Bukan Untuk Saat ini
Ataya dan Atia berjalan beriringan memasuki ruang makan, terlihat Darma yang sudah duduk di kursi makan, Ranum yang sedang sibuk menata lauk-pauk yang sudah dimasak oleh para asisten rumah tangga dengan dibantu oleh Dimas.
“Lho, belum ganti baju, kamu, Ta?” Tegur Ranum kepada putra sematawayangnya itu yang sedang berjalan menuju meja makan.
“Belum, Mi. Nanggung kalau Ataya mandi sekarang.” Jawab Ataya sembari menarik kursi makan yang akan didudukinya.
“Alasan, Mi.” Celetuk Atia. “Bilang aja kamu malas mandi.” Atia menarik kursi tepat di sebelah Ataya dan di samping kiri Darma disusul Ranum dan Dimas yang telah selesai menata makanan di atas meja.
Baru saja Ataya membuka mulut hendak menjawab ejekan Atia, Darma sudah melerai mereka terlebih dahulu. “Sudah.. Sudah.!. Kalian berdua ini nggak capek, apa?” Tegur Darma dengan suara baritonnya.
“Lagian, kalian ini. Jauh saling cari, dekat malah ribut.” Sambung Ranum sembari mengambilkan nasi beserta lauk-pauknya ke dalam piring Darma.
Ataya dan Atia saling lirik lalu tersenyum.
“Ayo makan, nanti keburu dingin makanannya.” Ajak Ranum setelah menaruh piring berisi makanan yang sudah diambilkannya di depan Darma.
Ataya, Atia dan Dimas pun mulai mengambil makanan ke dalam piring mereka masing-masing.
Darma dan Ranum tersenyum melihat anak-anak yang sangat mereka sayangi itu berkumpul bersama mereka dalam satu waktu. Kebersamaan seperti ini adalah moment yang sangat langkah dan hanya bisa dilakukan di rumah ini saja, jika di luar akan berbeda ceritanya.
“Ayo makan.” Ajak Darma kepada anggota keluarganya dengan mengangkat sendok serta garpu lebih dulu, di ikuti oleh anggota keluarganya yang lain.
Mereka makan tanpa bicara, karena Darma memang tidak ingin ada perbincangan tentang apapun saat waktunya makan, mau itu sarapan, makan siang, atau pun makan malam, dan semua anggota keluarga Darma Daratama mengetahui serta mematuhi peraturan yang tidak tertulis itu.
Mereka makan dengan lahap, terutama Dimas dan Atia. Dimas yang baru beberapa minggu lalu pulang dari London tentunya sangat merindukan masakan Ranum, mengingat saat tinggal di London, dia hanyalah seorang diri tanpa ada yang mengurusnya.
Setelah selesai makan, mereka sekeluarga berpindah ke ruang keluarga untuk saling bercengkrama. Tentu saja Darma dan Ranum tidak ingin moment berkumpul keluarga mereka ini cepat berakhir.
“Nggak ada yang mau komen ya sama penampilan Atia?” Atia pura-pura merajuk kepada semua anggota keluarga.
Dimas hanya mengacungkan kedua jempolnya di udara ke arah Atia tanpa berucap sama sekali.
“Cantiiik!” Seru Ataya yang terdengar terpaksa.
“Cantik, sayang.” Ucap Darma memuji anak perempuannya itu. “Kamu mirip sekali seperti mami waktu muda.” Lanjutnya.
Tiba-tiba dada Atia terasa sakit mendengar ucapan Darma. “Apa benar aku mirip Mami muda dulu?” Tanyanya dalam hati.
Ataya yang juga kaget mendengar ucapan Darma, seketika melotot. Dilihatnya wajah Atia yang tiba-tiba saja termenung, ditariknya napas panjang dan dalam, lalu dihembuskannya perlahan. Ataya tau, pasti ucapan Darma akan menjadi beban pikiran bagi Atia.
“Atia itu banyakan miripnya sama kamu.” Ranum menarik tangan Atia dengan lembut dan menyuruhnya mendekat kepadanya.
Atia makin tertegun mendengar perkataan Ranum. Ataya yang melihat wajah Atia yang semakin tertegun, mulai memijat-mijat pelipisnya menggunakan ujung jari kekarnya.
“Jadi Atia mirip siapa, Mi?” Tanya Atia datar.
Ranum dan Darma saling berpandangan mendengar pertanyaan Atia.
“Kamu mirip Mami dan Papi.” Jawab Darma yang kemudian tertawa bersama Ranum.
Seulas senyum yang terlihat dipaksakan terukir di wajah cantik Atia mendengar perkataan Darma barusan. Sedangkan Ataya benar-benar hanya bisa diam dan tidak bisa berbuat apa-apa pada saat ini, meski rasanya ingin sekali dia membenamkan Atia dalam dekapannya.
“Pi, Mi. Kemungkinan apartement Dimas, lusa sudah selesai dirapikan, jadi 3 hari lagi Dimas sudah bisa pindah.” Ucap Dimas tiba-tiba.
Ataya bersyukur Dimas memulai pembicaraan baru. Paling tidak, bahasan tentang kemiripan bisa terhenti.
“Kamu yakin mau tinggal di apartement, Dim?” Tanya Darma.
“Apa nggak sebaiknya kamu tinggal di sini saja, Nak?” Timpal Ranum.
Dimas tersenyum, lagi-lagi Darma dan Ranum mencoba menahan Dimas untuk tetap tinggal di rumah kediaman keluarga Daratama. Dari awal Dimas mengutarakan niatnya untuk tinggal di apartement pribadi yang dibelinya dari hasil tabungannya selama ini, Darma dan Ranum sudah menentang keputusannya itu dan tentu saja mencoba membujuk Dimas untuk tetap tinggal di sana.
“Kita sudah sepakat tentang ini kan, MI, Pi.” Tukas Dimas sambil tersenyum.
Darma mengangguk, karena memang mereka sudah pernah membicarakan hal ini dan sudah mencapai sebuah kesepakatan yang disetujui oleh mereka bersama. Dimas diperbolehkan pindah dan tinggal di apartemennya sendiri, hanya jika dia bersedia dua minggu satu kali menginap di kediaman Daratama.
Ranum terlihat murung, namun dia berusaha untuk tetap menerima keputusan Dimas.
“Kenapa, Mi?” Tanya Darma dengan satu tangan merangkul pundak sang istri.
“Rumah kita jadi sepi lagi.” Ratapnya dalam pelukan Darma.
“Kalau mami takut sepi, Atia pindah saja di sini sama kita.” Celetuk Ataya mencoba melemparkan umpan, meski kemungkinan umpannya akan ditangkap hanya 10 persen saja.
Ranum dan Darma langsung terdiam, Ranum menoleh ke arah Atia yang duduk tepat di sampingnya. Di pegangnya pipi mulus Atia mengunakan satu telapak tangannya, dielusnya dengan penuh kasih sayang. Sebuah senyum yang menyiratkan sebuah kesedihan, sebuah kepedihan, sebuah luka terukir di wajahnya saat menatap mata Atia.
“Suatu saat ya, Nak. Tapi bukan untuk saat ini.” Tolak Ranum secara halus, namun mampu menusuk hati Atia.
Seulas senyum yang tentu saja sangat dipaksakan tersungging di sudut bibir Atia, dianggukannya kepalanya sebagai jawaban dari penolakan Ranum, seolah dia mengerti akan situasi yang terjadi.
Ataya menatap mata Atia dari kejauhan. “Senyumnya palsu.” Seru Ataya dalam hati. Dia tau bahwa wanitanya itu hendak menangis, namun tentu saja ditahannya karena tidak ingin dilihat oleh siapapun, terutama Darma dan Ranum.
Suasana haru meliputi mereka yang ada di ruangan ini, terutama dua orang wanita cantik yang ada di sana.
“Ehemmm.. hem..!” Darma memecah kesunyian yang tiba-tiba menyeruak. “Gimana persiapan kamu ke Malaysia, Ta?” Darma memulai percakapan lain.
“Senin depan Ataya berangkat, Pi. Semua dokumen sudah dipersiapkan oleh Dimas.” Urai Ataya dan disambung anggukan oleh Dimas.
“Bagus.” Tukas Darma kepada kedua putranya itu. “Lakukan yang terbaik. Papi yakin anak-anak papi selalu bisa diandalkan.” Pesannya kepada Ataya dan Dimas.
“Ini tugas pertama Ataya setelah dilantik, Pi. Ataya akan melakukan yang terbaik semampu Ataya.” Jawab Ataya penuh keyakinan.
“Ini juga tugas pertama Dimas sebagai asisten pribadi Ataya, Pi. Dimas akan memastikan Ataya melakukan yang terbaik.” Dimas pun menjawab dengan penuh keyakinan.
Darma menganggukan kepalanya mendapatkan jawaban yang penuh ketegasan dan keyakinan dari kedua putranya itu dalam melaksanakan tugasnya.
Sebenarnya Ataya dan Dimas masih terlalu muda untuk mengemban jabatan mereka saat ini. Setelah menyelesaikan pendidikan S1nya di Oxford Business School, Ataya langsung mengejar program pasca sarjana di kampus yang sama dengan dia yang menyelesaikan S1nya. Saat dia menempuh pendidikan pasca sarjananya, Dimas yang ditugaskan oleh Darma untuk bergabung bersama manajemen perusahaan di indonesia. Setelah 2 tahun berhasil menyelesaikan pendidikan pasca sarjananya, Ataya kembali ke Indonesia dan ikut bergabung bersama manajemen perusahaan dengan bimbingan Dimas yang sudah lebih dulu bergabung. Mereka berdua sama-sama mulai dari posisi bawah. Hal itu diperuntukan agar Ataya dan Dimas memahami semua tugas dan pekerjaan yang dikerjakan di semua posisi. 3 tahun setelahnya, giliran Dimas yang meneruskan pendidikan pasca sarjananya di London Business School, kampus tempat Dimas menyelesaikan S1nya.
Enam bulan lalu, saat Dimas sedang menjalankan tesisnya, Darma memintanya mempercepat kepulangannya ke Indonesia, agar dia dan Ataya bisa saling mendampingi menjalankan manajemen perusahaan yang sebenarnya ini di luar rencana. Darma terkena serangan jantung, dan disarankan untuk mengurang beban kerja demi menjaga kesehatannya. Dimas meminta waktu hingga tesisnya selesai dikerjakan, dan dalam proses itu, persiapan Ataya untuk menduduki jabatan sebagai Presiden Direktur dipercepat. Setelah hasil rapat umum pemegang saham dilaksanakan, dan hasilnya menyetujui Ataya untuk menggantikan Darma sebagai Presdir, dan bertepatan Dimas menyelesaikan Tesisnya, Dimas pun kembali ke Indonesia beberapa minggu lalu untuk berdampingan menjalankan tugas di perusahaan bersama Ataya.
Sebenarnya Dimas belum melaksanakan wisuda pasca sarjananya, namun kampus sudah memiliki jadwalnya, dan sembari menunggu, Dimas lebih memilih menunggunya di Indonesia, berkumpul bersama keluarganya.
“Oh, Ataya lupa.” Ucap Ataya tiba-tiba.
Semua yang berada di sana memusatkan perhatian kepada Ataya, menunggu ucapan selanjutnya yang akan diucapkan oleh Ataya.
“Ataya boleh minta izin untuk Atia ikut kami ke Malaysia?” Lanjut Ataya.
Atia menatap mata Darma dengan penuh harap. Darma menatap mata anak perempuannya itu dengan penuh penyesalan.
“Kalau kamu ikut, siapa yang akan menemani Mami dan Papi di sini?” Darma mencari alasan lain untuk menutupi alasan yang sebenarnya.
Atia kemudian tertunduk, hari ini sudah berapa kali dia merasakan sesuatu menusuk dadanya. Dia lalu memeluk tubuh Ranum yang berada di sampingnya untuk menyembunyikan kesedihannya.
Ataya yang juga merasa kecewa atas jawaban Darma yang tidak mengizinkan Atia ikut bersamanya hanya bisa menarik napas panjang. Diliriknya Atia yang sedang tersenyum sambil berbisik-bisik bersama Ranum. Dia tau, Atia pasti ingin sekali menangis saat ini, namun lagi-lagi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghibur kekasihnya itu.
