Bab 8. Kamu Hanya Milikku
“Daddyyy …” desah Aliana menggeliat nikmat saat Devario dengan lihainya bermain di kedua gundukan kenyalnya. Tubuhnya melengkung, menenggelamkan hampir seluruh wajah Devario di belahan dadanya, dan pria itu semakin semangat untuk melumat putting gadis itu yang sudah mengeras, lalu menggigitnya kecil, membuat Aliana terpekik dan sensasi nikmat kembali Aliana rasakan.
Tubuhnya semakin mendamba sentuhan Daddy-nya itu dan Aliana menginginkan hal yang lebih dari sekedar sentuhan. Sungguh ia mabuk kepayang dengan cumbuan yang pria dewasa itu berikan. Membuatnya lupa akan segala hal, bahkan lupa jika mereka berada di kantor pria itu yang bisa saja di pergoki salah satu karyawan Devario.
Ya, setelah laki-laki itu mengungkapkan ketidak sukaannya akan Aliana yang dekat dengan pria lain, Devario membawa Aliana ke kantor dan langsung mencumbui gadis itu di dalam ruangannya tanpa ampun.
“Kamu harus ingat baik-baik Baby, jangan pernah ada yang menyentuhmu seperti yang Daddy lakukan. Jangan pernah kamu mengizinkan laki-laki mana pun untuk membuatmu mendesah seperti ini. Semua ini milik Daddy, kamu milik Daddy, dan hanya Daddy yang boleh memuaskan kamu. Jika kamu sedang menginginkannya, jangan sungkan bicara pada Daddy, kamu tahu Daddy tidak akan pernah menolak keinginanmu?” masih sambil meremas kedua dada yang berdiri menantang di depannya, Devario mengucapkan semua itu dan sesekali melayangkan kecupan di leher dan dada gadisnya untuk meninggalkan tanda kepemilikannya.
Aliana hanya mampu menjawab dengan anggukan, karena sesungguhnya ia tidak terlalu mendengarkan apa yang dikatakan Devario, Aliana terlalu fokus pada gairahnya, kenikmatan yang di timbulkan dari sentuhan tangan besar dan hangat Devario, apalagi saat jemari pria itu mulai menyentuh intinya dan mengusap titik paling sensitifnya. Kepala Aliana rasanya pening, tubuhnya bergerak gelisah seiring elusan Devario yang semakin menggodanya.
“Daddy, please!” melas Aliana memohon, wajahnya semakin merah dan kabut gairah sudah menutup sepenuhnya manik hitam milik gadis itu. Devario yang paham dengan keinginan gadis itu segera saja memasukan dua jarinya ke dalam inti Aliana dan menggerakkannya keluar masuk dengan ritme pelan lalu berangsur cepat, hingga tak lama kemudian cairan itu mengalir hangat membasahi jari Devario.
“Kamu puas sayang?” Dengan napas yang masih memburu, Aliana mengangguk pelan, membuat senyum puas terbit di bibir Devario. “Sekarang giliranmu memuaskan, Daddy,” ujarnya seraya menarik sabuk yang melilit di pinggangnya dan menurunkan resleting celana bahannya hingga kain itu terjatuh, menyisakan celana dalam yang memperlihatkan tonjolan besar yang membuat Aliana meringis ngeri namun juga penasaran.
Tidak ingin gadis itu hanya menatapnya, Devario mulai membimbing Aliana untuk menyentuh miliknya, mengelusnya dan memainkannya. Dengan sabar Devario mengajari gadis itu hingga kemudian Aliana tidak ragu untuk melakukannya sendiri dan berhasil membuat Devario menerima pelepasannya. Devario cukup puas meskipun masih belum mampu membobol gadis itu, setidaknya meskipun dengan permainan seperti ini ia bisa mendapatkan kenikmatannya. Untuk satu hal yang tersisa biarlah menunggu hingga Aliana siap dan Devario yakin dengan perasaannya sendiri.
****
Liburan yang sudah sejak lama di rencanakan tiba, dan Aliana yang berhasil membujuk Devario kini sudah bergabung dengan teman-temannya. Mereka akan berlibur ke pegunungan dan menginap beberapa malam dengan rencana yang sudah mereka susun, salah satunya adalah mendaki untuk melihat pemandangan indah, dari ketinggian tentu saja.
Aliana yang mencintai alam tentu saja begitu tidak sabar untuk melakukan petualangannya, berbeda dengan Anya yang menekuk wajahnya sejak tadi. Sahabat Aliana tersayang itu tidak suka dengan hal-hal menantang seperti ini, karena Anya begitu feminim. Dia lebih suka ke mall, berbelanja berbagai macam barang perempuan dari pada harus susah-susah naik gunung hanya demi sebuah pemandangan matahari terbit atau tenggelam.
Bagi Anya tas Guci keluaran terbaru adalah pemandangan paling indah dan bisa dirinya gapai, tentu saja dengan bantuan sugar daddy-nya. Sementara matahari dan pemandangan semacamnya yang berada di alam terbuka tidak akan bisa Anya miliki, karena sugar daddy-nya tidak mungkin bisa membawakan sebuah matahari atau bintang untuknya.
“Sumpah deh, aku lebih milih pakai heels lima belas senti dari pada sepatu sport yang buat gerah ini,” omel Anya saat mereka baru saja tiba di tempat tujuan. Aliana dan yang lainnya hanya geleng kepala, lalu melanjutkan langkah menuju tenda yang akan menjadi tempat mereka istirahat.
Aliana menatap takjub pemandangan di depannya. Terbiasa berada di rumah mewah Devario, Aliana jadi merasa terbebas dari kurungannya saat berada di tengah-tengah pepohonan yang menjulang tinggi dengan warna hijau yang menyejukkan mata. Aliana jadi ingin berlama-lama di tempat ini. Ah, andai Daddy ada disini. Batin Aliana merindu.
“AL, kamu gak mau istirahat?” panggil Anya yang sudah masuk ke dalam tenda lebih dulu.
Satu tenda memang di isi oleh dua orang, dan tentu saja Aliana akan satu tenda dengan sahabatnya, Anya. Mereka tidak mau di pisahkan. Lebih tepatnya Anya yang tidak ingin satu tenda dengan yang lain karena takut tidak nyaman. Sementara Aliana sendiri bersedia dengan siapa saja asal tidak dengan seorang pria, karena jelas saja Daddy-nya akan murka.
Ck, kenapa juga harus mengingat pria itu di saat liburan seperti ini. Alina menggelengkan kepala, lalu masuk ke dalam tenda, bergabung dengan Anya yang sudah asyik dengan omelannya karena tidak juga mendapatkan sinyal.
“Kenapa kita gak liburan ke pantai atau tempat lainnya coba? Sumpah aku tersiksa banget kalau gak ada jaringan gini,” desah Anya melempar benda pipih kesayangannya ke sembarang tempat karena merasa benda itu tidak berguna tanpa adanya sebuah jaringan.
“Nikmati saja, Nya,” kata Aliana ringan, tidak mengerti dengan keresahan sahabatnya yang tidak bisa hidup dengan kehampaan seperti ini.
“Akan lebih nikmat kalau bawa pasangan, Al. Ah, aku jadi rindu pria dewasaku,” lamun Anya, menatap langit-langit tenda dengan senyum mesumnya.
Aliana tahu apa yang sedang di bayangkan sahabatnya itu. “Oh iya, gimana hubunganmu dengan Om Dev?” Anya merubah posisi tidurnya jadi duduk, menghadap Aliana yang sedang membereskan barang-barangnya agar tidak berantakan.
“Gak gimana-gimana, aku sama Daddy baik-baik aja,” jawab Aliana tak berarti, membuat Anya gemas dan langsung menarik pundak Aliana agar menghadapnya.
“Maksud aku hubungan yang aku usulkan itu?” Anya memperjelas. Sejenak berpikir, Aliana kemudian memalingkan wajah dari sang sahabat saat tiba-tiba pipinya menghangat, dan semburat merah tidak lagi bisa di sembunyikan.
Anya yang paham dengan reaksi itu pun segera mencolek dagu sahabatnya dan mengedipkan matanya untuk menggoda sang sahabat polosnya yang diyakini bahwa kini Aliana sudah di polosi oleh si daddy kesayangan.
“Udah di apain aja?” Anya bertanya jahil.
Aliana semakin memalingkan wajahnya, pura-pura kembali sibuk pada barang-barang bawaannya yang sudah tersusun rapi di pojok tenda. Sebagai gadis polos, Aliana merasa malu dengan kenyataan mengenai hubungannya dengan Devario. Apa yang dilakukannya sebelum berangkat liburan semakin membuat wajahnya memanas, di tambah lagi sekarang Anya yang tidak juga henti menggodanya. Sungguh ini memalukan, tapi tak bisa di pungkiri bahwa sekarang Aliana merindukan sosok Daddy-nya itu.
“Di perawani belum, Al?” tanya Anya vulgar. “Jawab ih, aku penasaran banget nih, pengen tahu Om Dev sepanas apa di ranjang,” gemas Anya saat tidak juga mendapat jawaban atas rasa penasarannya, sementara Aliana malah mendelik sebal mendengar ucapan sahabat terlewat mesumnya itu.
“Aliana!!” geram Anya tak sabar.
“Belum,” cicit Aliana menjawab. Anya membelalakkan matanya.
“Belum? Kok bis? Tapi hubungan kalian ... Om Dev gak niat tetap menganggap kamu anaknya ‘kan?” bertubi-tubi pertanyaan Anya layangkan.
“Kamu gagal goda Om Dev, Al? Astaga!” teriaknya frustasi. Padahal ia sudah membayangkan yang iya-iya terjadi pada sahabat polosnya itu.
“Emangnya salah kalau aku belum Daddy perawani?” tanya polos Aliana, menambah kegemasan Anya yang sudah mendamba-dambakan sahabat terbaiknya satu ini bahagia bersama Daddy-nya dalam ikatan yang terlepas dari status anak dan ayah.
Sungguh Anya mengidolakan kedua orang itu untuk bersatu sebagai pasangan. Tak apa sebagai sugar baby, toh tidak akan menutup kemungkinan mereka akan bersama selamanya jika cinta itu memang ada di antara keduanya.
“Ya gak salah, hanya saja aku menyayangkan itu. Secara Om Dev itu begitu tampan, berkarisma, sweet, kaya, penyayang, dan yang lebih penting dia itu hot. Aku selalu membayangkan bagaimana rasanya berada di dalam pelukan Om Dev. Arggh, sial hanya membayangkannya saja sudah membuatku basah,” maki Anya pada dirinya sendiri.
“Jangan pernah jadikan Daddy-ku sebagai fantasi liarmu!” ujar Aliana kesal, tidak terima bahwa sahabatnya membayangkan tubuh hangat Devario. “Dia milikku, Anya!” tegasnya mengingatkan.
“Jadi, apa kamu sudah mengakui perasaanmu juga? Apa kamu juga sudah tidak lagi bisa melihat Om Dev sebagai ayahmu? Kamu menyukainya, Aliana? Ah, apa jangan-jangan kamu dengan Om Dev sudah …” Anya tidak melanjutkan kalimatnya, memilih menatap jahil sahabat cantiknya itu lalu sedikit menurunkan kerah baju yang Aliana kenakan, dan saat itu juga matanya terbelalak. “Uhh, kamu nakal, Al,” tambahnya menggoda sang sahabat dengan kedipan jahil sambil menunjuk-nunjuk tanda merah yang berada di sekitar leher hingga dada Aliana yang kini terekspos jelas.
“Berhenti menggodaku, Anya!” kesal Aliana seraya membetulkan kembali pakaiannya. Ia jadi menyesal kenapa harus dirinya membuka jaketnya sebelum ini. Ah sial!
“Sahabatku sudah dewasa ternyata. Aku yakin tak akan lama lagi kamu akan melepas status perawanmu itu,” kata Anya mengedipkan lagi sebelah matanya menggoda. “Jadi, bagaimana rasanya?” tanya Anya begitu penasaran.
“Kamu lebih tahu bagaimana rasanya, Anya,” jawab Aliana, lalu meraih jaketnya kembali dan berlalu keluar dari tenda. Ia tidak ingin terus-terusan di goda oleh sahabatnya itu, Aliana malu. Dan membahas mengenai Devario membuatnya merindukan pria tampan itu. Aliana tidak ingin liburannya ini kacau gara-gara terlalu merindukan sang Daddy.
***
