Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3. Tak Rela

Cuaca dingin akibat hujan deras yang mengguyur di malam hari ini, tidak sama sekali berpengaruh pada sepasang manusia yang tengah bergulat dalam keadaan telanjang di sebuah kamar hotel. Erangan, desahan dan jeritan nikmat terdengar bersahutan, menambah panasnya ruangan luas yang di isi ranjang queen size, sofa, televisi dan beberapa perabotan khas sebuah kamar hotel bintang lima.

“Devhh ….” erang seorang perempuan yang menggeliat nikmat di bawah seorang pria bertubuh kekar yang tengah sibuk menggerakkan tubuhnya, menghujam perempuan di bawahnya dengan begitu kasar, terlalu semangat dan tak sabaran ingin segera meraih puncaknya. Hingga erangan berat dan panjang lolos dari mulut laki-laki itu bersamaan dengan keluarnya cairan dari benda keras yang terbenam di kehangatan inti si perempuan yang merem-melek merasakan kenikmatannya.

Devario, yang baru saja melepaskan hasratnya, bangkit dari tubuh perempuan cantik tanpa busana itu lalu menarik lepas karet pengaman dari kejantanannya dan membuangnya ke tempat sampah. Setelahnya Devario masuk ke kamar mandi tanpa menoleh sedikitpun ke arah ranjang dimana si perempuan terlelap karena kelelahan setelah aktivitas panas mereka.

Selesai membersihkan tubuhnya, Devario kembali masuk ke kamar dan memungut pakaiannya yang sudah berceceran di lantai, kemudian mengenakannya dan membuka dompet. Mengambil sejumlah uang sebelum kemudian dilemparkannya ke arah si wanita yang masih tidak bergerak dalam tidurnya.

Devario menebak bahwa mungkin perempuan itu kelelahan karena aktivitas panjang mereka, mengingat Devario terus menghujamnya tanpa istirahat sedikitpun. Devario terlalu kalut dan ia benar-benar ingin menuntaskan hasratnya yang begitu meningkat. Ya, setelah mengantarkan Aliana terlebih dulu ke rumah dan memastikan gadis itu tidur, Devario memilih mengunjungi salah satu bar milik temannya dan menyewa seorang perempuan untuk memuaskannya di ranjang. Semua Devario lakukan karena tidak ingin sampai dirinya kembali menyerang Aliana seperti malam kemarin. Meskipun sebenarnya hasrat itu di bangkitkan oleh gadis kecilnya.

Devario menjalankan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, ia ingin segera tiba di rumah dan istirahat.

Dan setibanya di rumah, Devario yang benar-benar kelelahan melaksanakan keinginannya itu. Tertidur hingga hari beranjak siang, bahkan matahari sudah berada di puncak.

Tidak biasanya memang, tapi Devario merasa segar siang ini.

“Daddy?” Aliana terkejut saat mendapati sang daddy keluar dari kamarnya dengan wajah bangun tidur.

“Hallo, princess. Selamat siang,” Devario berjalan mendekat lalu menjatuhkan satu kecupan di pipi gadis itu.

“Siang juga Dadd,” balas Aliana, seraya membalas kecupan pria dewasa itu. “Aku kira, Daddy kerja.”

“Daddy libur dulu, cape.” Kemudian Devario merangkulkan tangannya pada sang putri dan melangkah menuruni undakan tangga menuju dapur, Devario merasa perutnya lapar karena sudah melewatkan sarapannya akibat tidur terlalu nyenyak.

“Tumben, biasanya secape apa pun Daddy tetap berangkat kerja,” ucap Aliana sedikit mencibir.

Ya, daddy-nya itu memang gila kerja, dan Aliana terkadang sebal meskipun pria dewasa itu masih selalu menyempatkan waktu untuk mengantar, menjemput dan menemaninya makan. Tidak pernah ada jalan-jalan atau liburan, dan itu yang membuat Aliana sebal pada pria yang di panggilanya Daddy. Meskipun anak adopsi, Aliana juga menginginkan bisa berjalan-jalan atau liburan dengan daddy-nya seperti anak-anak pada umumnya, tapi Devario terlalu sibuk dan Aliana yang terlalu tahu diri tidak ingin memaksa.

“Kenapa, kamu gak suka Daddy di rumah?” tanya pria itu sedikit tersinggung. Devario mengira bahwa sang putri masih ingin menghindar darinya gara-gara kejadian malam lalu. Walau Devario sadar bahwa memang apa yang dikatakan Aliana benar. Ia selalu berangkat ke kantor seberapa lelah pun.

Tapi untuk kali ini Devario memilih untuk meliburkan diri bukan tanpa alasan, sejak kemarin ia benar-benar lelah, bukan hanya fisik tapi juga hati dan pikirannya. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah Aliana. Kenapa? Karena Devario bingung harus bersikap dan memandang gadis itu seperti apa. Di tambah semalam ia tersiksa karena terlalu mendamba tubuh Aliana sampai harus mencari pelepasan di luar sana.

Devario akui bahwa selama ini pun ia selalu mencari kepuasan di luar, tapi tidak pernah sehebat tadi malam. Devario sampai lelah sendiri hanya karena membayangkan tubuh Aliana berada di bawahnya. Wanita yang semalam menjadi teman tidurnya, Devario anggap sebagai Aliana, dan itu amatlah berengsek. Hanya membayangkannya saja, Devario bisa bercinta segila itu, ia tidak bisa menebak akan segila apa percintaannya jika benar dilakukan dengan wujud asli Aliana.

“Daddy, apa yang membuat Daddy melamun? Apa ada masalah?”

Devario mengerjap saat dilihatnya jarak sang putri hanya beberapa senti dari wajahnya.

“Apa Daddy baik-baik saja?” tanya Aliana sekali lagi dengan raut cemas.

“Tidak Baby, Daddy baik-baik saja,” jawab Devario dengan wajah memerah, gugup sekaligus bergairah. Tangan Devario terangkat, mengelus lembut pipi sang putri, lalu elusannya semakin maju dan tiba di bibir sedikit tebal Aliana yang bertekstur lembut.

Susah payah, Devario menelan salivanya, membuat jakunnya naik turun dan itu tidak lepas dari pandangan Aliana yang berusaha menetralkan detak jantungnya yang menggila. Pikirannya menyuruh untuk menjauh tapi hati dan tubuhnya justru sebaliknya.

Devario maupun Aliana tidak ada yang berniat untuk mundur, tatapan keduanya terkunci satu sama lain dalam keheningan yang seolah membisikan untuk saling memberi lumatan, tapi dengan cepat Devario tersadar. Ingatan mengenai Aliana yang menjauh dan canggung melintas di kepalanya, membuat Devario memundurkan wajahnya dan melepaskan tangannya dari bibir Aliana. Dan tanpa Devario ketahui itu membuat Aliana kecewa.

“Baby, apa kamu lapar? Daddy akan membuat nasi goreng seafood," kata Devario yang saat ini sudah berada di depan lemari pendingin, mengambil bahan yang akan digunakannya untuk membuat nasi goreng keinginannya.

Devario sebenarnya tidak berniat untuk memasak, tadinya. Tapi karena kecanggungan barusan, jadilah ia memutuskan untuk memasak sendiri dari pada harus meminta salah satu pelayannya. Devario tidak ingin hanya diam dan kembali membayangkan apa yang ada dalam pikirannya beberapa saat lalu.

“Tidak Dadd, aku masih kenyang. Dan sepertinya hanya akan minum jus mangga saja,” jawab Alaina, lalu berjalan menuju kulkas dan mengambil beberapa buah mangga untuknya membuat jus. Siang-siang begini akan segar menikmatinya apalagi setelah suasana panas singkat yang barusan terjadi.

“Baiklah, jangan lupa buatkan untuk Daddy.” Aliana hanya mengacungkan ibu jari. Lalu segera mengupas mangga di tangannya. Sementara Devario sibuk dengan nasi gorengnya.

Kegiatan di dapur yang terasa canggung ini tidak terlalu buruk menurut Devario. Tanpa sadar senyum tersungging di bibirnya dan berharap akan ada momen seperti ini lagi dengan suasana yang lebih romantis.

“Astaga, Tuan, Nona, maafkan saya,” salah satu pelayan yang datang ke dapur terkejut saat mendapati majikannya berada di dapur. Ia menyesal karena tidak datang cepat untuk menyiapkan makan siang.

Bukan salahnya memang, karena untuk makan siang jarang di siapkan karena kedua majikannya itu jarang ada di rumah terlebih Devario. Aliana biasa memesan makan siang dari luar dan hari ini dirinya tidak tahu menahu bahwa Tuannya tidak bekerja.

“Tidak apa-apa, saya sedang ingin makan masakan saya sendiri,” ucap Devario dengan wajah datarnya seperti biasa tanpa menghentikan gerakan tangannya yang mengaduk nasi goreng di wajan. “Lanjutkan saja pekerjaanmu yang lain,” tambah Devario pada pelayan berusia pertengahan empat puluh itu. Tanpa membantah, si pelayan mengangguk dan pamit undur diri meninggalkan Aliana dan Devario yang sudah selesai dengan olahannya masing-masing.

“Daddy apa tidak sebaiknya kita makan di gazebo belakang?” kata Aliana saat Devario baru saja hendak menarik kursi setelah meletakkan sepiring nasi gorengnya di meja. Sebelah alis Devario terangkat, namun kemudian mengangguk setuju. Meraih kembali piring nasi gorengnya dan satu jelas jus mangga hasil Aliana sementara gadis itu membawa jusnya sendiri di tambah dengan toples camilan untuk menemaninya.

Tidak buruk. Pikir Devario saat mereka tiba di sebuah gazebo yang ada di halaman belakang rumahnya. Wangi dari bunga-bunga yang bermekaran dengan hembusan angin di tengah teriknya panas matahari membuat suasana menjadi lebih sejuk.

“Aaa …” Devario mengulurkan sendok berisi nasi gorengnya ke arah mulut Aliana. Awalnya gadis itu menolak, tapi setelah mendapat tatapan tajam sang Daddy akhirnya mau tak mau Aliana membuka mulutnya dan menerima suapan demi suapan yang pria dewasa itu berikan hingga nasi di piring tandas oleh mereka berdua di selingi dengan obrolan ringan yang sesekali membuat Devario dan Aliana tertawa.

Moment seperti ini jarang terjadi karena Devario yang selalu sibuk dengan pekerjaannya. Biasanya Aliana duduk di sini seorang diri, tapi sekarang ada Devario yang menemani dan senangnya tidak ada hal yang mengganggu mereka. Ponsel pria itu di tinggal di kamarnya sementara Aliana masih bisa berselancar di media sosialnya walau lebih banyak mengabaikan benda pipih tersebut.

“Dadd, fotoin aku di sana ya,” ucap Aliana seraya menyerahkan ponselnya. Sementara dirinya sedikit berlari menuju bunga-bunga yang sedang bermekaran cantik.

Devario melakukan apa yang diminta putrinya itu. Mengambil gambar Aliana yang di kelilingi bunga segar nan cantik dengan berbagai pose sampai tangannya pegal, tapi kemudian Devario berjalan mendekat pada gadis itu dan berdiri di sampingnya, mengarahkan kamera ke wajahnya dan wajah Aliana lalu mengambil potre mereka dengan cara berselfi. Aliana yang memang gemar berpofo tentu saja tidak keberatan, gadis itu malah justru terus perpose cantik dengan senyum lebar menghiasi wajah cantiknya. Sampai akhirnya Devario menyudahi itu dan menarik kembali sang putri untuk duduk di gazebo.

“Bagus ‘kan, Dad,” tunjuk Aliana pada foto di ponselnya yang menampilkan wajah cantiknya dengan wajah tampan Devario yang sama-sama tersenyum ke arah kamera.

“Iyalah, Daddy kan gak pernah terlihat jelek,” ujar laki-laki itu dengan percaya dirinya, membuat Alaina mendengus kesal, namun tetap mengakui itu.

Setelahnya Aliana kembali melihat-lihat hasil jepretan tangan Devario dan senyum terus berkembang puas atas hasil yang di dapat. Tidak lupa Aliana memposting di social medianya. Dan tak lama kemudian benda pipih itu ramai dengan dentingan tanda adanya notifikasi.

Aliana tertawa-tawa melihat banyaknya komentar di foto yang baru saja di postingnya, hingga melupakan keberadaan Devario yang sedang menikmati tawa gadis itu.

“Bagaimana mungkin perasaan ini ada setelah sekian tahun lamanya hanya aku anggap seperti anak sendiri,” gumam Devario dalam hati. “Tapi, apa salah?” Dengan cepat Devario menggelengkan kepalanya, menepis segala pikirannya mengenai perasaan aneh yang berubah terhadap sosok cantik yang selama ini dimanjakan dan disayanginya.

“Daddy?” panggil Aliana menggerakkan tangannya di depan wajah sang Daddy yang kembali didapatinya tengah melamun. “Daddy melamun?” tanyanya kemudian. Devario segera menggelengkan kepalanya.

“Daddy hanya memikirkan Keenan di kantor. Apa dia kewalahan dengan tidak adanya Daddy,” alibi Devario seraya mengulurkan tangannya untuk mengelus surai panjang sang putri.

“Lagian, Daddy sok-sokan gak masuk kerja,” kikik Aliana, lalu berhambur memeluk pria dewasa itu.” “Tapi Al senang, Daddy mau meninggalkan pekerjaan hari ini,” Aliana menyandarkan kepalanya di dada bidang Devario seperti yang sering dirinya lakukan jika ingin bermanja. Namun yang dilakukannya itu berdampak hebat pada tubuh Devario yang seketika menegang. Detak jantung yang tak biasa terdengar nyata di telinga Aliana yang menempel di dada laki-laki itu, namun itu semakin membuat gadis itu nyaman, sementara Devario tersiksa.

“Benar, aku tidak bisa lagi menganggap Aliana sebagai putriku. Perasaan ini terlalu aneh, menegangkan dan juga mengembirakan, tapi apa Aliana tak keberatan? Apa dia tak akan membenciku? Tuhan apa yang harus aku lakukan?” erang Devario dalam hati. Tidak bisa menahan gejolak aneh dalam dirinya yang mendebarkan.

“Baby, apa kamu memiliki kekasih?” tanya Devario tiba-tiba, membuat Aliana langsung mendongak dan menatap tak mengerti pada sang Daddy. Tidak biasanya pria dewasa itu menanyakan mengenai asmaranya. Ini sungguh aneh.

“Apa Daddy mengizinkan Al memiliki pacar?” balik Aliana bertanya. Selama ini Aliana tidak berani menjalin hubungan dengan seorang pria karena takut Daddy-nya tidak mengizinkan. Dan sekarang saat pria itu bertanya, apa mungkin pria dewasa itu memperbolehkannya menjalin sebuah hubungan dengan seorang pria seperti bagaimana dilakukan remaja seusianya? Jika memang iya, haruskah ia mulai memikirkan siapa laki-laki yang berhak menjadi pacar pertamanya?

“Tidak!” tegas Devario menyurutkan harapan di mata Aliana. “Kamu harus sekolah yang tinggi, Baby. Daddy tidak ingin percintaan merusak masa depanmu yang sudah Daddy susun. Jadi, jangan coba-coba untuk memiliki kekasih,” ujarnya tajam.

“Tapi Daddy, teman-teman kampus Al bahkan sudah berpengalan dengan yang namanya sex. Banyak dari mereka yang menjadi sugar baby dari pria dewasa yang kaya. Mengapa Al tidak boleh untuk sekedar pacaran? Al janji tidak akan macam-macam,” ucapnya mengacungkan jari tengah dan telunjuk, menatap sang Daddy dengan penuh harap untuk diizinkannya pacaran.

Jujur saja, diusianya yang sudah dua puluh dua tahun, Aliana belum merasakan sekalipun berhubungan dengan lawan jenis. Berbeda dengan teman-temannya yang sudah begitu liar dan panas. Aliana sebagai remaja tentu saja penasaran dan ingin mencoba hal-hal yang baru, bukan melulu belajar seperti yang Devario inginkan.

Devario semakin mengeraskan rahangnya saat mendengar ucapan gadis itu. Sungguh ia tidak akan rela jika sampai gadis yang di besarkannya dengan susah payah itu dimiliki laki-laki lain. Devario tidak bisa membayangkan bagaimana gadis kecilnya pergi dari hidupnya. Sex? Devario menggeleng cepat. Wajahnya semakin memerah dan keras, kepalan tangannya pun semakin menguat. Ia tidak bisa membayangkan gadis kecilnya berhubungan dengan pria lain, menyentuh setiap kelembutan tubuh Aliana dan …

“Kamu tidak boleh berpacaran dengan pria manapun, Baby, apalagi melakukan sex. Kalau sampai itu terjadi jangan salahkan Daddy menghabisi nyawanya.” Ancam Devario tak main-main, setelahnya pria itu bangkit dan berjalan cepat meninggalkan Aliana di gazebo seorang diri, dengan kebingungan juga kesedihannya.

“Jadi, apa aku harus melajang seumur hidupku, Daddy?” ucap Aliana lirih dengan air mata yang mulai berjatuhan dari kelopaknya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel