Susu Kotak Strawberry
Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu, seperti biasa Danil bergegas ke kelas Via dan menyeret Via menuju kantin, diikuti Moza di belakang mereka.
"Nil, aku mau ke perpus bukan ke kantin," cicit Via saat mereka sudah sampai di kantin.
"Kata bunda lo tadi pagi gak sempat sarapan, jadi lo sekarang harus makan yang banyak. Amanat dari bunda." Danil langsung pergi memesan makanan.
Via menghela napas pasrah, selalu saja Danil memaksanya ke kantin padahal Via tidak lapar. Sementara Moza berdecak kesal, karena Danil main pergi begitu saja.
"kebiasaan dah tuh anak langsung nyelonong," gerutu Moza. "Kudanil, kaya biasa ya!" Suara Moza membuat beberapa anak menoleh. "Jangan lupa minumnya es teh manis!" Danil mengacungkan jempolnya di tengah kerumunan anak-anak yang sedang mengantri untuk memesan makanan.
Setelah lama mengantri akhirnya Danil datang membawa nampan berisi tiga mangkok bakso dan tiga esteh manis.
"Jatah gue mana, dah pada ribut nih cacing gue, mulai anarkis," celetuk Moza, merebut mangkok bakso dari Danil.
"Gak tambah anarkis tuh kalau dikasih bakso doang," sahut Danil.
Moza menggeleng. "Gue mau diet, jadi gak mau makan banyak-banyak."
"Bagus deh kalau sadar." Moza melotot mendengar ucapan Danil.
"Apa lo bilang?"
"Apa?" Danil menaikkan satu alisnya, heran.
"Lo barusan bilang apa?"
"Gak bilang apa-apa kok."
"Gue denger ya, lo bilang bagus deh kalau sadar. Maksudnya apa? Lo ngatain gue gendut?" tuduh Moza, tak terima.
"Lah siapa yang bilang. Salah denger lo, wah perlu ke Dokter THT lo. Kali aja kemasukan gendang telinganya."
"Auk gelap!" Moza menelan kegondokannya.
"Terang gini juga, mata lo rabun ya?" Danil mendengus geli.
Ketika Danil dan Moza tengah berdebat, tiba-tiba Levin menghampiri meja mereka. Menghentikan perdebatan keduanya, Moza dan Danil saling berpandangan lalu melirik ke samping. Di mana Levin berdiri di samping meja mereka.
"Buat lo." Levin meletakkan susu kotak rasa strawberry di meja Via, refleks Via mengangkat wajahnya. Via menatap Levin yang tengah tersenyum padanya.
"Makasih," ucap Via malu-malu, pipinya bersemu merah. Jelas saja, ini pertama kali Via mendapatkan sesuatu dari cowok. Apalagi yang memberinya Levin, salah satu cowok ganteng di sekolahnya.
"Jangan lupa diminum, tetep semangat ya." Levin mengacungkan kepalan tangannya ke atas untuk menyemangati Via. "Fighting." Via mengangguk, mengulas senyum tipis.
Setelah kepergian Levin, Moza merapatkan duduknya ke samping Via. "Lo hutang penjelasan," bisik Moza supaya tak didengar Danil .
"Ngapain lo bisik-bisik! Gue juga denger kali," celetuk Danil, memutar bola matanya malas.
"Diem lo!!!" Moza mengerucutkan bibirnya. Danil selalu saja memancing kekesalannya.
"Sudah-sudah, ngapain coba kalian malah berantem." Via mencoba melerai keduanya.
"Vi, mending lo cerita, gak baik juga kan kalau lo pendam sendiri," suruh Danil.
Via tahu kalau Danil sudah bilang begitu, itu berarti Via harus cerita atau Danil akan mengkorek sendiri informasinya. Lalu bertindak tanpa memberitahu Via terlebih dahulu.
"Hm." Via tak punya pilihan lain selain menceritakan semuanya.
"Giliran Danil yang nyuruh mau, lah gue dari pagi kaga digubris," omel Moza, kesal sendiri.
"Jadi gak ni ceritanya?"
"Jadi," jawab Danil dan Moza kompak.
Via menceritakan semuanya, awal mulai bagaimana Levin bisa bersikap baik pada Via. Ingatan Via berputar pada kejadian pagi tadi, di mana Levin menolongnya saat Monik merundung dirinya.
Levin menarik lengan Via membawanya ke taman belakang sekolah, mengajaknya duduk di bangku. Via duduk terdiam meratapi kacamatanya yang sudah hancur dan tak bisa digunakan lagi.
"Mata lo min?" Levin menoleh, memperhatikan ekspresi Via.
Via menggeleng.
"Terus kenapa pakai kacamata?"
"Kacamata baca, udah terbiasa pakai juga," jawab Via, nada suaranya bergetar seperti menahan tangis.
Levin menarik bahu Via supaya cewek itu menghadapnya. Levin merapikan rambut Via dan menyelipkan helaian rambut yang menghalangi pandangan Via ke belakang telinga. Via terkesiap, tertegun saat matanya bertemu dengan sorot mata Levin yang teduh, begitu menenangkan.
"Gue tahu, kalau gue emang ganteng, tapi gak usah sampai terpesona gitu kali ngelihatinnya. Nanti cinta lo sama gue," goda Levin, sukses membuat pipi Via memerah, dia langsung menundukkan kepalanya karena malu.
Levin yang melihat hal itu lantas menarik dagu Via. "Lo cantik, kalau gak pakai kacamata."
Senyuman Levin mampu membuat hati siapa pun yang melihat meleleh, terbius oleh pesonanya.
Dan entah apa yang ada dipikiran Levin, cowok itu mendekatkan wajahnya menepis jarak di antara dia dan Via. Semakin mendekat, bahkan Via bisa merasakan embusan napas Levin. Via mematung di tempat saat Levin akan merapatkan wajahnya, tubuhnya tak merespon perintah dari otak. Namun tiba-tiba bel masuk berbunyi, menyelamatkan Via.
"Sudah bel, aku kelas dulu." Via beranjak berdiri. Dia sudah akan berbalik tapi Levin berhasil menahan pergelangan tangannya.
"Bareng aja, kita kan satu kelas." Levin tersenyum.
Via mengangguk, tampak canggung. Pasalnya Via masih bingung kenapa Levin bisa bersikap sebaik itu padanya. Bukankah Levin sebenarnya teman Monik juga, mengingat mereka sering nongkrong bareng. Lalu kenapa Levin malah membela dirinya. Banyak pertanyaan bercokol dalam pikiran Via akan perubahan sikap Levin yang tiba-tiba.
"Gila, so sweet banget," komentar Monik, setelah mendengar cerita Via.
Danil berdecak, melihat kehebohan moza. "Biasa aja kaliii," cibir Danil.
"Apaan si lo sirik bae, cowok ngeselin kaya lo mana bisa kaya gitu," ejek Moza, meremehkan. Danil tak menyahuti, dia memilih melanjutkan makan bakso.
Via mengalihkan pandangannya ke arah lain, netranya berhenti ke bangku paling belakang. Menatap tiga orang cowok yang duduk di sana, ketiganya tengah memandang ke arah dirinya. Tentu saja Via dengan cepat menunduk, merasakan degupan jantungnya berdetak di luar batas normal karena tak sengaja bersitatap dengan salah satu dari mereka. Tatapan Alex, entah kenapa Via merasa aneh dengan cara cowok itu melihat dirinya. Apa Via berbuat kesalahan? Via berusaha mengingat-ingat kejadian kemarin.
Tanpa Via sadari ada yang menahan tawa saat melihat ekspresi Via barusan.
Lucu. Malu-malu kucing. Batin Alex, tersenyum geli.
"Kenapa Lex?" tanya Leon, heran melihat Alex tiba-tiba tersenyum. "Kesurupan lo?" Levin menoleh ke Alex, penasaran.
"Hah?" Alex tersadar, bingung saat melihat tatapan curiga dari kedua sahabatnya. "Kenapa?"
"Lo ngapain senyum-senyum sendiri? Ngeri gue jadinya takut lo tiba-tiba sawan terus kesurupan." Mendengar ucapan Leon, refleks Alex melemparkan gulungan tisu ke mulut Leon.
"Woy!" Spontan Leon memekik. "Kena mulut, sial!" Leon menatap gulungan tisu yang hampir habis. "Tisu toilet lagi." Sonta saja Leon menggosok-gosok bibirnya.
Sementara Levin tertawa terpingkal-pingkal, begitu juga dengan Alex ikut menertawakan Leon yang panik hanya karena gulungan tisu yang memang seharusnya diperuntukkan untuk toilet.
____
Bel pulang sekolah berbunyi, semua murid berhamburan keluar kelas. Begitupun dengan Via dan moza yang keluar berbarengan.
"Vi gue duluan ya, nyokap minta ditemenin belanja, Biasa emak-emak gahol minta nongki di starbak," ucap Moza saat keduanya keluar dari kelas.
Via mengangguk. "Hati-hati, salam buat tante Indah."
"Sip, bye Via." Kemudian Moza berlari lebih dulu karena mamanya sudah menunggu di depan gerbang sekolah.
Via mengembuskan napas kasar saat melihat cuaca yang tak mendukung. Via lupa bawa payung, sementara hujan begitu deras. "Bareng Danil aja kali ya, ngirit ongkos juga," gumam Via, lalu melangkahkan kakinya menuju kelas Danil.
Via segera masuk saat pintu kelas Danil terbuka, namun langkahnya terhenti di depan kelas saat melihat seseorang di kelas Danil dan cowok itu jelas bukan Danil. Mata Via melotot, mulutnya refleks berteriak.
"AAA ...!!" Via berbali dan segera keluar dari kelas. Berhenti di depan kelas, menormalkan detak jantungnya yang memburu. Memejamkan matanya sejenak, berharap yang baru saja Via lihat itu hanya sebuah mimpi saja. Namun sayangnya sebuah suara bass menyadarkan Via, menarik Via kembali ke kenyataan.
"Ngapain lo?"
Via membuka matanya, menoleh ke samping di mana seorang cowok berdiri di depan pintu. Melihat cowok itu, spontan Via memalingkan matanya. Pasalnya cowok itu tak memakai baju seragamnya dan hanya memakai kaus tanpa lengan. Cowok itu yang berpakaian seperti itu tapi Via yang merasakan malu.
"Ma-maaf. Aku gak bermaksud apa-apa kok. Aku cuma mau cari Danil," cicit Via, terlihat ketakutan.
"Danil? Udah pulang dari tadi," kata cowok itu.
"Oh ya udah, makasih." Setelah itu Via segera berbalik, berjalan cepat lalu berlari kencang.
Cowok itu bedecak menatap kepergian Via sambil menggelengkan kepalanya. " Cewek aneh."
Lalu seseorang datang menghampirinya, dia sempat melihat Via yang lari terbirit-birit. "Tuh cewek kenapa Vid?" tanya cowok yang baru datang.
David mengedikkan bahunya. "Gue juga gak tahu. Tadi dia nyariin Danil."
"Oh, yaudah ayo ke basecamp. Anak-anak udah nungguin, jadi mau tanding kan?"
David mengangguk. "Gue ambil tas dulu."
-----------------
Via sudah berkeliling sekolah, tapi tak juga melihat batang hidung Danil. Namun motor Danil masih berada di parkiran. Hal itu membuat Via heran dan bertanya-tanya, ke mana sebenarnya Danil?
Via berdecak, cukup lelah mencari. Tapi Via tak putus asa, matanya jelalatan ke segala arah. "Kamu ke mana sih Nil?"
Via menghela napas kasar, buntu. Via tak tahu lagi harus mencari Danil ke mana, semua tempat sudah Via datangi dan hasilnya nihil. Hingga sayup-sayup terdengar suara berisik, seperti orang ribut. Via yang penasaran, lantas berjalan mundur lalu berhenti di dekat lorong dan menoleh ke arah lorong di samping kanannya.
"Danil?" Via mengernyit saat melihat Danil. "Sama siapa?" Via bersembunyi di balik tembok, matanya memperhatikan Danil yang sedang berdebat dengan seorang cewek. Via tidak tahu siapa cewek itu, karena posisinya yang memunggungi sehingga Via tidak bisa melihat wajahnya.
"Ngomong apaan si? Gak kedengeran," gerutu Via, padahal dia sangat ingin tahu apa yang sebenarnya tengah diributkan Danil dan cewek itu.
Via panik saat melihat pergerakan cewek itu yang sepertinya akan berbalik, namun rasa penasaran membuat Via tetap bertahan di posisinya. Namun belum sempat Via melihat wajahnya, seseorang lebih dulu menepuk bahu Via. Refleks Via menoleh ke belakang.
"Eh." Via mengerjap saat melihat siapa yang menepuk bahunya yang tertanyata Levin.
"Kamu ngapain?" tanya Levin.
"Em ... anu ...." Via jadi gugup. "Nunggu hujan reda," kata Via, menunjuk ke arah hujan yang mulai reda.
"Oh."
Via bernapas lega karena Levin percaya dengan alibinya. Meski Via tidak sepenuhnya berbohong, dia memang menunggu hujan reda sembari mencari David. Tapi Via tidak mungkin mengatakannya, apalagi situasinya saat ini Via sedang menguping pembicaraan Danil dengan seorang cewek. Kalau Via bilang, Via takut nanti Levin malah ilfil padanya.
"Bareng gue aja, kebetulan gue bawa mobil," ajak Levin.
Via terlihat ragu, tampak berpikir sejenak. Levin yang tidak sabaran lantas menarik lengan Via tanpa menunggu jawabannya.
"E-ehh!" Via terkesiap dengan tindakan Levin.
"Tenang aja, gue gak bakal culik lo kok. Gue bakal anterin lo selamat sampai tujuan." Levin tersenyum geli melihat ekspresi panik Via. "Ayo."
Via mengangguk, kali ini tidak menolak. Sepanjang perjalanan menuju parkiran, Levin sama sekali tidak melepaskan genggamannya pada tangan Via.
"Lama banget si lo, cuma ke toilet doang?" omel Leon saat Levin tiba di parkiran.
Leon menyipitkan matanya, menatap cewek yang bersembunyi di belakang punggung Levin. "Pantes," kata Leon, mencebikkan bibirnya.
"Gue duluan. Nanti gue nyusul basecamp," ucap Levin, membukakan pintu mobil untuk Via. "Masuk Vi."
"Makasih." Via segera masuk ke mobil.
Levin tersenyum tipis melihat Via yang terburu-buru masuk ke mobil, mungkin karena ada Alex dan Leon makanya Via bergegas masuk. Secara mulut Leon tidak bisa diam, terus meledek Levin.
"Susah yeee, kalau orang kasmaran suka lupa sama teman," sindir Leon yang langsung dihadiahi tatapan tajam Levin. Mulut Leon yang ceplas-ceplos butuh dirukiyah sepertinya biar sedikit kalem.
Sementara Via terus menundukkan kepala, tak berani menatap Alex. Jujur Via kurang nyaman dengan cara Alex menatapnya.
"Pasang sabuk pengamannya." Suara Levin menginterupsi, membuat Via menoleh karena terkejut.
"Ya?"
Levin menghela napas panjang, lalu tanpa berbicara dia mencondongkan tubuhnya ke Via, memasangkan sabuk pengaman. Wajah mereka yang sejajar, tentu saja membuat mata keduanya saling beradu. Hal itu memicu detak jantung Via berdetak kencang, seperti akan konslet.
Terlebih Levin yang tak beranjak dari posisinya, mengundang mulut berisik Leon untuk bersiul dan mencibir Levin. Sementara Alex masih menatap Via dengan pandangan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada sesuatu yang tersembunyi dibalik tatapannya.
Mungkinkah Alex cemburu?
