Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7. Cemburu

"Aliana,” teriak seseorang memanggil begitu Aliana baru saja menutup pintu mobil sang Daddy. Menoleh ke arah suara, Aliana menemukan salah satu temannya berlari menghampirinya.

“Mr. Alex nanyain kamu. Di suruh secepatnya ke sana,” kata pria manis bertubuh tinggi atletis itu tanpa basa-basi dan menarik tangan Aliana begitu saja membuatnya mengikuti langkah pria itu dengan sedikit berlari bahkan tidak sempat untuknya berpamitan pada sang Daddy.

Aliana sendiri paham mengapa temannya itu sampai menyeretnya. Mr. Alex adalah dosen pembimbing Aliana juga Brian, temannya yang menyeretnya ini. Dan semua mahasiswa tahu bagaimana kejamnya Mr. Alex. Pria berusia lima puluh lima tahun itu amat tidak suka dengan yang namanya keterlambatan. Jadi dapat di tebak mengapa Brian tergesa menghampiri dan menyeretnya langsung.

Tapi jelas saja tidak untuk Devario yang menyaksikan. Rahang pria itu bahkan sudah mengeras saat ini, tangannya terkepal dan makian terus terlontar. Devario sudah berniat untuk menyusul kedua orang itu jika saja ponselnya tidak berdering dan sekretarisnya tidak meminta ia untuk segera datang. Dengan perasaan marah dan kesal, Devario melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus Aliana. Tapi Devario berjanji akan menghukum gadisnya itu nanti.

Tidak butuh waktu lama untuk Devario tiba di kantor, sekretarisnya sudah menunggu dan menyeret langsung Devario ke ruang meeting. Memang sekretaris yang tidak sopan itu cuma Devario yang memilikinya.

“Kamu memang tidak ada hormat-hormatnya sama aku, Mey,” dengus Devario, melepaskan cengkraman tangan perempuan itu. “Aku bos kamu loh, kalau-kalau lupa,” lanjutnya menatap tajam Meyra, yang tak lain adalah sekretarisnya, sekaligus sahabatnya sejak sekolah dulu.

“Masa bodo dengan itu,” ucapnya tak peduli, masih tetap berjalan dengan langkah lebar menuju ruang meeting yang mana semua orang sudah menunggu.

Devario hanya berdecak lalu berdehem untuk mengubah rautnya menjadi dingin dan mengintimidasi seperti biasa, setelah itu barulah ia masuk diikuti Meyra di belakangnya.

Suasana yang semula cukup ramai dengan obrolan, tiba-tiba hening saat kedatangan Devario di ruangan itu. Semua mulut kini tertutup dan tidak ada yang berani menatap sang CEO yang sejak kedatangannya sudah menguarkan aura membunuh. Di tambah dengan tatapannya yang setajam pisau, yang saat ini tengah tertuju pada satu per satu dari mereka yang ada di ruangan itu.

“Saya beri satu kesempatan untuk diantara kalian mengaku, siapa yang melakukan penggelapan dana di perusahaan enam bulan terakhir ini?” tanya langsung dengan suara dinginnya yang langsung bisa membekukan siapa saja yang mendengarnya. “Saya hitung samapi tiga, jika tidak ada yang mengaku maka polisi yang akan langsung menyeretnya ke jeruji besi dan mendekam di sana seumur hidup,” tambahnya masih dengan tatapan tajam yang mematikan lawannya.

Di rumah Devario memang sosok yang lembut dan penyayang, terlebih pada Aliana, yang selama ini menjadi putrinya, namun berubah hanya dalam satu malam. Tapi kelembutan dan sikap penyayangnya tidak pernah berlaku di luar rumah terlebih di kantor yang didirikannya sendiri, kantor yang selama ini sudah menghidupi banyak orang dari hasil kerja mereka masing-masing.

“Satu …”

Suasana masih hening.

“Dua …”

Suara bisikan mulai terdengar, saling menanyakan siapa yang sebenarnya sudah melakukan penggelapan dana di perusahaan tempat mereka bekerja.

“Tidak ada yang mau mengaku?” tanya Devario dengan aura dinginnya, kembali membuat suasana di ruangan itu hening, semua orang menunduk dengan pertanyaan di kepala masing-masing. “Ah, ya, penjahat mana juga yang mau mengakui kejahatannya,” kali ini nada suara Devario terdengar lebih ringan, tapi tidak membuat semua orang yang ada di ruangan itu berani menoleh.

“Pelakunya tidak ada di ruangan ini, dia sedang menikmati liburannya Sekarang,” terangnya kembali membuat riuh bisik-bisik terdengar. Satu sama lain dari mereka saling menanyakan siapa gerangan si pelaku yang sudah berani korupsi. Dan sumpah serapah yang meluncur bebas itu, membuat Devario menarik senyumnya.

Belakangan ini perusahaan memang sedang menurun dan tentu saja itu berdampak pada bonus karyawan, itulah yang membuat mereka kesal sampai-sampai ada makian yang terdengar.

Mendudukkan diri di kursi yang berada di kepala meja, Devario menatap satu per satu dari orang di sana, lalu tatapannya berhenti pada laki-laki berusia pertengahan lima puluh di sisi sebelah kanannya, berjarak tiga kursi dari tempatnya. Pria itu memalingkan wajah saat Devario menatapnya tanpa ekspresi.

“Bukankah begitu Pak Santoso?” tembaknya, membuat semua orang terkejut dan mengalihkan tatapan mereka pada si empu nama yang di sebutkan Devario.

“Apa maksud Anda Pak Devario?” tanyanya dengan raut tak mengerti. Devario mendengus pelan lalu melayangkan tatapan sinisnya.

“Anda tidak mengetahui bahwa menantu Anda menggelapkan uang perusahaan? Ck, sayang sekali,” gelengan kepala Devario berikan, seolah menyayangkan ketidaktahuan pria tua itu. “Padahal orang kepercayaan saya mengabarkan bahwa Anda yang mempermudah semuanya.” Pria tua itu semakin menunduk, sementara Devario mendengus sinis.

“Saya tahu anda begitu menyayangi menantu Anda. Apa pun Anda lakukan demi dia, meski harus mengkhianati saya sekalipun. Tak apa, saya memaklumi rasa sayang anda terhadapnya. Tapi apa Anda tahu berapa uang yang dia curi?” gelengan di berikan pria tua yang sudah menunduk malu itu. "50 M!”

Semua orang tercengang. Terlebih si pria tua yang sejak tadi tidak berani menatap Devario.

“Bukankah itu nominal yang tidak sedikit?” Devario menatap satu per satu yang ada di ruangan meeting. Dan semua orang sepertinya masih sulit mempercayai apa yang di dengarnya. “Saya berniat menjebloskan menantu Anda ke penjara saat ini juga, tidak peduli bahwa dia sedang berlibur dengan istrinya sekalipun. Tapi saya merasa bahwa itu tidak menarik, terlalu biasa. Jadi, saya meminta Anda untuk melakukannya dengan kesaksian dan bukti yang Anda miliki sendiri. Tidak sulit bukan untuk mengumpulkan semua bukti itu?" Devario menaikan sebelah alisnya menatap pria patuh baya itu.

"Kalian berada dalam satu rumah yang sama, tentunya mengobrol akrab adalah kegiatan yang sering kalian lakukan. Bagaimana Pak Santoso, apa Anda bersedia?” Devario bertanya dengan nada biasa. Tidak ada niat mengancam atau apa pun, Devario hanya ingin melakukan ini dengan santai. Ia begitu tahu betapa sayangnya pria itu terhadap menantunya, dan betapa bodohnya dia yang mau-mau saja diperdaya oleh menantunya.

Sebenarnya Devario bisa saja langsung menghancurkannya, tapi ia terlalu menghargai pria paruh baya itu, mengingat beliau adalah sahabat baik dari mendiang ayahnya. Jadi, inilah jalan yang Devario ambil, sekaligus untuk memberikan satu kesempatan untuk pria yang sudah dirinya anggap sebagai paman. Jika tidak ada yang dilakukan, maka Devario tidak akan segan untuk menghancurkannya dan menjebloskan keduanya ke dalam penjara. Masa bodo dengan pertemanan pria itu dengan ayahnya, toh sang ayah sudah lama tidak ada di dunia.

“Saya beri Anda waktu satu minggu,” Devario mengacungkan telunjuknya. “Jangan coba-coba melindunginya atau saya akan menghancurkan kalian berdua, bahkan dengan keluarga Anda!” ancamnya tak main-main.

“Ini bukan masalah jumlah uang, tapi mengenai kepercayaan. Dan harus kalian semua tahu, bahwa saya benci pengkhianat!” ujarnya tajam lalu bangkit dari duduknya dan melangkah lebar keluar dari ruangan itu, di ikuti Meyra di belakangnya yang kesusahan untuk mengimbangi langkah Devario.

“Ck, dasar jerapah!” sungut Meyra terus mengikuti langkah laki-laki itu menuju ruangannya. Masih ada agenda yang harus Devario penuhi dan Meyra berkewajiban untuk mengingatkan bosnya itu. Mengingat statusnya yang sebagai sekretaris si CEO.

“Jam sebelas nanti ada meeting dengan Armani grup di resto—”

“Suruh Keenan saja yang menggantikan-ku,” Devario memotong cepat kalimat Meyra. Membuat perempuan itu mendelik dan hilanglah keformalannya.

“Jangan seenaknya, Devario! Apa-apa selalu saja kamu limpahkan pada Keenan, Keenan dan selalu Keenan, tidakkah kamu berpikir bahwa dia terlalu sibuk karena ulahmu,” murka Meyra yang tidak bisa lagi menerima sikap seenaknya Devario. Meyra kesal karena gara-gara pria itu, tidak ada waktu bagi mereka. Devario selalu memonopoli Keenan dengan pekerjaan yang seharusnya menjadi tugas pria itu.

“Tidak bisakah kamu memberiku waktu dengannya? Kamu tahu, hubunganku semakin renggang gara-gara sikap seenakmu itu. Ayolah Rio, jangan seperti ini, aku juga merindukan kekasihku, aku ingin memiliki waktu berdua dengannya, jangan berikan pekerjaan padanya terus menerus,” mohon Meyra dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Dan hal ini baru pertama kali Meyra lakukan. Biasanya tidak pernah sekalipun perempuan itu protes.

“Apa hubungan kalian setidak baik itu?” Devario mengangkat sebelah alisnya. Meyra sendiri mendengus kesal karena tidak bisa sekali saja sahabatnya itu mengerti akan perasaannya. Mereka bersahabat bukan baru satu dua bulan, melainkan sepuluh tahun. Tidakkah sahabatnya itu peka?

“Sahabat macam apa kamu ini!” delik Meyra kesal. “Pokoknya aku gak mau tahu, kerjakan semua pekerjaan kamu sendiri, jangan limpahkan pada Keenan kalau urusanmu tidak benar-benar mendesak. Siang ini aku ingin makan siang dengannya. Jadi, kamu yang harus hadir di meeting itu. Jangan ganggu Keenan!” tajamnya, lalu meninggalkan ruangan Devario dengan tidak sopannya.

“Apakah aku sedang di perintah bawahanku?” monolog Devario. “Awas kamu, Mey, aku potong gajimu dan kekasihmu itu bulan ini,” teriak Devario kemudian, bertepatan dengan bedebum pintu yang di tutup kasar oleh perempuan bar-bar yang baru saja keluar dari ruangannya. Itu tentu saja membuat Devario terkejut, tapi dengan cepat menetralkan kembali ekspresinya menjadi datar. Khas Devario sekali.

****

Siangnya, mau tak mau Devario menghadiri meeting di salah satu restoran bintang lima tidak jauh dari kantornya. Tiga puluh menit pertama meeting berjalan lancar, tapi tidak di menit selanjutnya, karena tidak sengaja matanya menangkap sosok cantik yang tadi pagi membuatnya kesal. Sosok cantik yang selama lima belas tahun menjadi putrinya, namun berubah hanya dalam satu malam gara-gara sentuhan yang tidak di sengaja.

Perempuan itu baru saja masuk dengan dua orang laki-laki dan satu perempuan yang Devario tahu sebagai sahabat Aliana, yaitu Anya. Tapi untuk kedua pria itu Devario tidak mengenalnya. Selama ini ia tidak terlalu memperhatikan pria yang dekat dengan Aliana karena selain perasaan itu belum tumbuh, Devario juga tidak membatasi pertemanan gadis itu. Toh selama ini Devario tidak melihat ada yang berlebihan dari cara Aliana dan kaum lelaki berinteraksi. Seperti teman pada umumnya.

Hanya saja saat ini entah kenapa rasanya berbeda, ada kesal yang menyelimuti saat Aliana tertawa bersama kedua laki-laki yang tidak dikenalnya itu, dan tawa gadis itu terlihat begitu lepas. Mereka juga terlihat akrab, dan kini Devario bertanya-tanya mengenai hubungan mereka.

“Pak Devario?” lelaki berusia pertengahan empat puluh yang duduk di depan Devario memanggil dengan sedikit keras, membuat Devario tersadar dan langsung menoleh pada clien-nya.

“Ah, ya, bagaimana?” wajah datar Devario tidak sama sekali merasa bersalah, bahkan raut wajahnya tidak berubah sama sekali meskipun ketahuan tengah melamun.

Keempat orang yang sejak tadi merenggut perhatian Devario menoleh saat mendengar suara panggilan cukup keras itu, dan Aliana baru sadar bahwa sang Daddy ada di restoran yang sama. Sejak datang ia hanya fokus mengobrol dengan sahabat-sahabatnya, jadi tidak tahu bahwa Devario juga ada di sana.

Kini pandangan Aliana yang fokus pada Devario yang kembali mengobrol dengan seseorang di depannya, sementara dirinya sendiri tidak mendengarkan obrolan teman-temannya. Aliana terlalu mengagumi sosok tampan sang Daddy, hingga rasanya berat hanya untuk sekedar berkedip.

Sejak dulu Aliana memang mengakui bahwa Devario tampan, tapi baru kali ini ia benar-benar terpesona pada sosok itu. Sosok yang belakangan ini memenuhi pikiran, hati dan juga imajinasinya. Sosok yang sudah mengenalkannya pada gairah hingga kini Aliana bukan lagi sosok polos yang tidak tahu bagaimana rasanya berciuman. Bahkan sekarang ini Aliana sudah tahu bagaimana rasanya orgasme meskipun belum pernah merasakan bagaimana rasanya di masuki benda kerasa dan berurat yang sering dirinya dengar dari teman-teman kampusnya, salah satunya adalah Anya.

“Na, gimana lo setuju gak?” Jodi bertanya, menyadarkan Aliana dari ketepesonaannya pada sang daddy.

“Hah, apa? Setuju apa?” wajah polos Aliana membuat ketiga temannya itu gemas dan Levi yang berada di samping kiri gadis itu menjawil hidung mancung Aliana, membuat gadis itu meringis dan melayangkan pukulan tangan kecilnya pada lengan atas Levi dengan wajah lucu, padahal Aliana sedang kesal. Tapi dasarnya saja gadis itu begitu imut, jadi kemarahannya tidak sama sekali terlihat menyeramkan.

Devario yang melihat itu dari mejanya sudah menggeram, tangannya mengepal dan rahangnya mengeras. Beruntung meeting sudah selesai di lakukan dan pria yang sejak tadi berada di depannya pamit undur diri, membuat Devario menghela napas dan segera menghampiri meja yang di tempati Aliana serta teman-temannya, menarik paksa Aliana dari sana dan membawanya menuju parkiran. Devario tidak sama sekali menghiraukan berontakan bahkan teriakkan Aliana, terus saja menarik gadis itu dan menyuruhnya masuk ke dalam mobil yang tentu saja pintunya sudah Devario buka sebelumnya.

“Daddy, aku belum selesai sama teman-temanku,” Aliana menolak masuk ke dalam mobil, tapi begitu melihat tatapan tajam sang Daddy keberaniannya untuk membantah surut begitu saja, jadilah Aliana masuk pada akhirnya. Duduk di bangku penumpang depan dengan bibir cemberut dan tangan terlipat di depan dada.

Setelah duduk dan menutup kembali pintu mobilnya, Devario tidak langsung melajukannya, pria itu langsung menarik Aliana, berpindah duduk di atas pangkuannya yang tentu saja membuat gadis itu terkejut. Namun belum sempat mengeluarkan protesannya, Devario lebih dulu membungkam bibir Aliana dengan ciuman liarnya. Melumat, menyecap dan menghisap bibir gadis itu dengan rakus dan tak sabaran, membuat Aliana kewalahan karena tidak bisa mengimbanginya. Tapi sebisa mungkin gadis itu bergerak mengejar ketertinggalannya. Hingga ciuman itu terlepas saat di rasanya mereka sama-sama kehabisan napas.

“Siapa laki-laki tadi?” masih dengan napas yang belum teratur, Devario bertanya, membuat Aliana mengerutkan keningnya tak paham. “Daddy yakin kamu mengerti maksud Daddy, Sayang,” ujar Devario dengan nada rendah, kini kening mereka sudah saling menempel, dan Aliana merasa terintimidasi, walau perasaan lain menyelimuti dirinya. Dan sebenarnya sejak tadi pikirannya tidak fokus pada pertanyaan Devario, Aliana terlalu fokus pada bibir merekah daddy-nya itu. Membayangkan benda kenyal itu kembali bermain-main di bibirnya, melumatnya, menghisapnya dan …

“Jawab Sayang, siapa laki-laki tadi?” geram Devario saat tak juga mendapati jawaban dari gadis dalam pangkuannya.

“Itu Levi sama Jo—”

“Daddy tidak peduli namanya, Daddy hanya ingin tahu ada hubungan apa diantara kalian. Dan laki-laki yang tadi pagi … siapa dia yang seenaknya menarikmu pergi?” rahang yang sejak tadi sudah mengeras bertambah keras begitu kembali mengingat kejadian tadi pagi. Devario benar-benar kesal dan ingin sekali melayangkan tinjuannya pada siapapun yang berani menyentuh miliknya.

“Dia temanku, Dadd. Yang tadi pagi itu Brian, dia narik aku karena Mr. Alex sudah menunggu. Daddy ingat bukan kalau aku mau menyerahkan skripsi-ku?” Aliana berusaha menjelaskan apa adanya. “Mr. Alex tidak suka dengan keterlambatan, itulah alasan kenapa Brian menarikku.”

“Lalu kedua pria barusan?”

Aliana mengukir senyumnya sebelum kemudian menjelaskan siapa kedua laki-laki yang bersamanya tadi. Otaknya menebak bahwa mungkin Daddy-nya itu sedang cemburu, dan entah kenapa Aliana merasa senang melihatnya. Sepertinya benar, perasaannya terhadap laki-laki dewasa yang selama ini dianggapnya sebagai ayah itu sudah hilang, digantikan dengan perasaan baru, yang entah bagaimana terasa menggembirakan.

Sama halnya dengan Devario, Aliana pun tidak lagi bisa memandang pria itu sebagai ayahnya, ayah yang sudah membesarkannya dengan penuh kasih sayang dan perhatian, meskipun pria itu tidak selalu berada di sampingnya setiap saat. Karena seperti kebanyakan anak di kelurga kaya lainnya, Aliana pun sering ditinggal oleh Devario untuk urusan pekerjaan, entah itu keluar kota atau justru ke luar negeri. Namun Aliana tidak banyak protes, karena sadar siapa dirinya.

“Daddy cabut izinmu untuk liburan,” tegas Devario selesai mendengarkan penjelasan Aliana.

“Daddy!” rengek Aliana tak terima.

“Tidak Baby. Daddy tidak akan rela membiarkanmu menginap, apalagi dengan laki-laki.”

“Tidak hanya laki-laki Dadd, perempuan juga banyak, dan aku tidak satu kamar dengan laki-laki. Nantinya aku tidur bersama Anya. Dadd, ayolah. Daddy sudah mengizinkanku sebelumnya,” wajah melas Aliana perlihatkan, membuat Devario berpaling karena tidak ingin sampai dirinya luluh.

“Itu karena perasaan Daddy belum berubah. Sekarang kamu tahu sendiri bukan? Daddy tidak bisa menganggapmu sebagai anak lagi, bukan tidak ingin, tapi perasaan ini tidak bisa Daddy cegah. Daddy menginginkan kamu. Bukan lagi sebagai anak, tapi sebagai perempuan yang menarik di mata laki-laki. Daddy tidak rela kamu pergi-pergi apalagi sampai menginap dengan laki-laki. Tidak, Aliana!” terang Devario panjang lebar, tatapannya tajam dan dingin, menandakan bahwa pria itu benar-benar tidak setuju.

Hati Aliana tergelitik dengan pengakuan tidak langsung pria dewasa di depannya itu. Entah kenapa mendapatkan sikap seperti ini Aliana merasa senang, ia merasa diinginkan oleh Devario. Jadi bolehkah ia berharap bahwa selamanya laki-laki itu akan menginginkannya? Bolehkah ia berharap bahwa perasaan laki-laki itu akan ada untuk selamanya, dan tumbuh setiap harinya? Bolehkah ia memiliki Devario sebagai lelakinya, bukan Daddy-nya seperti lima belas tahun belakangan ini? bolehkah?

****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel