Kita
Ataya yang sedang mengobrol bersama dengan kolega sang Papi menoleh ke arah pintu masuk ballroom di mana Dimas berada, digerakkannya dagunya ke atas mengisyaratkan bertanya kepada Dimas. Ataya menanyakan keberadaan Atia yang dicari oleh Dimas.
Dimas mengangkat tangannya setinggi dada mencoba menjawab pertanyaan Ataya menggunakan isyarat yang mengatakan bahwa Atia berada di luar ruangan.
Ataya tampak gusar, dia ingin sekali keluar menemui Atia, namun keadaan sekarang sungguh tidak memungkinkan.
Dimas mendekati Ranum yang tengah mengobrol bersama para istri pengusaha yang lain dan berbisik, Ranum kemudian terlihat panik kemudian pamit untuk undur diri dari obrolan tersebut. Dimas dan Ranum berjalan keluar ballroom, Ataya hanya bisa melihat Dimas dan Ranum berjalan cepat menuju luar ruangan, kepalanya dipenuhi tanda tanya apa yang sebenarnya telah terjadi. Ingin sekali rasanya Ataya ikut keluar bersama Dimas dan Ranum, namun Darma terus saja mengajaknya mengobrol bersama koleganya ini.
“Lulusan Harvard memang tidak bisa dibohongi.” Ucap kolega Darma memuji Ataya.
Ataya yang masih memperhatikan pergerakan Ranum dan Dimas masih terdiam tidak menanggapi pujian yang datang kepada dirinya.
Darma yang menyadari keanehan putranya itu menepuk pundak kekar Ataya untuk menyadarkannya.
Ataya pun kaget mendapat pukulan keras di pundaknya oleh Darma.
“Oh, Iya. Pi?” Ataya bertanya kepada Darma.
Darma tersenyum sembari mengangkat segelas minuman yang berada di tangannya ke arah Koleganya itu.
Ataya yang mengerti dengan kode yang diberikan Darma akhirnya menoleh sembari tersenyum ramah ke arah kolega sang Papi.
“Terima kasih atas pujiannya, Tuan.” Ataya menundukkan kepalanya sebagai tanda hormat dan terima kasih.
“Panggil saya, Om.” Laki-laki itu menepuk pundak Ataya sembari tersenyum.
Darma kemudian ikut terkikih saat dirinya dan koleganya itu saling menatap.
“Besanan, kita.” Tukas laki-laki itu kepada Darma seolah bercanda.
“Saya sangat mau, Zeal. Tapi semua tergantung anak-anak kita.” Kekeh Darma membalas tawaran dari koleganya.
“Bagai mana, Ataya. Mau kamu jadi menantu om?” Tanya Zeal yang masih terkekeh.
Ataya tidak menjawab, dia hanya memberikan senyuman hormat untuk menanggapi kelotehan sang Papi bersama koleganya itu.
***
Ranum mengetuk kaca mobil milik Atia yang masih terparkir di parkiran hotel, Atia yang melihat Ranum berada di luar mobilnya, segera menghentikan tangisnya dan menghapus sisa air mata di wajah cantiknya. Gadis itu lalu membuka kunci pintu dari dalam.
Setelah kunci pintu terbuka, Ranum segera masuk ke dalam mobil Atia dan duduk di bangku penumpang tepat di samping Atia.
“Kenapa, Nak? Dimas bilang kamu sakit?” Ranum terlihat panik.
“Sedikit nggak enak badan, Mi.” Seulas senyum terukir di wajahnya.
“Terus, gimana kamu bisa pulang kalau kamu sakit.” Ranum meratap kening mulus Atia dengan telapak tangannya.
“Atia nggak apa-apa, Mi, Atia masih bisa pulang sendiri.” Jawabnya meyakinkan dengan suara lembutnya.
“Katanya Dimas tadi, Devan yang mau anter kamu pulang? Terus, Devannya kemana?” Tanya Ranum sembari menatap lekat Atia.
“Tadi Devan nganter Atia sampai mobil, terus Atia suruh Devan balik ke hotel lagi buat ikutin acara, Mi. Masa gara-gara Atia sakit, semua orang jadi ikut ninggalin acara sih?” Atia terkikik.
Seulas senyum simpul terukir di wajah Atia dan diperlihatkannya kepada Ranum.
Hati seorang ibu tidak pernah bisa dibohongi, Ranum yakin Atia menyimpan sesuatu yang membuatnya ingin segera pulang, senyum yang terkembang diwajah cantiknya hanyalah senyum yang dipaksakan agar Ranum tidak merasa khawatir. Ranum memeluk tubuh Atia, dibelainya pundak telanjang gadis itu. Atia hari ini terlihat sangat cantik dan Anggun. Ranum memeluknya dengan penuh kasih sayang, Atia pun membalas pelukan hangat dari Ranum.
Atia menghirup aroma tubuh Ranum yang sangat dirindukannya. Dieratkannya pelukan tangannya di tubuh sang Mami. Atia merasa hal ini sangat jarang terjadi, dia bisa berpelukan dengan Ranum di luar rumah tanpa merasa takut, meskipun saat ini mereka berada dalam mobil yang dijaga oleh Dimas dari luar.
“Anak Mami yang cantik, maafin Mami ya, Nak.” Mata indah Ranum mulai meneteskan air mata.
“Maaf buat apa, Mi?” Ucap Atia yang juga hampir menangis.
“Buat semuanya, Sayang.” Tukas Ranum.
“Atia yakin semua punya alasannya. Atia ngerti.” Atia mencoba meyakinkan Ranum bahwa dirinya baik-baik saja, padahal dia sendiri sedang berjuang untuk menjalani peran dan menyembunyikan kesedihannya dalam hidup ini.
“Maaf ya, Nak.” Mendengar jawaban Atia, hati Ranum semakin merasa bersalah.
Atia menciumi pundak Ranum dan menghirup dalam aroma wanita cantik yang usianya tidak lagi muda itu.
“Mami balik ke hotel gih, kasian Ataya sama Papi pasti nungguin.” Ucap Atia dengan lembut kepada Ranum.
Ranum melepaskan pelukannya di tubuh Atia, ditatapnya wajah cantik Atia dengan penuh kasih sayang dan kelembutan seorang ibu.
“Ataya mengharapkan kehadiran kamu, Nak.” Ucap Ranum.
Atia menggelengkan kepalanya perlahan sembari mengatupkan bibirnya.
“Tapi Atia nggak kuat ada di sana, Mi.” Suaranya terdengar lirih.
“Sesakit itu kamu, Nak?” Tanya Ranum memastikannya kepada Atia dengan mata yang mulai kembali berkaca-kaca.
Atia menganggukkan kepalanya dengan cepat.
“Sesakit itu, Mi.” Tukas Atia.
Sebutir air mata mulai menetes di sudut matanya, dan segera dihapusnya sebelum Ranum melihatnya, lalu dipaksakannya seulas senyum terukir di wajah cantiknya.
Ranum mengelus pipi mulus Atia sambil tersenyum, tatapannya dalam dan penuh kasih sayang, Ranum memang wanita yang penuh dengan kasih sayang, dia tak segan mencurahkan kasih sayangnya kepada siapapun yang sudah dekat dengan dirinya.
Atia tersenyum kepada Ranum. “Atia pulang ya, Mi.” Izinnya.
“Iya, Sayang. Hati-hati ya, kabarin Mami segera setelah kamu sampai rumah.” Ranum kembali mengelus pipi mulus Atia, kemudian wanita itu menghapus air mata yang membasahi pipinya sesaat sebelum dia keluar dari mobil Atia.
“Pasti.” Tukas Atia.
Ranum tersenyum lalu keluar dari mobil sedan milik Atia itu, tampak Dimas sudah menunggu Ranum di luar. Atia melihat punggung Ranum dan Dimas yang semakin menjauh dari balik jendela, hatinya makin teriris sembilu. Air matanya kemudian kembali menetes, Atia kemudian mulai menjalankan mobilnya dengan perlahan.
Sepanjang perjalanan, Atia menangis sejadi-jadinya. Makeup flawless yang tertempel di wajah Atia kini tersapu sepenuhnya oleh air mata, bukan hanya karena memikirkan hubungannya dengan Ataya, tapi juga karena memikirkan statusnya di dalam keluarga Daratama.
Atia adalah anak dari Ranum dan Darma, namun dari kecil, dia hidup terpisah dari keluarga Daratama karena suatu alasan. Statusnya dalam keluarga juga tidak sejelas Ataya dan Dimas. Keberadaan dirinya sangat disembunyikan, Darma dan Ranum tidak membatasi gerak Atia, mereka sangat mendukung semua yang ingin dilakukan oleh gadis itu, bahkan untuk mewujudkan dirinya menjadi seorang Designer, Ranum dan Darma membiayai sekolah fashion Atia di Paris, memberikannya modal untuk membuka sebuah butik, membantu promosi brand atas nama Atia. Namun hanya satu yang tidak boleh dibuka dan tetap harus dirahasiakan, yaitu statusnya sebagai seorang putri di keluarga Daratama. Latar belakang Atia ditutup rapat, sehingga yang beredar bahwa Atia hanyalah anak dari sepasang pengusaha di luar negeri yang sangat jarang datang ke Indonesia, dan hanya itu yang diketahui oleh publik.
Dari bayi, Atia tinggal di sebuah rumah bersama pengasuhnya yang bernama Jumaidah, Atia memanggilnya dengan sebutan Biyung. Biyung adalah panggilan seorang anak kepada ibunya di daerah Jawa. Atia memanggil pengasuhnya dengan sebutan Biyung, karena gadis itu memang sudah menganggap Jumaidah sebagai Ibu Keduanya setelah Ranum.
Darma dan Ranum hanya sesekali ke rumah Atia untuk mengunjunginya, itu pun hanya berkunjung, mereka membatasi pertemuan dengan Atia untuk menjaga mata publik agar status Atia tetap tersembunyi. Dari kecil, Atia hanya dibekali cerita bahwa dia memiliki saudara yang bernama Ataya, mereka berdua sama-sama saling mengenal lewat cerita yang disampaikan oleh kedua orang tuanya tanpa pernah melihat wujud masing-masing. Hingga untuk pertama kalinya mereka dipertemukan saat mereka baru memasuki kelas tiga sekolah menengah perama.
Saat itu mereka merasakan sesuatu yang berbeda. Maklum saja, di umur itu, anak-anak remaja baru saja mulai merasakan ketertarikan antar lawan jenisnya. Di usia mereka saat itu, biasanya anak remaja mulai memiliki keinginan untuk merasakan kegilaan menyukai lawan jenis. Ataya dan Atia merasakan ketertarikan satu sama lain saat dari pandangan pertama. Mereka merasakan suatu perasaan yang sangat dalam yang bahkan mereka berdua sendiri tidak bisa mengartikannya, namun saat itu mereka sama-sama belum mengerti apa-apa.
Semenjak pertemuan mereka itu, Ranum dan Darma mulai lebih sering mengajak Atia ke rumah utama keluarga Daratama. Ataya dan Atia mulai sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Karena status persaudaraan yang mereka miliki, mereka memutuskan untuk memendam perasaannya masing-masing. Seiring bertambahnya usia, Ataya dan Atia menyadari sesuatu tentang perasaan masing-masing, mereka merasa bahwa kasih sayang yang mereka miliki terhadap satu sama lain sangatlah besar, namun tetap saja mereka tidak bisa bersatu karena terhalang status persaudaraan mereka. Mereka sama-sama memendam perasaan yang mereka rasakan hingga beranjak dewasa. Saat mereka sudah sama-sama memasuki fase kuliah dan akhirnya berani untuk mengambil resiko untuk berpacaran.
Kini Ataya dan Atia memiliki hubungan yang bukan hanya sekedar sebagai saudara, mereka memiliki hubungan sebagai sepasang kekasih, dan itu yang membuat mereka ada di zona abu-abu kini. Tentu saja perasaan yang timbul diantara mereka merupakan efek dari situasi dan keadaan dari mereka kecil dulu, namun mereka bisa menahan itu hingga lulus sekolah menengah atas, ketika Ataya menemukan sebuah artikel usang yang menimbulkan sebuah kayakinan bahwa mereka bukanlah saudara kandung, hal itu juga didukung dengan berbagai alasan seperti mengapa status Atia harus disembunyikan hingga saat ini. Tidak banyak yang tau tentang status Atia, hanya beberapa orang kepercayaan Darma dan Ranum saja, bahkan sahabat kecil Ataya yaitu Devan dan sahabat kecil Atia yaitu Rana sama sekali tidak mengetahuinya. Orang tua dari kedua sahabat Atia dan Ataya itu sebenarnya tau, namun mereka bungkam, dan alasan yang sebenarnya belum diketahui oleh Ataya dan Atia sampai sekarang.
Mobil sedan berwarna merah itu terlihat memasuki kawasan kompleks perumahan elit yang ada di kota Jakarta. Scurity segera membuka panel gerbang ketika melihat mobil Atia medekat, sebuah stiker menempel di kaca depan mobil Atia sehingga scurity yang berjaga di gerbang depan dapat mengenali kendaraan dari warga kompleks elit ini. Semua warga memiliki stiker yang sama di setiap kendaraannya, karena kompleks ini menerapkan sistem tamu wajib lapor, jadi hanya warga kompleks yang bebas keluar masuk tanpa pemeriksaan.
Mobil sedan merah itu berhenti di sebuah pelataran parkir milik salah satu rumah yang ada di cluster paling mewah di kawasan perumahan ini. Atia kemudian turun dari mobilnya dan langsung menuju rumahnya.
“Non, sudah pulang.?” Bik Jum menyapa Atia dengan kebingungan merajai fikirannya.
Atia mengacuhkan sapaan Bik Jum dan terus berjalan ke arah tangga menuju lantai dua untuk segera ke kamar pribadinya.
Sesampainya di kamar, Atia merogoh tas tangannya untuk mengambil ponsel pintar miliknya. Atia membuka aplikasi berkirim pesan populer berwarna hijau dan mencari kontak bertuliskan Mami di sana. Atia segera membuka sebuah ruang obrol untuk mengirimkan pesan kepada sang Mami untuk mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai rumah dengan selamat seperti yang sudah dipesankan oleh Ranum tadi.
Atia : Mi, Atia sudah sampai rumah. Atia mau tidur dulu.
Begitulah isi pesan Atia kepada sang Mami. Kemudian gadis itu langsung menghamburkan tubuhnya di atas tempat tidur miliknya dan melanjutkan tangisannya yang belum berhenti dari tadi, hingga akhirnya dia terlelap tidur.
***
Hari sudah menjelang malam, Atia merasa ada seseorang yang dari tadi mengecupi keningnya dengan lembut, perlahan Atia membuka matanya. Atia memicingkan mata dan mengangkat satu tangannya menghalangi sinar lampu yang langsung menusuk matanya.
“Sudah bangun, Sayang?” Suara tenor milik Ataya menyapa telinganya.
Atia menoleh ke asal suara, lalu bangkit segera setelah mendapati keberadaan Ataya disampingnya. Senyumnya mengembang dengan sempurna menghiasi wajahnya.
“Maaf aku ketiduran.” Atia mengusap lembut matanya menggunakan punggung tangannya.
“Kamu sakit apa?” Tanya Ataya sembari menaruh satu tangan di kening Atia.
“Peluk aku, Ta.” Atia merentangkan kedua tangannya.
Ataya langsung mendekat dan menenggelamkan tubuh ramping Atia ke dalam dekapannya.
“Aku tau kamu sakit apa. Jangan terlalu difikirin ya, Sayang.”Ataya mengusap-usap rambut di kepala Atia.
“Kapan semua orang bisa tau tentang aku ya, Ta. Tentang kita.” Ratap pilu Atia di dalam pelukan Ataya.
“Segera, aku pastikan itu segera.” Jawab Ataya dengan pasti.
“Apa yang kita lakuin ini bener ya, Ta?” Suara Atia mulai bergetar karena menahan tangis.
“Apa yang salah dari tindakan kita?” Tanya Ataya dengan lembut.
“Status kita, hubungan kita, bahasa tubuh kita, semua tentang kita.” Ratap Atia lirih. Suara isakan mulai terdengar.
“Kamu kenal aku bukan? Aku tidak akan melangkah jika ku yakini itu salah. Aku berani memintamu menjadi kekasihku karena aku tau, kita tidak punya hubungan sedarah, dan itu bukan sebuah kesalahan.” Ataya memeluk lebih erat tubuh Atia.
“Tapi kita sepasang anak kembar, Ta.” Bantah Atia kembali.
“Kembaranku sudah meninggal, Ia. Kamu hanya seseorang yang kebetulan menggantikan posisinya.” Ataya mencoba meyakinkan Atia.
“Tapi, Ta. Mami dan Papi tidak pernah membahas tentang itu.” Atia mengangkat wajahnya yang sudah dipenuhi air mata untuk melihat Ataya.
Ataya yang melihat air mata sudah membasahi penuh pipi mulus Atia, kemudian menghapusnya dengan ujung-ujung jari kekarnya.
“Yakinlah, Tidak ada yang salah dari kita.” Ataya mengecup bibir pink milik Atia dengan lembut sekejap.
“Kita bukan sebuah kesalahan.” Atia mencoba meyakinkan diri.
Ataya mengangguk. “Kita bukan kesalahan.” Ataya mempertegaskan kembali pernyataan dari Atia yang tersirat sebuah kesedihan didalamnya.
