Bab 9. Rindu
Devario duduk gelisah di meja kerjanya, sejak tadi fokusnya tidak berpindah dari ponsel yang di cengkeram padahal dokumen yang butuh perhatiannya sudah menumpuk meminta di selesaikan. Tapi Devario tidak ada minat untuk itu, pikirannya terus tertuju pada gadisnya yang sedang pergi berlibur dengan teman-temannya. Devario merasa tak tenang, takut terjadi apa-apa pada gadis yang selama ini di jaganya. Lebih takut gadis itu dekat-dekat dengan pria lain. Sungguh Devario tidak bisa tenang jika sampai itu terjadi.
Meskipun sebelumnya Aliana sudah berjanji tidak akan nakal, tetap saja tidak membuat Devario tenang sama sekali. Ia percaya pada gadis kecilnya karena selama ini dia memang tidak pernah aneh-aneh, tapi yang tidak Devario percaya adalah para laki-laki di luar sana.
Tidak menutup kemungkinan bahwa salah satu dari mereka menjadikan liburan ini sebagai ajang mendekati Aliana. Gadis itu cantik, sangat cantik malah, mustahil jika tidak ada yang tertarik pada gadis yang di besarkan olehnya selama lima belas tahun ini. Devario saja mengakui bahwa pesona Aliana tidak dapat dielakkan.
“Arrgghh, Sial!” teriak Devario frustrasi.
“Kamu kenapa, Ri?” Meyra yang baru saja masuk mengerutkan keningnya heran. Tidak biasanya melihat sang bos sekaligus sahabatnya itu sekacau ini. “Apa ada masalah?” tanyanya lagi melangkah mendekati meja kerja Devario.
“Tidak ada, aku hanya khawatir pada Aliana yang pergi berlibur dengan teman-temannya,” jujur Devario. Tapi tidak menjelaskan alasan yang sesungguhnya. Tentu saja. Karena hubungannya dengan Aliana akhir-akhir ini belum ada siapa pun yang tahu. Devario terlalu segan untuk menceritakannya kepada Meyra yang sudah bertahun-tahun menjadi sahabatnya.
Devario belum siap mendapat reaksi sahabatnya. Ia takut di anggap gila karena berani mengencani anaknya sendiri. Ya, meskipun Aliana bukanlah anak kandungnya. Tapi usia mereka cukup jauh. Lima belas tahun.
“Bukannya kamu mengirim orang untuk menjaga anakmu itu?”
“Ya memang, tapi tetap saja aku khawatir, Mey. Aliana tidak pernah pergi jauh, dan kau ingat terakhir kali dia pergi kemah saat SMA dulu, dia pulang dengan luka di kaki dan tangannya?” Devario mengingatkan sahabatnya itu mengenai keadaan Aliana bertahun-tahun lalu. Ya meskipun itu bukan luka serius sebenarnya.
“Jatuh itu hal biasa jika sedang mendaki, Rio. Jangan terlalu khawatir, aku yakin anakmu akan lebih hati-hati kali ini. Dia sudah dewasa,” kata Meyra menenangkan.
Anak. Kata yang tidak lagi bisa Devario terima sejak malam itu.
Dewasa? Ya, Aliana sudah beranjak dewasa sekarang, gadis itu tumbuh dengan baik dan menjadi sosok gadis cantik yang berhasil memikat Devario.
Gadis kecilnya yang dulu selalu menatapnya polos, kini sudah bisa membuatnya bergairah. Gadis yang dulu begitu ingin dirinya lindungi kini tumbuh menjadi ingin ia miliki. Ya, Devario menginginkan gadis itu. Tapi apa bisa? Bagaimana jika suatu saat nanti orang tua gadis itu hadir dan tidak mengizinkan Devario memiliki Aliana karena usia mereka yang terpaut jauh?
Tapi apakah orang tua Aliana masih ada? Devario ragu akan hal itu mengingat sudah sekian lama tidak ada juga yang datang menghampirinya seperti apa yang dikatakan ibu panti saat Devario meminta izin mengambil Aliana.
Flasback …
“Nyonya Arin, apa boleh saya membawa anak perempuan itu?” Devario menunjuk seorang gadis kecil berusia tujuh tahun yang duduk menyendiri di depan jendela, menghadap taman dimana anak-anak panti lainnya asyik bermain.
“Aliana?” tanya wanita paruh baya itu sambil menatap gadis kecil yang di maksud Devario.
“Jadi namanya Aliana?” Devario mengangguk dengan senyum terukir tipis tanpa mengalihkan tatapannya dari si gadis kecil yang sejak awal mencuri perhatiannya.
“Ya, dia anak yang masuk panti ini enam tahun lalu. Saat itu ada seorang perempuan muda yang entah siapa datang menitipkan Aliana pada saya dengan memberikan sejumlah uang. Sebenarnya saya tidak ingin menerima, tapi perempuan muda itu lebih dulu pergi sebelum saya melayangkan penolakan. Dia terlihat buru-buru dan itu mencurigakan. Tapi sebelum benar-benar pergi, wanita itu menyebutkan nama anak itu sekaligus berjanji akan menjemput Aliana kembali setelah urusannya selesai. Tapi hingga saat ini, tidak ada yang datang juga.” Terang Nyonya Arini dengan raut sedih.
“Banyak orang tua yang ingin mengadopsi Aliana, tapi saya tolak karena ingat bahwa anak itu tidak sepenuhnya milik panti seperti anak-anak lain yang ada di sini. Orang yang membawanya ke sini berjanji untuk datang menjemput, jadi saya tidak berani memberikan Aliana pada siapapun. Itulah alasan kenapa anak itu tidak ceria. Dia beranggapan bahwa semua orang tidak menginginkannya, mengingat tidak ada orang tua yang mengadopsinya seperti anak-anak lain yang selama ini menjadi temannya di sini.”
Devario tidak putusnya menatap Aliana kecil, sampai kemudian tatapan mereka bertemu untuk yang kedua kalinya. Tatapan yang semakin membuat Devario yakin untuk mengadopsi Aliana.
Devario terus membujuk dan menyakinkan Nyonya Arin untuk melepaskan Aliana, dengan janji bahwa dirinya akan menyayangi Aliana sepenuh hati, memperlakukannya seperti anaknya sendiri dan tidak lupa Devario memberikan kartu namanya agar suatu saat nanti jika ada yang mencari Aliana, orang itu bisa menemui Devario langsung.
Keadaan ekonomi panti yang tidak cukup baik dan dengan segala pertimbangan lainnya membuat Nonya Arin pada akhirnya mengizinkan Devario mengambil Aliana dengan janji lain, yaitu menjadi donator tetap, kemanapun panti itu pindah.
Dan, ya, senyum lebar terbit di bibir Aliana saat sang ibu panti mengatakan bahwa ada seseorang yang bersedia mengadopsinya. Aliana bukan main bahagia, karena seperti anak-anak lain, Aliana juga menginginkan kasih sayang orang tua, walau Nyonya Arin tetap menyayangi mereka semua yang ada di panti. Tapi tetap saja rasanya berbeda karena kasih sayang di panti terbagi terlalu banyak. Aliana ingin memiliki keluarga.
“Tuan, jika bisa tolong anda membantu Aliana bertemu dengan orang tuanya. Wanita itu memberikan ini sebagai identitas Aliana,” Nyonya Arin menyerahkan sesuatu yang dianggapnya sebagai identitas anak yang mencuri perhatian Devario sejak awal. Sebuah kalung dengan liontin sebelah hati dan terdapat ukiran nama bocah itu.
Devario menerima kalung tersebut dan menelitinya dengan seksama, ia tahu bahwa yang di pegangnya bukanlah barang murahan. Meyakinkan Devario bahwa Aliana tidak terlahir dari keluarga biasa. Selain ukiran nama Aliana, ada sebuah permata terbelah berwarna merah muda di tengah-tengah, semakin membuatnya yakin bahwa itu memang sengaja di desain sepasang. Akan semakin indah jika benda itu di satukan.
“Aku akan menjaganya dengan baik. Kau tidak perlu khawatir, Nyonya,” janji Devario meyakinkan wanita paruh baya itu.
****
Tiga hari sudah Aliana berlibur dan sekarang semua sudah berada di jalan pulang dengan wajah sama-sama lelah, tapi binar puas dan bahagia jelas terlihat di wajah masing-masing, bahkan Anya sekalipun yang semulanya tidak begitu menyukai ide berlibur di pegunungan dan mengomel sepanjang perjalanan. Wajah perempuan itu berseri dengan omelan yang di ganti dengan ketakjubannya mengenai liburan kali ini, membuat Aliana dan yang lainnya hanya geleng kepala. Anya sudah percis seperti orang kerajaan yang baru saja mengenal kehidupan di desa. Begitu kampungan menurut mereka. Tapi harus mereka akui memang bahwa liburan kali ini begitu menyenangkan dengan banyaknya aktivitas yang sudah mereka rencanakan sebelumnya.
“Berhubung tidak mungkin untuk mengantar kalian satu per satu menuju rumah, Bis akan berhenti di kampus. Silahkan yang ingin menghubungi orang tua, kakak, adik, bahkan mungkin pacar untuk datang menjemput karena sebentar lagi kita akan sampai.” Si ketua menginfokan, dan itu tentu saja membuat Aliana segera meraih ponselnya untuk segera menghubungi Devario agar datang menjemputnya, sesuai yang pria itu katakan sebelum dirinya berangkat.
Tiga puluh menit setelahnya bis benar-benar berhenti di depan kampus, dan satu per satu dari mereka turun, tidak lupa dengan barang bawaan masing-masing. Beberapa jemputan sudah datang, sementara Aliana masih harus celingukan mencari keberadaan sang daddy yang sayangnya belum terlihat. Sementara Anya sudah berlari ke arah pria dewasa cukup tampan yang Aliana tahu sebagai sugar daddy sahabatnya itu. Kalau sudah begini, Aliana siap-siap saja di abaikannya. Menyebalkan memang.
“Princess?” Aliana langsung menoleh saat panggilan itu masuk ke indranya, senyum langsung saja terbit dan tidak kalah dari Anya, Aliana pun langsung berhambur memeluk daddy-nya itu.
“I miss you, Daddy,” bisik Aliana. Devario yang mendengar itu terkekeh dan langsung membalas pelukan gadis tersayangnya.
“Daddy juga merindukan kamu sayang,” kecupan Devario berikan di puncak kepala Aliana, lalu membawa gadis itu menuju mobilnya yang terparkir tidak terlalu jauh. Dan di dalam mobil, Devario langsung menarik Aliana untuk duduk di pangkuanya, melumat bibir menggiurkan itu dengan rakus, menyalurkan kerinduan yang dirasakannya selama tiga hari ini, sebelum kemudian melajukan mobilnya tanpa meminta Aliana untuk ketempatnya semula. Sudah pernah Devario bilang bukan bahwa posisi seperti ini begitu nyaman. Devario menyukainya.
“Selama di sana kamu tidak nakal ‘kan Baby?” tanya Devario di tengah aktivitas menyetirnya.
“Apa aku terlihat seperti anak nakal?” balik Aliana bertanya dengan bibir cemberutnya, membuat Devario terkekeh lalu sebuah ciuman singkat diberikannya di bibir Aliana yang sedikit maju itu.
“Tidak sayang, Daddy percaya kamu adalah gadis baik. Daddy hanya khawatir ada laki-laki yang mendekatimu di sana. Kamu tahu, selama tiga hari ini Daddy tidak tenang? Kamu sulit sekali di hubungi. Padahal Daddy begitu merindukanmu,” lagi, satu kecupan Devario berikan sebagai akhir dari kalimatnya.
“Di pegunungan tidak ada sinyal, Dadd. Dan lagi pula kami terlalu sibuk dengan aktivas kami. Daddy tahu, ini benar-benar liburan yang menakjubkan,” cerita Aliana dengan antusias.
“Benarkah? Apa lain kali Daddy harus ikut? Ah, sepertinya iya, Daddy yakin liburannya akan semakin menakjubkan jika kita pergi bersama,” kerlingan nakal Devario berikan setelahnya, membuat wajah Aliana memerah dan satu cubitan kecil di berikannya, yang sayangnya tidak berarti apa-apa di perut keras milik pria itu.
***
