Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Jangan Sekarang

Mobil hitam milik Ataya sudah memasuki pekarangan rumah kediaman keluarga Daratama yang sangat luas itu. Ataya membunyikan klakson sebagai tanda sapaan untuk Pak Rahmat, scurity kediaman keluarga Daratama yang sudah membukakan gerbang untuk mereka.

"Sampaaaii." Seru Ataya dengan senyum mengembang saat mobil yang dikendarainya sudah berhenti sempurna di depan teras rumah mewah ini.

Atia langsung bergegas turun dari mobil milik Ataya dan berlari menuju rumah meninggalkan Ataya yang masih di dalam mobil.

Ataya tersenyum melihat tingkah Atia yang seperti anak kecil yang baru pulang sekolah.

“Sabar ya, Sayang. Sebentar lagi aku akan bawa kamu tinggal di sini.” Gumam Ataya. Lalu kemudian dia pun menyusul Atia yang sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah.

“Mamiiii..! Papiiii..!” Teriak Atia berlari dengan heels setinggi 3 cm yang masih menempel di kaki jenjangnya, menyusuri lantai bawah rumah berkonsep minimalis namun mewah ini menuju ruang keluarga.

“Atia! Hati-hati! Nanti jatuh!” Ataya mengingatkan Atia untuk berhati-hati sambil berjalan cepat mengejar langkah gadis itu menuju ruang keluarga.

“Mamiii..! Papiii..!” Teriak Atia lagi yang sudah mendekati ruang keluarga dan mendapati keberadaan Ranum dan Darma di sana.

“Haaap! Dapat!” Ataya menahan langkah Atia hingga terhenti. Atia menoleh bingung ke arah Ataya yang sudah memegangi lengannya dengan erat.

“Kenapa sih, Ta?” Kerutan di kening Atia tidak memudarkan kecantikannya sama sekali.

“Anggun sedikit, kenapa? Larian di ubin licin pakai heels tinggi. Punya tulang besi, kamu?” Ataya menegaskan suaranya karena khawatir.

“Hemmm, kirain kenapa.” Atia lalu menundukkan badannya dan melepaskan heels cantik itu dari kakinya dengan satu tangan berpegangan pada lengan kekar Ataya, lalu dia berdiri dan lanjut berlari dengan kaki telanjang, satu tangan memegang handbag, dan satu tangan lagi menjinjing heels cantik yang baru saja dilepasnya.

“Atia!” Tegur Ataya sekali lagi, namun orang yang ditegur sudah jauh meninggalkan dirinya. Ataya kemudian berjalan menyusul Atia yang sudah berada di pelukan Ranum.

“Kenapa kamu teriak-teriak, Ta?” Tanya Ranum yang sedang memeluk Atia.

“Anaknya Mami satu itu tuh, kelakuannya bikin geleng-geleng kepala.” Ataya lalu duduk di sofa tepat di sebelah Darma. Darma menepuk pundak Ataya sambil setengah tertawa.

“Ataya kenapa sih, Mi. Masa Atia lari-lari aja dimarahin.” Adu Atia kepada Ranum dengan manjanya yang khas.

“Larinya nggak masalah, Ia. Heelsnya kamu yang jadi masalah!” Ataya menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.

Ranum melotot melihat Atia. “Ih, nggak, Mi. Nih buktinya heelsnya kan Atia pegang.” Atia mengangkat tangannya yang masih memegang heels.

“Iya, heelsnya baru kamu lepas gara-gara aku tegur. Kalau nggak, Papi-Mami harus ngeluarin uang buat ganti ubin yang pecah karena ketimpa badan kamu.” Canda Ataya yang disambut tawa oleh Darma dan Ranum.

“ihh, badan aku nggak seberat itu, kali, Ta.” Bantah Atia yang langsung berdiri dan memegangi pinggang rampingnya. “ Nih, langsing gini.” Lanjutnya.

“Yang pernah gendong kamu itu, aku. Jadi aku tau kalau kamu itu berat!” Tegas Ataya.

Ranum dan Darma tiba-tiba menoleh ke arah Ataya, wajah mereka tampak kaget, mereka menuntut penjelasan atas apa yang baru saja mereka dengar.

Mulut Atia terkatup menyadari Ataya yang salah bicara.

“Nggapain kamu gendong Atia?” Tanya Ranum kepada Ataya.

“Emmm, itu, Mi..” Ataya seketika gugup, ucapannya terbatah-batah mencoba menjawab rasa penasaran Ranum dan Darma.

“Itu lho, Mi. Kan Ataya suka pamer otot kekarnya tuh, terus Atia tantang, kalau emang beneran kuat, coba gendong Atia.” Jawab Atia yang mengambil alih untuk memberikan penjelasan kepada Ranum dan Darma.

“Nah, iya, gitu.” Ataya mendukung penjelasan Atia.

“Tapi tau nggak, Mi.” Atia duduk kembali di samping Ranum. “Ataya ternyata nggak sekuat yang dipamerinnya.” Atia berbisik namun suaranya masih bisa didengar oleh dua orang lainny yang berada di sana dengannya dan Ranum.

Ranum dan Darma memicingkan matanya melihat Atia, menunggu sang putri melanjutkan ucapannya.

“Kenapa?” Tanya Darma penasaran.

“Karena, setelah gendong Atia, Ataya ngeluh sakit pinggang.” Atia langsung berdiri sambil tertawa terbahak-bahak dan kemudian berlari menyusuri tangga menuju lantai 2 di mana terdapat kamar pribadi miliknya, Ataya dan Dimas.

“Awas ya kamu, Ia!” Ataya ikut berdiri dan langsung berlari mengejar Atia yang sudah berada di pertengahan deretan anak tangga menuju lantai dua.

Tawa Ranum dan Darma pecah melihat tingkah kedua anaknya itu.

“Rumah jadi ramai, Mi.” Ucap Darma sambil terkekeh.

“Iya, Pi. Tapi masih kurang lengkap rasanya.” Mata Ranum menerawang, sebuah senyum yang menyimpan kesedihan terlukis di sudut bibirnya.

Darma kemudian merangkul pundak sang istri dengan lembut, mencoba memebuat hati istrinya yang cantik itu jauh lebih tenang.

Ranum menepuk-nepuk paha kekar Darma dengan lembut, tubuh Atletisnya tetap terjaga di usianya yang hampir memasuki kepala enam itu.

“Mami lihat persiapan makan malam dulu ya, Pi.” Ranum berdiri dan dijawab anggukan oleh Darma.

Tingallah Darma sendiri di ruang keluarga, ditatapnya sebuah foto keluarga besar yang tergantung di salah satu dinding ruang keluarga itu, matanya mulai berkaca-kaca mengingat sebuah kejadian yang telah lama berlalu, namun segera disingkirkannya perasaan itu karena kehadiran Dimas yang tiba-tiba.

“Pi.” Sapa Dimas dengan sopan. Dimas sebenarnya masih segan memanggil Darma dengan sebutan Papi, namun Ranum dan Darma memaksanya, maka Dimas mencoba melakukannya.

“Sudah bangun, kamu.” Darma tersenyum melihat anak laki-lakinya yang tampan dan sangat bisa diandalkan itu. Dimas mengangguk.

“Dimas tadi denger suara ribut-ribut?” Dimas menatap Darma sambil bertanya.

“Itu, Ataya sama Atia berantem.” Kekeh Darma sambil menggeleng-gelengkan kepalanya mengingat kejadian tadi.

Dimas tersenyum simpul melihat Darma yang tertawa. “Mami mana, Pi?” Dimas celingak-celinguk mencari keberadaan Ranum.

“Mami di dapur lagi menyiapkan makan malam.” Darma mengangkat satu tangannya menunjuk ke arah dapur. Dimas mengikuti arah yang ditunjuk oleh Darma.

“Dimas bantu Mami dulu, Pi.” Pamit Dimas yang lalu berdiri dan mulai melangkah menuju dapur.

Darma mengangguk, ditatapnya punggung Dimas yang mulai menjauh, seulas senyum terukir di bibirnya. Kehadiran Dimas dan Atia dalam hidupnya adalah hal yang sangat disyukurinya dalam hidup. Karena kehadiran Dimas dan Atialah dia bisa melihat Ranum tersenyum lagi dengan sangat ceria.

***

“Geli, Ta. Ampuuunn! Hahaha!” Tawa Atia menggelegar mengisi ruang yang dipersiapkan Ranum dan Darma sebagai kamarnya di rumah ini.

Tubuhnya terguling di atas kasur berukuran king size yang dibungkus sprei berwarna peach-putih yang merupakan warna favorite Atia. Tawanya terus menggemah di setiap sudut kamarnya ini, karena Ataya yang kini sedang berada di atasnya sedang memainkan jemari kekarnya di pinggang ramping milik Atia.

“Ampuuun, hemmm?” Tanya Ataya yang masih terus menggelitik pinggang Atia.

“Ampun, Sayang. Ampuun.. Ampuun.. hahaha.” Atia masih berusaha melepaskan tangan Ataya dari pinggangnya.

Ataya menghentikan gerakan tangannya, dan menjatuhkan tubuhnya tepat di samping tubuh Atia.

Napas Atia masih tersengal karena kelelahan digelitiki Ataya cukup lama.

Ataya memiringkan tubuhnya menghadap Atia yang masih sibuk mengatur napasnya, satu tangan menopang kepalanya agar sedikit terangkat. Diulurkannya tangan satunya untuk membelai lembut wajah cantik Atia yang sangat disukainya itu.

“Capek?” Ataya bertanya dengan lembut.

“Capek, Ta.” Jawab Atia dengan suara yang masih tersengal, dia menghirup dan menghembuskan napas dengan cepat.

Ataya lalu mendekatkan wajahnya ke wajah Atia, lalu berhenti tepat ketika hudung mancung menjulang mereka saling menempel.

“Mau ngapain kamu?!” Atia keget, matanya melotot melihat gerakan tiba-tiba yang dilakukan oleh Ataya.

“Mau cium kamu, boleh?” Izin Ataya.

Atia terdiam sejenak mencoba mencerna perkataan Ataya barusan. “Apaan sih kamu, Ta.” Tangannya mendorong tubuh kekar Ataya dengan satu tangannya yang lembut.

Atia lalu menegakan badannya dengan mudah, karena kaki jenjangnya masih menjuntai di sisi tempat tidur menyentuh lantai kamar.

Ataya dengan cepat menahan lengan Atia dan menariknya, sehingga tubuh Atia kembali terbaring di sampingnya, lalu kemudian Ataya dengan cepat mengubah posisinya hingga berada di atas tubuh Atia kembali dan mengurung tubuh ramping Atia dengan kedua tangan dan paha kekarnya.

“Jangan tolak aku.” Ucap Ataya sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Atia.

Atia tertegun, melihat wajah Ataya yang semakin mendekati wajahnya dengan perlahan, Atiapun memejamkan matanya dan pasrah.

“Non, Atia. Di panggil Nyonya dan Tuan, di tunggu makan malam.” Suara milik Bik Ijah terdengar dari luar, pintu kamar Atia diketuk berkali-kali oleh Bik Ijah.

Ketukan dan panggilan dari Bik Ijah tentu saja membuat Ataya dan Atia kaget, dan terpaksa mereka menghentikan kegiatan yang akan mereka lakukan. Mata mereka saling beradu, lalu kemudian mereka tertawa bersama.

“Iya, Bik. Atia turun.” Jawab Atia dari dalam kamar, barulah setelah itu ketukan dan panggilan dari Bik Ijah tidak terdengar lagi.

“Bik Ijaaaaah.” Geram Ataya menyebut nama kepala asisten rumah tangga keluarga Daratama itu.

“Hahahaha! Jangan sekarang ya sayang, kita sudah ditunggu.”Atia kemudian mendorong pelan tubuh Ataya yang masih berada di atas tubuhnya.

“Hemmmmm.” Gumam Ataya dengan enggan sembari menegakkan tubuhnya dan merapikan pakaian yang agak sedikit berantakan karena pergerakannya tadi.

Atia turut bangkit dan memperbaiki gaunnya yang sedikit terlipat, serta memperbaiki rambutnya yang sedikit kusut. Setelah memastikan merek kembali rapi, Atia kemudian membuka pintu kamar kemudian melangkah keluar.

“Den Ataya, Den. Di tunggu Nyonya dan Tuan buat makan malam, Den.” Terdengar suara Bik Ijah yang mengetuk-ngetuk pintu kamar milik Ataya.

“Ataya di sini, Bik.” Tegur Ataya kepada Bik Ijah sembari keluar dari kamar milik Atia.

“Oh, Bibik kira, Aden ada di kamar.”Bik Ijah tersenyum canggung.

“Ataya ada di kamar Atia tadi.” Ucapnya dingin sembari melangkahkan kaki menuju tangga dan diikuti oleh Atia yang sedang menahan tawa.

Bik Ijah mengiringi langkah Ataya dan Atia dari belakang menyusuri anak tangga sambil tertunduk sembari tersenyum canggung.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel