Sebuah Jalan
Ataya yang sedang termenung sambil berbaring di atas tempat tidurnya memikirkan kejadian tadi di rumah kediaman keluarga Daratama tiba-tiba terkwjut mendengar sebuah notifikasi pesan yang berbunyi dari ponsel miliknya yang ada di saping telingannya. Diliriknya jam yang menggantung di salah satu dinding kamarnya yang menunjukkan bahwa saat ini tepat pukul 12 malam. Di ambilnya ponsel pintar miliknya itu untuk melihat siapa yang mengirimkan pesan kepadanya tengah malam seperti ini.
“Atia?” Ataya memicingkan matanya melihat layar ponselnya tertera nama Atia sebagai pengirim pesan. Segera ditekannya pesan tersebut sehingga sebuah aplikasi pesan terbuka secara otomatis.
Atia : Aku siapa?
Ataya kembali memicingkan matanya, apa maksud dari pesan ambigu yang dikirimkan oleh Atia ini.
Ataya : Maksud kamu apa, sayang? Kok nanya kamu siapa?
Ataya membalas pesan tersebut dan menghembuskan nafas panjang. Sungguh hari-hari yang mereka lalui berdua sangat berat. Seandainya saja mereka dipertemukan dengan keadaan yang berbeda, tentu saja hubungan mereka tidak akan seberat ini. Ataya meletakan kembali ponsel pintar berwarna hitam tersebut di atas tempat tidurnya, lalu dia bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Sepulang dari mengantarkan Atia tadi, Ataya terlalu sibuk dengan fikiran-fikirannya, berjam-jam dia habiskan memikirkan keadaan Atia saat ini, apakah Rana berhasil menghiburnya? Apa yang sedang Atia lakukan? Hingga dia lupa pada dirinya sendiri.
Ataya keluar dari walk in closet miliknya dan sudah lengkap dengan pakaian tidurnya berjalan menuju tempat tidurnya. Ataya duduk bersandar di atas kasur empuknya dan menyambar ponsel miliknya untuk memeriksa pesan balasan dari Atia, namun layar ponsel miliknya hanya terdapat tanda kunci dan sebuah jam digital dengan latar foto Atia dan dirinya yang sedang tersenyum memperlihatkan barisan gigi putih dan rapi mereka, tidak ada sama sekali notifikasi pesan yang masuk, baik dari Atia maupun siapapun. Ataya lalu membuka aplikasi pesan yang sering digunakannya untuk berkirim pesan kepada orang-orang yang ada di kontaknya, dan dia kebingungan mendapati pesan yang dia kirimkan hanya centang satu, itu artinya pesannya belum diterima oleh Atia. Ataya lalu dengan cepat menekan nomer ponsel Atia yang sudah didaftarkannya sebagai panggilan cepat nomer dua di ponselnya, namun ternyata yang menjawab adalah operator, ponsel Atia tidak aktif.
“Kamu kenapa sih, Ia?” Ataya melakukan panggilan berulang-ulang kepada nomer ponsel Atia, meskipun hasilnya tetap saja nihil. Lalu kemudian dia teringat kepada Rana, Ataya langsung mengalihkan panggilannya ke nomer ponsel Rana.
Beberapa kali terdengar bunyi dari balik telfon, sebagai tanda panggilan telfonnya tersambung, namun Rana masih belum menjawabnya hingga telfonnya mati.
“Ini dua anak kenapa sih?” Ataya mulai diliputi kepanikan.
Baru saja dia hendak beranjak, ingin menyambar kunci mobilnya di atas meja, lalu bergerak ke rumah Atia, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Ataya segera menekan tombol hijau saat melihat nama yang muncul adalah Rana.
“Apa? Apa? Apa?” Tanya Rana geram sesaat setelah Ataya mengangkat telfonnya.
“Assallamuallaikum.” Ataya mengucapkan salam dengan sopan.
“Waalaikumusallam.” Rana menjawab salam dari Ataya.
“Nah kan enak kalau salam dulu, baru ngomel.” Ataya bicara dengan bijak.
“Lo itu nelfon gue tengah malem, Ta. Kenapa?” Omel Rana.
Ataya baru teringat kalau sekarang sudah lewat tengah malam, dia sungguh tidak terfikir lagi tentang waktu saat tau ponsel Atia tidak aktif.
“Maaf, Na. Gue ganggu lo.” Ataya terdengar menyesal.
“Nggak apa. Kalau lo nggak jadi ngomong, seriusan gue bakal langsung ke Jakarta, gue masukin lo dalem karung, terus gue lempar ke sungai.” Ancaman Rana yang terdengar menyeramkan, namun berhasil membuat Ataya tertawa.
“Iya, iya, maaf.” Ataya terkekeh. “Na, lo jadi nelfon Atia tadi?” Lanjut Ataya bertanya.
“Jadi, baru sekitar 30 menitan yang lalu kita udahan telfonannya, Ta.” Jawab Rana.
“Gimana dia, Na?” Tanya Ataya sedikit tergagap.
“Dia baik-baik aja, Ta. Dia tetap Atia yang gue kenal, Atia yang polos, ceria, manja, nggak ada yang berubah, setidaknya saat dia ngobrol sama gue tadi.” Tukas Rana.
“Dia nggak cerita apa-apa sama lo, Na?” Selidik Ataya.
“Dia nggak cerita apa-apa, Ta. Kala memang dia nggak cerita, berarti dia belum siap buat cerita, gue nggak mau maksa dia, Ta.” Rana mencoba menjelaskan.
“Gue cuma takut dia kenapa-kenapa, Na. Karena apa yang terjadi tadi di rumah.” Tanpa sadar, Ataya mulai hendak bercerita. Entah mengapa, setiap kali dia berbicara dengan Rana, ada sebuah rasa yang tidak bisa dijelaskan oleh dirinya. Rana membuatnya merasa ingin menceritakan semua keluh-kesah yang dirasakannya, padahal, dia dan Rana tidak berbeda seperti kucing dan tikus yang selalu berkelahi.
“Dia nggak apa-apa, Ta.” Rana bicara meyakinkan.
“Handphone Atia nggak aktif, Na.” Lanjut Ataya.
“Ta, gue boleh kasih saran?” Tanya Rana ragu.
“Saran apa, Na?” Ataya mengernyitkan keningnya.
“Kasih Atia sedikit waktu buat nenangin diri, Ta. Paling nggak, buat hari ini. Dia sedang berusaha buat nerima keadaan.” Tutur lembut Rana seolah menghipnotis Ataya. “Mungkin belum saatnya buat kalian melangkah di jalan yang tepat, tapi buat itu, semua ini memang harus kalian lalui, dan gue yakin kalian bisa. Lo harus kuat, biar Atia juga kuat.”
Ataya tertegun mendengar ucapan Rana, lagi dan lagi Rana mengatakan tentang sebuah jalan. Ataya kembali teringat ketika dirinya ditolak oleh Rana saat SMP dulu. Saat itu Rana juga mengatakan tentang sebuah jalan yang hingga kini Ataya sendiri tidak paham apa maksudnya.
*Flash Back*
Di sebuah ballroom salah satu hotel yang ada di Bali, tempat murid-murid SMP Lintas Nusa mengadakan malam prome night di hari terakhir mereka berada di Bali. Secara kebetulan, Sekolah Atia pun mengadakan malam prom night di ballroom hotel yang sama. Ballroom tempat acara mereka bersebelahan. Murid-murid sekolah Atia tebar pesona saat mengetahui bahwa yang mengadakan acara di ballroom sebelah mereka berasal dari SMP Lintas Nusa, sekolah yang berisikan kumpulan anak-anak pengusaha kaya raya di kota Jakarta. Tentu saja berita tentang tuan muda dari seorang pengusaha Advertising ternama di Indonesia berada di sana. Hal tersebut tentu saja membuat murid-murid wanita dari sekolah Atia penasaran untuk melihatnya.
Tidak sulit mengenali wajah Ataya, karena sering kali wajahnya muncul di televisi saat mendampingi sang ayah, Darma Daratama.
Hampir semua murid wanita dari sekolah Atia berkumpul di lobi depan ballroom yang menghubungkan antar ballroom yang ada di hotel tersebut, ketika melihat sang tuan muda dan sahabat berdiri di sana yang terlihat sedang bicara serius.
Dari tengah kerumunan, Atia dan Rana memperhatikan Ataya dan Devan.
“Berantem, Ia?” Tanya Rana.
“Nggak tau gue, Na.” Geleng Atia.
“Samperin yuk.” Ajak Rana.
Atia kemudian melangkah hendak mendekati Ataya dan Devan yang sedang berdebat. Disusul oleh Rana beberapa langkah dibelakangnya.
Ataya dan Devan menoleh melihat Atia mendekat. Ataya lalu berjalan mendekati Atia, namun hanya diliriknya Atia tanpa ekspresi, Ataya terus berjalan melalui Atia dan mendekati Rana.
Atia terdiam sejenak, lalu membalikkan badannya melihat Ataya yang terus berjalan melewati dirinya.
Ataya berhenti tepat dihadapan Rana. Tentu saja Rana kebingungan dengan situasi ini.
“Rana, gue suka sama lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?” Ataya menyatakan perasaannya kepada Rana.
“Huuuuuuuu, Cieeeee, cieeeee...” Sorak para murid yang sedari tadi memperhatikan mereka.
Rana tertunduk sejenak, dia sangat mengerti situasi yang terjadi, karena tanpa siapapun bercerita, Rana mempunyai kelebihan untuk mengetahuinya. Dia tersenyum sinis. Diangkatnya kepalanya yang tertunduk, didekatkannya wajahnya ke telinga Ataya.
“Hanya pecundang yang kabur dengan cara membohongi perasaannya, kayak lo sekarang! Hadapi dan selesaikan sendiri masalah lo, jangan seret gue dalam dilema lo, karena Cuma kalian berdua yang tau, kemana hubungan kalian harus melangkah.” Bisik Rana yang hanya Ataya yang bisa mendengarnya.
Rana menarik wajahnya menjauh dari Ataya. “Sori, Tuan Muda. Lo bukan tipe gue!” Tolak Rana dengan suara yang sengaja diperbesar.
Rana kembali mendekatkan wajahnya ke telinga Ataya yang masih terdiam mendengar penolakan dari Rana. “Saat kalian sudah menemukan jalannya, saat itu gue yang akan nyusul lo, Ta. Jangan jadi seorang pecundang.”
Rana berjalan mendekati Atia dan Devan melalui Ataya yang masih terdiam, dan menarik tangan Atia untuk kembali memasuki ballroom tempat acara prom night mereka diadakan.
Ataya masih terdiam di tempat, berusaha mencerna maksud dari perkataan Rana barusan.
*Now*
“Apa yang lo tau tentang hubungan kami, Na?” Ataya mulai terdengar ketus.
“Gue nggak tau apa-apa tentang hubungan kalian, Ta. Cuma Lo dan Atia yang tau persis gimana hubungan kalian.” Balas Rana yang juga terdengar ketus.
“Tapi lo bicara seolah lo tau segalanya tentang kami.” Suara Ataya terdengar kesal.
“Gue cuma kasih saran, dan gue sudah izin sama lo. Kalau saran gue nggak baik menurut lo, ya sudah, nggak perlu diikutin. Kenapa lo jadi marah-marah ke gue?” Suara Rana juga terdengar sangat kesal.
Belum sempat Ataya menjawab ucapan Rana, sambungan telfonnya sudah diputuskan sepihak oleh Rana. Ataya menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Ditatapnya ponselnya yang ada di genggamannya saat ini dengan nanar, nama Rana masih tertera di sana dengan catatan riwayat panggilang di bawahnya. Sesaat, dia menyesali tindakannya kepada Rana, mengapa dirinya bisa seketus dan sekesal itu, padahal Rana sama sekali tidak salah.
Ataya mulai membuka aplikasi pesan berwarna hijau di ponselnya, lalu mencari nama Rana untuk membuka obrolan.
Ataya : Maaf.
Sebuah pesan singkat dikirimkannya kepada Rana, pesan yang hanya berisikan satu kata, namun mampu menggambarkan penyesalannya saat ini. Dilihatnya pesan yang dikirimkannya itu, namun hanya centang satu. Ataya mulai panik, dia melakukan panggilan kembali kepada Rana, namun ternyata ponsel milik Rana tidak aktif.
“Aaarrgh! Kenapa sih mereka berdua ini, kalau ada apa-apa, malah matiin handphone!” Ataya melempar ponsel miliknya ke atas tempat tidurnya dengan keras, sehingga ponsel pintar miliknya itu beberapa kali melompat di atas kasurnya yang empuk itu, beruntung ponselnya berhenti melompat sebelum terjatuh ke lantai.
Ataya kemudian merebahkan tubuhnya menyamping, dia pun mencoba memejamkan matanya dengan perasaan yang tidak karuan saat ini karena ulahnya sendiri.
