan melamarnya, hehehe." ucap Haston bahagia, ia berkumpul dengan teman-temannya.
"Rebut saja wanita itu dari suaminya brother," celetuk teman Haston.
"Sayangnya, aku bukan lelaki pengecut. Lebih baik kutunggu jandanya, hahaha." jawab Haston tertawa.
"Payah kau, aku penasaran bagaimana rupa wanita itu?" tanyanya, dan Haston tersenyum senang.
"Sangat cantik, dia juga berbeda. Biasanya wanita selalu mengerjarku, sedangkan ia? Malah biasa saja." jawab Haston, dan temannya menonjok perutnya pelan.
"Sombong sekali kau, hahaha. Aku tidak menyangka, baru kali ini seorang wanita biasa saja denganmu." kata teman Haston.
"Betul, ini yang membuatku penasaran. Jika kita berdua jodoh, Tuhan pasti menyatukan." ucap Haston percaya diri.
"Amin, aku mendukung mu." setelah itu mereka tertawa bersama.
Di sisi lain, Edo membuka pintu ruangan, di mana Fia dikurung oleh Aras.
"Fia, kau di mana?" tanya Edo, Fia mendengar suara tersebut langsung menghampiri Edo dengan tertatih.
"Aku di sini! Syukurlah, ada seseorang menyelamatkan ku." jawab Fia lega.
Edo tersenyum pelan, kemudian terkejut melihat kondisi Fia, "Astaga, tubuh mu penuh luka." kata Edo, dan Fia tersenyum, "Ini tidak apa-apa, aku sudah terbiasa mendapatkannya." balas Fia.
"Maaf, tubuh ku bau amis." tambah Fia tersenyum lirih.
"Tidak apa-apa, sementara ini ikut lah denganku, kau mau?" tawar Edo, dan Fia mengangguk.
"Aku mau, terimakasih. Tapi, apa kau tak keberatan?" tanya Fia.
"Tidak, malahan aku senang. Ada yang menemani ku di rumah." jawab Edo, dan Fia pun ikut senang.
Skip
Sampainya di rumah Edo, Fia langsung duduk di sofa. Ia merasa lelah, dan butuh istirahat.
"Tidurlah di kamar, kau akan merasa nyaman." ucap Edo, dan Fia menggeleng.
"Tidak perlu, aku merasa nyaman di sini." jawab Fia.
"Baiklah, kalau kau membutuhkan ku, panggil saja." ucap Edo dan Fia mengangguk.
Lain halnya dengan Aras, ia melempar segala benda di rumahnya, "Fia! Kemana kau sialan? Dasar istri tak tahu berterimakasih. Semua kebutuhan mu aku tanggung, dan ini kah balasan mu? Kutemukan habislah kau!" teriak Aras.
Aras frustasi, ia mencari Fia tapi tak kunjung ia temukan. Ia mengerahkan anak buahnya, sampai saat ini pun belum mereka temukan.
"Huft, kemana lagi harus kucari? Yah, Edo." Aras mengingat sahabatnya, kemudian menelfonnya.
Edo! Cari Fia sekarang juga!
Untuk apa? Bukannya kau tak peduli? Maafkan aku tidak dapat membantu mu kali ini. Aku sibuk
Keparat! Bantu aku.
Aku sibuk, jangan ganggu!
"Argh, Edo sialan! Tak berguna!" teriak Aras.
Aras mondar mandir di ruang tamu, ia memikirkan siksaan apa yang akan ia berikan ke Fia nanti. Pastinya siksaan tersebut lebih para, sangat parah malahan, kalau perlu membuat Fia sekarat tidak masalah untuknya.
Pikiran Aras langsung tertuju ke Lias, Kakak Fia.
"Mengapa tak kufikirkan dari tadi?" tanya Aras kepada dirinya sendiri.
Kakak ipar bangsat! Di mana kau sembunyikan istri sialan ku?
Terkutuk kau bajingan! Harusnya aku yang bertanya seperti itu, berhari-hari aku menelfon adik ku, tak kunjung ia jawab sampai saat ini.
Jangan berbohong! Kau dan adik mu sama-sama licik, bisa saja kalian bersekongkol untuk mengelabui ku, tidak semudah itu Ferguso!
Haha, bersekongkol? Aku tidak mengerti, tapi, aku bersyukur jika adik ku kabur dari neraka mu itu, karma akan berlaku brengsek! Hahaha tunggu tanggal mainnya dude.
Lias memutuskan telfonnya sepihak membuat Aras kesal, "Sial, sial, sialan! Kemana kau pergi Fia? Kau pikir dengan kepergian mu aku akan sadar? Tidak akan! Sampai kapan pun rasa benci ini tak akan pernah pudar."
Pelayan rumah tangga menghampiri Aras, dengan takut ia memanggil tuannya pelan.
"Tuan," panggil pelayan tersebut.
"Apa?!" bentak Aras, dengan takut pelayan tersebut mengatakan, "Ada tamu tuan, dan ia menanyakan keberadaan nyonya Fia." ucap pelayan tersebut membuat Aras marah.
"Pergi!" perintah Aras.
