Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Aku Siapa?

Hari sudah semakin larut, Atia berpamitan pulang kepada Ranum dan Darma, dan Ataya meminta izin untuk mengantarkan Atia pulang.

Atia yang kini sedang duduk di kursi penumpang bagian depan mobil SUV hitam milik Ataya, terus saja termenung sepulangnya dari kediaman keluarga Daratama tadi.

Ataya sangat tau apa yang menjadi penyebab gadisnya itu hanya termenung tak bersuara sepanjang perjalanan. Jujur saja, hal itu juga menjadi beban pikirannya, namun dia berusaha untuk mengindahkan pikiran yang akan merusak hubungannya dengan Atia.

Mobil Ataya sudah memasuki kompleks kawasan perumahan elit tempat tinggal Atia. Ataya mulai memperlambat laju kendaraan, karena peraturan di kawasan ini hanya memperbolehkan kecepatan maksimum kendaraan 30km/jam. Tibalah mereka di pelataran parkir rumah Atia, Ataya pun menghentikan laju kendaraannya.

“Sayang.” Panggil Ataya yang melihat Atia sudah bersiap untuk turun dari mobilnya.

“Hemmmm?” Atia menghentikan kegiatannya dan menatap Ataya.

“Kita bicara sebentar?” Pinta Ataya ragu.

Atia tau apa yang hendak dibicarakan oleh Ataya kepadanya, namun dirinya tidak akan sanggup untuk membicarakannya malam ini.

“Nanti ya, Ta. Aku capek.” Tolak Atia sambil tersenyum.

“Tapi, Ia.” Ataya masih berusaha membujuk Atia.

“Jangan sekarang, aku mohon.” Atia menolak lagi dengan halus. “Kamu langsung pulang aja, nggak usah turun. Aku butuh istirahat.” Atia lalu melepaskan jas kelabu milik Ataya yang dipakaikan oleh kekasihnya itu untuk menutupi bahu telanjangnya, dan kemudian diapun bergegas turun dari mobil lalu melangkah menuju pintu masuk.

Ataya hanya terpaku melihat sosok Atia yang kemudian menghilang di balik pintu. Ataya menghembuskan napas dengan kasar karena menahan kesal akan diri sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghibur hati Atia pada saat ini.

Ataya menyambar ponsel pintar miliknya yang tergeletak di dashboard mobilnya, lalu dia mencari kontak Rana di sana. Ataya pun melakukan sebuah panggilan kepada Rana.

“Halo, assallamuallaikum.” Sambut Rana di seberang sana.

“Waalaikumusallam, Na.” Ataya menjawab ucapan salam dari Rana.

“Ngapain lo nelfon gue malem-malem gini?” Tanya Rana yang mulai ketus kepada Ataya.

“Kalau nggak terpaksa juga gue nggak mau nelfon lo.” Ketus Ataya balik.

“Terus, ngapain lo nelfon?” Rana menjawab setengah enggan.

“lo lagi ada di Bandung apa Jakarta, Na?” Ataya mulai serius berbicara.

Rana mengerti jika Ataya sudah seperti ini, maka bukan saatnya untuk bercanda. “Di Bandung, gue nggak pulang minggu ini. Kenapa, Ta?” Jawab Rana yang juga terdengar serius.

“Bisa lo hibur Atia, Na? Kayaknya dia lagi banyak pikiran.” Pinta Ataya.

“Ya, beban lah buat dia, punya kakak kayak lo.” Rana terkekeh.

“Gue serius, Na. Gue minta tolong sama lo.” Suara Ataya terdengar seperti penuh harap.

“Ya sudah, gih matiin telfonnya, biar gue bisa nelfon Atia.” Titah Rana kepada Ataya.

“Makasih sebelumnya, Na.” Ungkap Ataya.

“Nggak perlu makasih, gue bukan mau nolongin lo kok. Gue cuma nggak mau denger sahabat gue sedih.” Tutur Rana.

“Gue lega, lo yang jadi sahabatnya Atia.” Ataya kemudian memutus panggilan telfonnya kepada Rana, lalu dia kembali melajukan mobilnya membelah jalanan kota Jakarta yang masih terlihat terang di pekatnya kegelapan malam.

***

Atia yang baru selesai membersihkan diri dan hendak mengaplikasikan rangkaian perawatan tubuh dan wajah yang wajib dilakukannya sebelum tidur, melirik ponsel pintarnya yang bergetar di atas nakas samping tempat tidurnya. Dikerutkannya keningnya ketika melihat nama Rana yang muncul di layar ponsennya dan melakukan panggilan kepadanya. Atia menggeser tombol berwarna hijau yang bergerak-gerak di layar ponselnya selama panggilan berlangsung.

“Halo, Na.” Jawab Atia.

“Waalaikumusallam.” Suara Rana terdengar lega saat panggilan telfonnya dijawab oleh Atia.

“Oh, iya. Assallamuallaikum.” Atia terkekeh.

“Waalaikumusallam.” Rana menjawab salam Atia kembali.

“Ranaaaaa...!” Rengek Atia kepada sahabatnya itu.

“Apaaaaa? Masih sadar lo? Kirain udah pingsan.” Canda Rana.

“Isss, do’anya nggak baik.” Rajuk Atia, yang disambut kekehan oleh Rana.

“Lo baik-baik aja kan, Ia?” Tanya Rana yang tidak lagi bercanda.

“Lagi nggak baik-baik, Na.” Atia memang tidak bisa menyembunyikan apa-apa dari Rana, kecuali status keluarganya.

“Mau cerita?” Tawar Rana.

“Lo pulang gih, biar gue ada temen di Jakarta.” Atia tiba-tiba mengalihkan bahasannya.

Rana tau bahwa Atia tidak ingin membahasnya, dan itu artinya, yang menjadi permasalahan itu adalah prihal keluarga. Rana tidak ingin memaksa Atia untuk bercerita, jika memang sahabatnya itu tidak ingin. Namun Rana sungguh berharap, saat ini dia bisa ada di samping Atia untuk meringankan beban yang dipikul oleh sahabatnya itu.

“Eh, iya. Devan minggu depan mau ke Bandung. Lo ikut aja sini, Ia. Gue ambil cuti deh buat lo.” Rana mencoba memulai bahasan lain yang membuat Atia melupakan sejenak beban pikirannya.

“Ngapain Devan ke Bandung?” Tanya Atia.

“Ada kerjaan katanya, Ia. Sebelum dia balik ke Palembang, Devan mau kunjungan ke cabang perusahaannya di Bandung.” Jelas Rana.

“Berapa hari dia di Bandung, Na?” Selidik Atia.

“Katanya sih cuma 3 hari, setelah itu dia langsung terbang ke Palembang.” Ungkap Rana.

“Tau banget, lo, sama jadwal kerjanya Devan?” Atia memicingkan matanya, nada bicaranya terdengar curiga.

“Ya kan dia sendiri yang bilang, Ia.” Ucap Rana.

“Lo sama Devan nggak lagi pacaran kan?” Atia akhirnya menanyakan inti dari kecurigaannya.

“Nggak lah, Ia.” Bantah Rana. “Gue sama Devan itu cuma kakak-adik ketemu besar, sama kayak lo sama Ataya.” Rana menjelaskan. “Lagian, kita punya orang yang kita suka masing-masing kok, Ia.” Lanjutnya.

“Hah, lo suka sama seseorang, Na? Kok lo nggak cerita sama gue? Gue kenal orangnya?” Atia mencecari Rana dengan pertanyaan-pertanyaan, Rana terkekeh dibuatnya.

“Nanti ya,” Tolak Rana. “Gue belum siap cerita.” Lanjut Rana.

“Tapi lo udah cerita sama Devan.” Rajuk Atia karena Devan lebih dahulu tau tentang lelaki yang disukai Rana.

“Devan tau sendiri, Ia. Gue nggak cerita, sumpah.” Rana mengangkat tangannya dan menegakkan jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V, seolah Atia bisa melihatnya.

“Masa? Emang Devan kenal siapa orangnya?” Atia mencoba memancing agar Rana membuka obrolah tentang lelaki yang disukainya.

“Atiaaaa.” Rana mengetahui niat Atia yang memancingnya membuka bahasan itu.

“Iya, iya. Lo bisa cerita kalau lo sudah siap.” Atia terkekeh karena niatnya diketahui Rana.

“Mau ikut Devan nggak, lo?” Tanya Rana kembali ke pokok bahasan awal.

“Mau, Na. Ntar gue telfon Devan deh, biar dia bisa jemput gue, dia bawa mobil kan?” Tanya Atia memastikan.

“Dia naik pesawat, Ia. Kan dari Bandung, dia langsung terbang ke Palembang. Gue yang akan jadi supir pribadi kalian selama di Bandung.” Ucap Rana.

“Oh iya, gue lupa.” Atia menggaruk-garuk tengkuknyanya yang tidak gatal.

“Lo apa gue yang mau nelfon Devan?” Tanya Rana lagi.

“Biar gue, Na. Atau lo memang pingin telfonan sama Devan?” Atia lagi-lagi memancing Rana.

“Teruuuussss aja, Ia. Pancing teruuusss, nggak akan dapet ikannya.” Tukas Rana.

Atia terkekeh dan Rana pun ikut tertawa. Telfon dari Rana, mampu membuat Atia melupakan sejenak kesedihan yang dirasakannya. Rana selalu sukses membuatnya melupakan beban yang ada di fikirannya meski hanya sesaat. Obrolan mereka berlanjut hingga tengah malam, dan obrolan itu terhenti karena batre ponsel Rana yang sudah hampir habis, kalau saja batre ponsel Rana tidak berbunyi pada saat itu, bisa dipastikan, mereka akan bersama melewati hari ini sambil bercanda gurau via telfon.

“Gue tunggu di Bandung ya, Ia.” Tukas Rana sebelum mengakhiri panggilan telfonnya.

Atia melirik layar ponselnya. “3 jam, 10 menit, 43 detik.” Itu adalah durasi obrolan dia dan Rana melalui sambungan telfon, Atia pun lalu tersenyum.

Atia melanjutkan kegiatannya yang sempat tertunda karena mendapatkan telfon dari Rana tadi. Atia mulai mengambil kapas kosmetik, menetesinya dengan micellar water, lalu mengusapkannya di wajahnya dengan lembut. Satu per satu rangkaian perawatan wajah diaplikasikannya oleh Atia dengan teliti tanpa ada yang terlewat, setelah rangkaian perawatan wajah, Atia mulai mengaplikasikan hand and body beraroma strawberry ke seluruh tubuhnya.

Setelah melaukan kegiatan wajibnya itu, Atia lalu melangkah menuju tempat tidurnya, direbahkannya tubuh rampingnya itu di atas kasur miliknya. Matanya terpaku menatap lagit-langit kamarnya, kejadian-kejadian yang membuat hatinya sakit hari ini terus saja terbersit silih berganti di dalam fikirannya.

Diangkatnya ponsel pintar yang terbungkus case berwarna peach itu, lalu Atia membuka sebuah aplikasi pesan dan mulai menulis pesan dan mengirimkannya kepada Ataya.

Atia : Aku siapa?

Sebuah pesan ambigu dikirimkannya kepada Ataya di tengah malam. Atia lalu menonaktifkan ponselnya dan menaruhnya di laci nakas samping tempat tidurnya, dia pun memiringkan tubuhnya memeluk sebuah bantal guling terbungkus sarung berwarna peach polos. Atia mencoba memejamkan matanya yang sudah lelah, berharap semua bebannya hari ini sirna ditelan kegelapan malam, dan besok hatinya akan terasa jauh lebih ringan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel