Bab 4. Kecewa
Sejak obrolan di gazebo belakang rumah beberapa waktu lalu, Devario mendadak dingin pada Aliana, tidak ada sapaan manis seperti biasanya, tidak ada kecupan selamat pagi dan malam, tidak ada juga acara antar jemput dan makan bersama seperti biasa.
Aliana selalu diantar supir jika akan ke kampus atau ke mana pun, dan itu membuat Aliana sedih. Ia tidak tahu mengapa Daddy-nya berubah seperti ini. Jika alasannya karena tidak ada izin untuknya berpacaran, apa harus semarah ini? Toh Aliana pun tidak memilikinya. Ia hanya bertanya, bukan benar-benar berniat memiliki kekasih.
“Lesu banget kamu, Al?” Anya duduk di samping sahabatnya itu dengan dua gelas jus jeruk di tangannya. “Kenapa, ada masalah?”
Aliana menggeleng. “Cuma lagi berantem aja sama Daddy,” jawab Aliana lesu.
“What! Kok bisa? Baru kali ini aku dengar kamu berantem sama Om Dev,”
Benar. Baru kali ini Aliana berantem dengan sang Daddy hingga seperti ini. Biasanya hanya berantem-berantem kecil yang besoknya sudah kembali manis. Devario yang selalu mengalah tidak pernah bisa mendiamkan anak kesayangannya. Tapi sekarang justru pria itulah yang mundur menjauh dan seolah tidak ingin menatapnya. Devario selalu sudah tidak ada di rumah saat Aliana bangun dan pulang entah pukul berapa karena Aliana yang tidak terbiasa tidur larut malam.
“Aku izin pacaran. Dari sejak saat itu Daddy marah.” Jelas singkat Aliana masih dengan lesu. Anya mengerutkan keningnya.
“Hanya karena itu?” Aliana mengangguk membenarkan. Menurut Anya, Devario terlalu posesif sebagai ayah. “Bukan karena ada alasan lain?” tanya Anya berusaha menebak-nebak dan tidak berpikiran pendek untuk mengambil kesimpulan mengenai keposesifan ayah dari sahabatnya itu. Kali ini Aliana mengedikkan bahunya.
“Coba kamu ajak bicara baik-baik Om Dav, siapa tahu ada alasan lainnya,” usul Anya yang dalam kepalanya saat ini sedang mencari-cari alasan logis mengenai kemarahan daddy sahabatnya yang terdengar berlebihan.
“Iya, nanti aku coba tanya. Kalau gitu, aku pamit pulang ya, Nya, mau ke kantor Daddy. Jika di rumah aku tidak tahu harus menunggu sampai kapan,” pamit Aliana yang di angguki oleh Anya, dan gadis itu mengantarnya hingga depan apartemen.
Anya memang sudah mandiri di usianya yang baru menginjak dua puluh tiga tahun. Tinggal sendiri di sebuah apartemen yang cukup mewah hasil menjadi baby seorang duda kaya. Setidaknya Anya tidak menjadi simpanan seorang pria beristri, yang pastinya akan merepotkan jika ketahuan nanti.
Pernah Aliana merasa iri pada sahabatnya itu, karena Anya adalah gadis bebas yang menyenangkan dan juga tangguh. Aliana ingin seperti itu, bebas melakukan apa pun yang diinginkannya, tapi Aliana terlalu takut pada Devario. Selain itu tidak ada alasan untuknya menjadi seperti Anya, menjadi seorang Baby di saat segala kebutuhan dan keinginannya terpenuhi. Berbeda dengan Anya yang harus bekerja keras terlebih dulu jika menginginkan sesuatu, apalagi dengan gaya hidupnya yang mewah.
Menjadi baby adalah cara mudah memenuhi semua itu. Meskipun harus rela melakukan apa pun, termasuk memuaskan si daddy. Tapi Anya sudah berpengalaman soal itu. Bahkan sebelum mereka bertemu di bangku perkuliahan, Anya sudah tidak lagi menyandang gadis perawan. Alasan itulah yang membuat seorang Anya tidak mempermasalahkan menjadi baby dari pria yang usianya terpaut jauh. Meskipun bukan dengan pria berperut buncit yang mengerikan dan mesum.
Tinggalkan Anya. Kini Aliana sedang berada dalam taksi menuju kantor Devario. Aliana ingin menanyakan alasan kemarahan sang Daddy sekaligus untuk meminta maaf. Jujur saja Aliana tidak bisa terus-terusan seperti ini, ia tidak kuat di diamkan oleh Devario. Terlalu biasa di manjakan dan di beri perhatian lebih membuat Aliana kesepian bahkan kehilangan saat daddy-nya berubah dingin.
Hanya butuh waktu tiga puluh menit untuk tiba di kantor Devario, dan tidak sulit untuk Aliana bertemu dengan pria itu karena hampir semua karyawan tahu siapa Aliana, mengingat Devario sering mengajaknya sehabis menjemputnya kuliah.
“Kamu ke sini sendiri?” tanya perempuan cantik yang baru saja berdiri dari kursi kerjanya, berjalan cepat menghampiri Aliana yang sudah berdiri di depan pintu bercat coklat yang tertutup rapat.
“Iya Aunty. Daddy ada di ruangannya ‘kan?” tanya Aliana dengan senyum manisnya seperti biasa setiap kali bertemu dengan sekretaris sang daddy. Perempuan cantik seusia Devario itu terlihat bingung, tapi kemudian menganggukkan kepalanya ragu, namun sayangnya Aliana tidak menangkap keraguan itu, ia terlalu semangat untuk bertemu daddy-nya dan memperbaiki hubungan mereka sampai kemudian Aliana membuka pintu ruangan Devario dan di kejutkan dengan adegan tak senonoh yang dilakukan dua orang manusia berbeda kelamin di sofa ruangan luas itu.
Aliana cepat-cepat menutup pintu itu kembali dengan sedikit membantingnya, hingga menimbulkan suara bedebum yang juga mengejutkan dua orang di dalam sana yang tengah bergemul mencari kenikmatan satu sama lain. Aliana mematung, menatap kosong pintu yang sudah kembali dirinya tutup. Hatinya sakit dengan sesak di dada yang entah berasal dari mana.
“Aunty, yang tadi siapa?” tanya Aliana masih dalam keterkejutannya.
Perempuan cantik yang tak lain sekretaris Devario itu menggelengkan kepala, tanda tidak tahu. “Satu jam lalu wanita itu datang dan minta bertemu Daddy-mu,” jawabnya singkat.
“Oke, kalau gitu aku pulang aja.” Aliana berjalan lesu meninggalkan sekretaris Daddy-nya. Air matanya tiba-tiba saja terjatuh entah karena alasan apa, yang jelas ada kecewa yang timbul di hatinya.
Berjalan dengan kepala menunduk, Aliana menyusuri jalanan, tidak sama sekali berminta untuk menghentikan taksi yang lewat. Saat ini Aliana hanya ingin sendiri, menenangkan hatinya dan sesak di dada akibat kilasan kejadian di ruangan sang Daddy, dimana kedua orang di dalam sana sama-sama tidak mengenakan sehelai benang pun. Ada perasaan tak rela yang menyelusup masuk dan itu benar-benar tak nyaman.
Seharusnya Aliana biasa saja dengan kejadian di ruangan sang Daddy tadi, toh Devario sudah dewasa, laki-laki itu sudah pantas menikah bahkan memiliki anak. Sex tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa seperti Devario saja bukan? Anya yang masih dibilang remaja saja sudah sering kali melakukan itu. Tapi kenapa rasanya begitu sakit? Bukankah seharusnya Aliana senang karena sang Daddy memiliki perempuan yang mungkin saja akan pria itu nikahi? Kenapa ia harus kecewa?
Setelah setengah jam berjalan tanpa tujuan, Aliana akhirnya memilih untuk duduk di sebuah halte yang saat ini sepi. Hari sudah mulai gelap dan Aliana belum berniat untuk pulang ke rumah. Ia masih ingin menikmati kesendiriannya, menangisi perasaan anehnya dan mencari alasan kekecewaannya. Sampai kemudian Aliana di kejutkan dengan suara klakson mobil yang berhenti tepat di depannya.
Untuk sesaat Aliana terdiam, namun setelahnya dengan segera ia bangkit saat menyadari siapa pemilik Bugatti Veyron mansory vivere itu. Yang tak lain adalah sang Daddy.
“Princess, kamu mau ke mana?” teriak Devario melangkah cepat untuk menyusul gadis itu, namun Aliana malah justru berlari. Tapi bukan perkara sulit untuk Devario meraih pergelangan tangan putrinya itu, hingga membuat Aliana menghentikan langkahnya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Devario dengan nada lembut. Ia cukup lelah dan khawatir pada Aliana yang pergi begitu saja setelah membuka pintu ruangannya dan mendapati keberadaannya dengan seorang perempuan. Semakin khawatir saat ia menghubungi supir rumah untuk menanyakan Aliana, supirnya itu mengatakan bahwa Aliana tidak menghubunginya untuk meminta di jemput.
Aktivitas yang belum sama sekali mencapai kenikmatan itu, Devario hentikan begitu saja dan segera memakai kembali pakaiannya, berlari mengejar Aliana yang sudah pergi lebih dulu, meninggalkan perempuan yang di undangnya itu begitu saja tanpa sepatah kata pun. Devario merasa bersalah, dan ia merutuki dirinya sendiri mengenai apa yang dilakukan. Devario tahu bahwa aktivitas itu wajar untuk dirinya yang butuh pelepasan, tapi tidak untuk di pergoki Aliana. Devario tidak ingin gadis itu tahu bahkan sampai melihatnya, namun semua sudah terjadi, dan Devario tahu bahwa gadis itu marah kepadanya.
“Lepas!” berontak Aliana, berusaha membebaskan diri dari pelukan sang daddy. Untuk saat ini Aliana enggan bertemu dengan pria itu. Ia belum menemukan jawaban atas rasa kecewa dan sesak di dadanya. Alasan kenapa ia harus berlari dan menangis, alasan kenapa ia harus marah, juga alasan mengenai perasaannya.
“No, Baby. Kamu harus ikut pulang sama Daddy,”
“Gak. Aliana gak mau pulang, Aliana gak mau ketemu Daddy, Aliana benci Daddy!” teriaknya emosi. Air matanya yang sejak tadi terjatuh kini bertambah deras mengalir. Lengan mungilnya di gunakan untuk memukuli dada bidang Devario. Sementara laki-laki itu semakin erat memeluk gadisnya.
Rasanya sakit, saat mendengar gadis di depannya melontarkan kata seperti itu. Aliana benci daddy. Kata yang tidak ingin Devario dengar sampai kapanpun.
Kerena pemberontakan Aliana tak juga kunjung usai sementara rintik hujan mulai berjatuhan, Devario memilih menggendong gadis itu dan membawa paksa Aliana masuk ke dalam mobil. Mendudukkan Aliana dalam pangkuannya masih dalam posisi memeluk pinggang rampingnya agar gadis itu tidak kembali lari.
Tidak ada kata yang Devario ucapkan selama Aliana menangis dalam pelukannya, hanya usapan lembut dan kecupan-kecupan kecil di puncak kepala gadis itu, hingga beberapa menit kemudian Aliana berhenti berontak dan mulai sedikit tenang.
Setelah memastikan bahwa gadis itu terlelap, barulah Devario melajukan mobilnya tanpa memindahkan Aliana dari pangkuannya. Tidak buruk mengemudi dalam posisi seperti ini. Devario senang karena merasa begitu dekat dengan sang putri yang beberapa hari belakangan ini ia hindari. Bukan karena marah atas kejadian di gazebo, tapi karena sadar bahwa perasaannya tidak lagi bisa di kendalikan.
Devario sudah benar-benar tidak bisa melihat Aliana sebagai anaknya. Dan ia tidak bisa mengendalikan hasratnya lagi. Itulah alasan beberapa hari ini ia menghindar. Devario takut menodai gadis itu.
****
