Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Atia

Gadis cantik berparas blasteran Indonesia-Turki tersebut tampak ragu untuk melangkahkan kaki ke dalam sebuah hotel bintang tujuh yang ada di Jakarta ini. Tempat ini adalah tempat diadakannya acara pelantikan Ataya Putra Daratama sebagai Presiden Direktur dari Daratama Advertising, sebuah perusahaan Advertising terbesar di Indonesia. Meski ragu, Atia tetap melangkahkan kakinya memasuki pintu hotel menuju ballroom, tepat setelah dirinya memarkirkan mobil miliknya di area parkir hotel yang sudah disediakan khusus tamu acara ini.

Atia terlihat sangat anggun mengenakan gaun selutut dengan kerah sabrina yang menunjukan pundak putihnya yang mulus. Garis selangkanya terlihat jelas menonjol dan terpampang sempurna sempurna. Gaun berwarna abu tua tersebut sangat kontras dengan warna kulit putihnya, sehingga pancaran cahaya tubuhnya makin terlihat. Atia bagaikan bidadari surga yang turun ke bumi, tidak ada satu orang pun yang mampu mengalihkan pandangannya dari gadis yang luar biasa cantik itu.

Atia berjalan perlahan menyusuri lobi hotel dengan langkah anggunnya, tiba-tiba segerombolan wartawan yang beberapa sudah dikenal oleh Atia, mendekatinya.

“Nona Atia.” Sapa beberapa dari mereka yang memang sudah biasa mewawancarai Atia dalam beberapa artikel bisnis.

“Hai semua.” Sapa Atia sembari melambaikan tangan sembari tersenyum dengan ramah, mencoba menutupi kegugupannya.

Gadis cantik bertubuh semampai itu merupakan Designer ternama yang sukses menggaungkan nama dan brandnya di kancah internasional dalam usianya yang sangat muda, yakni dua puluh tujuh tahun. Artikel tentangnya sering kali dimuat di berbagai majalah bisnis sebagai tokoh inspirasi bagi kalangan anak muda. Atia menjadi salah satu sosok idola anak muda, terutama yang berkecimpung di bidang fashion design dan sejenisnya.

“Wawancara sedikit boleh, Nona?” Tanya salah satu wartawan kenalannya kepada Atia.

“Boleh. Sedikit kan?” Atia mengangkat tangannya setinggi wajahnya, jari jempol dan telunjuknya agak didekatkan sembari satu matanya dikedipkan.

“Hahaha.” Serentak para wartawan yang mengerumuni Atia tertawa melihat tingkah polos gadis itu.

Atia adalah gadis yang polos dan lugu dalam kesehariannya, namun dia bisa berubah drastis saat bekerja, seolah memiliki kepribadian ganda.

“Tuan Darma dan keluarga datang!” Seru seseorang dari tengah kerumunan wartawan.

Para wartawan yang semula berkumpul di depan pintu ballroom, termasuk beberapa yang mengerumuni Atia segera melangkah ke pintu masuk untuk segera mengambil gambar keluarga Daratama tersebut, dan tentu saja Ataya yang menjadi tokoh utamanya hari ini.

Atia tiba-tiba saja merasasemakin bertambah gugup, napasnya tersengal, dadanya terasa nyeri saat mendengar bahwa keluarga Daratama telah tiba. Gadis itu mematung sejenak di posisinya tanpa menoleh ke belakang untuk melihat kedatangan para anggota keluarga Daratama. Atia kemudian melangkahkan kakinya perlahan yang terasa sangat berat itu menuju ke balik pilar besar yang berada di tengah lobi hotel untuk menutupi tubuh langsingnya agar tidak terlihat oleh anggota keluarga Daratama yang baru saja tiba.

Kakinya bergetar, ditariknya napas panjang dan dalam, lalu dihembuskannya perlahan, kedua telapak tangannya kin sudah dibasahi keringat. Diberanikannya mengintip kedatangan keluarga Daratama dari balik pilar besar tempat dirinya bersembunyi. Manik mata kelabunya hampir saja basah karena air mata, dilihatnya Darma, Ranum, Ataya dan juga Dimas berjalan beriringan dengan penuh kebahagiaan, hatinya terasa sesak, begitu sakit rasa di dadanya saat ini. Bagaikan dirinya tengah di sengat segerombolan nyamuk rawa yang memiliki runcing hisap yang tajam.

Tangannya mulai bergetar, Atia merasakan kegugupan yang sangat dalam, ditautkannya kedua tangannya yang bergetar menahan gugup, lalu disandarkannya punggungnya ke sisi pilar besar tersebut. Dingin seketika menjalari punggungnya, saat punggung telanjangnya menyentuh pilar besar yang berlapis marmer tersebut dengan wajah yang tertunduk.

Tiba-tiba sebuah tangan yang terasa hangat menyentuh pundaknya yang mulai terasa dingin menyayat. Atia mengangkat wajahnya dan menoleh ke samping untuk melihat wajah seseorang yang menyentuh pundaknya dengan tangan hangatnya.

“Devan?” Seketika Atia merasakan sesak di dadanya menghilang sesaat setelah melihat sosok Devan berada di sana.

Devan menarik lembut tubuh ramping Atia ke dalam pelukannya, Atia pun seketika menangis dalam pelukan Devan. Gadis itu merasa nyaman mencurahkan tangisnya saat ini di depan Devan, laki-laki yang sudah lama dikenalnya, yang merupakan sahabat dari Ataya, kekasihnya. Tanpa bertanya, Devan terus memeluk tubuh ramping Atia dan mengusap punggung Atia perlahan untuk menenangkannya.

“Semua akan segera berlalu, Ia. Segera, lo nggak perlu sembunyi lagi untuk berada di samping Ataya.” Ucap Devan mencoba menenangkan Atia.

Mendengar perkataan Devan, tangisan Atia terhenti, ditariknya tubuh rampingnya itu dari pelukan Devan sembari tatapan tajam penuh tanya miliknya mengarah kepada laki-laki yang baru saja menenangkannya itu.

“Maksudnya, Van?” Tanya Atia menyelidik.

“Hem, maksudnya gini.” Devan panik, mencoba berkelit dan mencari alasan yang masuk akal.

“Kalau lo sekarang muncul sebagai kekasih Ataya, pasti banyak banget gosip dan pemberitaan tentang kalian, secara kan lo sama Ataya sedang jadi pusat perhatian banget, Ia.” Devan bicara terbata.

Atia memicingkan matanya ke arah Devan, mencoba mencerna alasan yang diberikan oleh Devan. Sesaat gadis itu memikirkannya dan kemudian Atia pun segera mengangguk, karena alasan yang diberikan oleh Devan dianggapnya masuk akal.

Atia lalu menundukkan kepalanya, seulas senyum lirih tersungging di sudut bibirnya.

“Atia.” Panggil Dimas setengah berlari menghampirinya.

Segera dihapusnya sisa air mata yang masih membasahi wajah cantiknya, lalu Atia memaksakan seulas senyum tersungging di wajah cantiknya untuk diperlihatkan kepada Dimas.

“Iya, Dimas, ada apa?” Tanya Atia dengan suara lembutnya yang bukan dibuat-buat.

“Nggak ke dalam? Dicari Ataya.” Dimas menunjuk pintu masuk ballroom yang berada di belakangnya dengan ibu jari melalui pundaknya.

Atia melirik sekilas pintu masuk ballroom yang ditunjuk oleh Dimas, lalu dia menggeleng perlahan. Diraihnya tangan Dimas dengan lembut, kemudian digenggamnya menggunakan kedua tangannya.

“Dim, gue pulang ya, badan gue sedikit nggak enak. Nih lihat, kata Devan mata gue merah.” Atia menunjukkan matanya yang memang merah, namun bukan karena sakit, tapi karena dia baru saja habis menangis.

Mendengar namanya yang menjadi Alibi Atia, Devan menggaruk-garuk tengkuk lehernya yang sama sekali tidak gatal.

“Tapi, Ia. Gue harus bilang apa sama Ataya?” Dimas mencoba menahan Atia untuk pulang, karena dia tau akan terjadi suatu hal jika Ataya tidak melihat Atia hari ini.

“Gue akan kirim pesan ke Ataya, biar gue yang nggomong kalau gue pulang ya, Dim.” Bujuk Atia kepada Dimas.

“Atia, tapi ini hari penting Ataya. Lo nggak mau menyaksikannya langsung?” Dimas masih berusaha membujuk.

“Terus, kalau gue pingsan di dalam? Bukannya itu malah ngerusak hari penting Ataya kan, Dim?” Atia tetap pada keinginannya untuk pulang.

Dimas menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan keras, percuma berdebat dengan Atia, si wanita keras kepala dan teguh pendirian, jika dia sudah menentukan sesuatu, tidak akan ada satu orangpun yang mampu merubah keputusannya.

“Lo pulang sendiri, nyetir sendiri? Tapi lo kan sakit, Ia.” Dimas merasa khawatir.

Jari telunjuk Atia mengarah kepada Devan. “Devan yang anterin gue pulang, Dim. Lo dampingin Ataya ajah ya.”

Devan yang mendengar namanya menjadi alibi Atia yang kedua kalinya, kembali menggaruk-garuk lehernya yang tidak gatal, namun dia mencoba untuk tidak membantah perkataan Atia kepada Dimas.

“Ya sudah, gue balik ke ballroom ya, Ia. Acara sebentar lagi dimulai.” Izin Dimas untuk kembali ke ballroom tempat acara berlangsung yang dijawab anggukan oleh Atia.

“Gue titip Atia, Van.” Ujar Dimas kepada Devan yang merdiri samping Atia.

Devan mengangguk dan tersenyum kepada Dimas sebagai jawaban dari permintaan Dimas tersebut.

Dimas kembali menatap Atia sebelum dirinya melangkah.

Atia segera menganggukan kepalanya dengan cepat dan tersenyum ke arah Dimas yang sudah mulai melangkah menuju ballroom meninggalkan dirinya bersama Devan.

“Terus, sekarang gue harus nganterin lo pulang?” Tanya Devan sedikit ragu.

“Nggak perlu. Gue sehat, gue bisa nyetir sendiri.” Tolak Atia yang kemudian melangkah meninggalkan Devan yang masih kebingungan.

Devan mencoba mengejar langkah Atia menuju pintu keluar hotel.

“Kalau Ataya nanya, gue harus jawab apa, Ia.” Tanya Devan penuh kebingungan.

“Ya, lo cari alesan sendiri dong, Van. Masa gitu ajah nggak bisa?” Atia tersenyum manis ke arah Devan dengan matanya yang berbinar penuh harapan, berharap Devan mau membantunya.

Melihat wajah Atia yang begitu disukainya itu, Devan tak kuasa untuk menolaknya.

“Okey, okey.” Setuju Devan. “Gue anter ke mobil ya.” Pinta Devan.

Atia menganggukkan kepalanya, tanda setuju untuk diantarkan Devan ke tempat mobilnya di parkir. Sepanjang perjalanan menuju parkir mobil, Atia hanya diam, hanyut dalam pikirannya sendiri, Devan yang juga diam tanpa kata hanya memperhatikan Atia diam-diam.

Tanpa sadar, mereka telah sampai ke tempat mobil Atia terparkir.

“Eh, sampai.” Seru Devan canggung.

Atia tersenyum. “Makasih ya, Van.” Ucapnya kepada Devan.

“Makasih buat?” Devan mengernyitkan keningnya.

“Buat bantuannya biar gue bisa pulang sekarang.” Jawab Atia.

“Lo yakin nggak mau masuk?” Devan berusaha memastikan keinginan Atia sekali lagi.

Atia menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Gue mau pulang.” Tegasnya.

“Ya sudah, hati-hati di jalan ya. Gue masuk dulu.” Devan kemudian berjalan kembali menuju pintu hotel.

Atia membuka pintu mobilnya dan masuk lalu duduk di belakang kemudi. Air matanya yang belum puas dikeluarkannya tadi kembali ditumpahkannya, kali ini tidak ada tempat untuknya bersandar. Atia segera menyalakan mesin mobilnya dan mengunci pintunya dari dalam, agar suara tangisannya tersamarkan jika saja ada seseorang yang tidak sengaja berdiri di dekat mobilnya terparkir.

“Apa alasanku menjalankan ini semua, ya Tuhan.” Ratap Atia sembari memegangi dadanya yang terasa begitu nyeri.

Tangisnya pecah dalam kesendirian, gadis itu terus saja meratapi perjalanan hidupnya yang sangat menyedihkan bagi dirinya itu.

Atia terus memukuli dadanya dengan tangan lembutnya yang terkepal. Dadanya terasa sangat sakit saat ini, bagai sebuah batu besar yang menghantam dadanya dengan keras hingga menyebabkan semua tulang rusuknya remuk.

“Apa dosa yang sudah aku perbuat, hingga aku harus merasakan semua ini?” Suaranya terdengar semakin lirih.

“Aku sangat ingin berada di sana, di antara mereka, di samping orang-orang yang aku sayangi dan tersenyum bahagia.” Ratapan gadis itu dalam tangis pilunya.

Makeup flawless yang menempel di wajahnya sudah mulai terseapu oleh air matanya yang mengalir deras. Tangannya terus saja terkepal di depan dada menandakan sakit yang teramat besar dirasasakan oleh gadis itu di hatainya.

Gadis itu terus saja menangis tanpa kata, dibiarkannya air mata terus mengaliri pipi mulusnya dan membawahi wajah cantiknya.

“Nangis sepuas yang kamu bisa, Ia. Sampai kamu bosan untuk menangisi ini.” Gadis itu berkata dalam hati untuk menguatkan dirinya sendiri.

Atia mengingat kembali kenangan saat dirinya lulus sekolah dasar.

Flash Back

Atia kecil tengah mengenakan pakaian daerah bersama beberapa orang teman sekelasnya untuk menari dalam pertunjukan acara kelulusan sekolah dasarnya.

“Hai, cantik.” Sapa Ines yang datang seraya menggandeng tangan Rana.

“Assallamuallaikum, Bunda.” Atia tersenyum mengulurkan tangan kepada Ines untuk mencium punggung tangannya sebagai rasa hormat kepada orang yang lebih tua.

Ines menyambut uluran tangan Atia dan membiarkan gadis yang tengah beranjak remaja itu mencium punggung tangannya.

“Bunda gabung sama orang tua murid lainnya ya, Sayang.” Ines berpamitan kepada dua orang gadis remaja yang sudah cantik mengenakan pakaian daerah tersebut.

“Okey, Bunda. Jangan kabur ya.” Ucap Rana kepada ibunya.

“Nggak kabur. Bunda tunggu sampai acara selesai.” Ines mencubit gemas hidung mancung milik Anaknya yang terkesan bawel itu.

Atia tersenyum simpul melihat interaksi antara sepasang orang tua dan anak itu yang tidak bisa dia rasakan di tempat ramai seperti ini.

“Lo bilang, Bunda dinas luar, Na?” Tanya Atia kepada sahabatnya itu.

“Kata Bunda di undur besok jadwal berangkatnya, demi hadir buat liat gue nari. Hihihi.” Rana terkikik.

“Owwwh.. bagus dong kalau begitu.” Atia menanggapi perkataan sahabatnya itu.

Atia tertegun mendengar celoteh Rana tentang pengorbanan Ines mengundur jadwal dinasnya hanya untuk melihat penampilannya hari ini.

“Non, Atia.” Jumaidah menegur Atia dan membuyarkan lamunannya dengan sapaannya.

“Biyung.” Atia tersenyum menatap kedatangan pengasuhnya itu.

“Biyung, Assallamuallaikum.” Sapa Rana kepada pengasuh sahabatnya dan mengulurkan tangannya untuk mencium punggung tangan Jumaidah.

“Non Rana juga ikut nari?” Jumaidah mengulurkan tangannya dan membiarkan sahabat anak asuhnya itu mencium punggung tangannya.

“Rana nyanyi hari ini, Biyung. Berhubung badan Rana kaku, jadi Rana nyanyi aja.” Celoteh Rana asal untuk mencairkan suasana hati sahabatnya yang diketahuinya sedang merasa sedih itu.

“Hahaha. Non Rana ini memang paling bisa kalau masalah bercanda.” Puji Bik Jum pada gadis cantik itu.

Atia pun ikut terkekeh.

“Kenapa, Biyung?” Atia menanyakan mengapa pengasuhnya itu mendatanginya setelah tadi berpamitan untuk duduk di bangku penonton saat sesampai merek di sekolah

Bik Jum melirik ke arah Rana, karena takut berbicara saat ada orang lain berada di antara mereka.

Rana yang menyadari itu segera menjauh dari Bik Jum dan juga Atia.

“Ini, Non. Tadi Pak Min ke sini, kasih biyung surat ini. Kata Pak Min, ini dari Nyonya untuk Non Atia.” Jumaidah mengulurkan secarik kertas putih yang terlipat kepada Atia.

Atia meraih secarik kertas itu dari tangan Jumaidah. Atia kemudian tersenyum simpul.

“Makasih, Biyung.” Ucapnya.

“Sama-sama, Non. Biyung permisi balik ke bawah tenda lagi.” Bik Jum kemudian berbalik setelah mendapat anggukan dari Atia.

Atia menggenggam secarik kertas yang terlipat itu dengan erat. Dia menarik nafas panjang sebelum membuka lipatan kertas itu untuk membacanya. Perlahan, Atia mulai membuka kertas yang ada di tangannya yang terlipat menjadi empat bagian. Kertas putih itu terdapat sebuah tulisan tangan dari seorang ibu kepada putrinya.

Ranum : Sukses untuk acara perpisahannya hari ini ya, Sayang. Maafkan Mami yang belum bisa mendampingi kamu saat ini, namun kasih sayang dan doa Mami selalu ada bersama kamu. Mami dan Papi tidak bisa menemui kamu, karena sekarang sedang berada di pesta perpisahan sekolah Ataya, banyak wartawan yang mengiringi gerak-gerik kami.

Atia segera meremat kertas tersebut, sebuah kepedihan dirasakan oleh gadis kecil yang baru beranjak remaja itu. Hampir saja dirinya menangis jika saja Sahabatnya Rana tidak datang untuk menghampirinya dan merangkul pundaknya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel