Malaikat Tanpa Sayap
Sudah setengah jam Via mondar mandir di depan gedung tempatnya les. Via terus menghubungi Hendra tapi tak juga diangkat. Via melirik jam tangannya, hampir jam sepuluh malam tapi abangnya tak kunjung datang. Padahal Via sudah mengirimi banyak pesan ke abangnya.
Lelah menunggu dan malam semakin larut, akhirnya Via mengirimi abangya pesan kalau dia ingin pulang duluan. Setelah mengirim pesan Via berjalan menuju jalan raya. Menunggu angkot atau bus, meski rasanya mustahil masih ada angkutan umum jam segini.
Lima belas menit menunggu tanpa kepastian dan tak ada angkutan yang lewat juga, dengan berat hati Via memutuskan untuk berjalan kaki menuju rumahnya. Walaupun rasa takut mendominasi, tapi Via tak punya pilihan lain. Via justru lebih takut berada di tempat ini sendirian, karena tempatnya cukup sepi.
Sedangkan di tempat lain, suara sorakan riuh di arena balap liar. Mereka bersorak menyerukan nama jagoannya, di mana dua motor sport sudah bersiap di depan garis start. Lalu seorang perempuan berpakaian seksi maju ke depan, membawa dua bendera di tangannya. Suara penonton bergema di tengah gelapnya malam, mereka mulai menghitung mundur dari tiga kemudia tepat dihitungan terakhir dua motor itu melesat dengan kencang.
Hiruk pikuk penonton sorakan mengelu-elukan nama jagoannya.
"David, David, David."
"Alex, Alex, Alex."
Lalu seperti biasa, sang calo mulai beraksi menghampiri satu persatu penonton.
"Lo pilih Alex atau David?" tanyanya.
" Gue Alex." Memberikan uang taruhan.
"Gue David." Diikuti dengan pendukung yang lain.
Sudah jadi rutinitas anak-anak nakal setiap malam menantang maut, hanya untuk melampiaskan hobi dan meraup uang dari hasil taruhan.
Alex berhasil di posisi pertama disusul David di belakangnya dengan jarak yang cukup tipis.
Kali ini gue gak bakal biarin lo menang Lex! Batin David, menyeringai. Lalu dengan liciknya, David memepet motor Alex di jalanan yang cukup sepi, kemudian menendang motornya. Seketika Alex hilang keseimbangan, tak mampu mengendalikan laju motornya yang tiba-tiba oleng. Alex terjatuh, motornya menabrak tertoar menimbulkan suara bedebum keras.
Via yang kebetulan melintas di jalanan sepi itu tersentak ketika samar-samar mendengar suara rintihan. Ketakutan menyergap, tapi rasa penasaran lebih mendominasi. Lantas Via memberanikan diri memutar arah berlawanan, mengikuti insting dan suara rintihan yang santer terdengar.
Betapa terkejutnya Via saat melihat seseorang merintih karena tertimpa motor. Via berlari mendekat, dengan tenaga semampunya susah payah Via memindahkan motor yang begitu berat. Napas Via terengah, dia berhasil memindahkan motornya. Setelah itu Via kembali memghampiri orang tadi.
Via menggunting celana jeans itu sampai lutut, memudahkannya untuk mengobati luka di lutut. Setelah itu Via membersihkan lukanya dengan air minum di botol dan memberikan obat merah sebelum menutupnya dengan kain kasa dan membalutnya dengan perban. Via sering terjatuh saat turun dari bus karena terburu-buru, itu sebabnya bundanya selalu menyuruh Via untuk membawa kotak obat di tasnya buat jaga-jaga.
"Sudah selesai." Via merapikan kembali perlengkapan obatnya.
Sementara orang itu merubah posisinya jadi duduk tegak, melepaskan helmet yang sedari tadi masih dia pakai.
"Thank's," kata orang itu.
Via menoleh, melongo saat melihat orang itu menyugarkan rambutnya ke belakang. "Alex!" pekik Via, tak menyangka jika orang yang ditolongnya ternyata Alex. Rasanya Via mau meninggal saja. Keringat dingin menyadari tatapan Alex terus tertuju padanya.
Alex mengambil sapu tangan dari saku jaketnya, mengusap dahi Via yang bercucuran keringat.
"Aku bisa sendiri," ucap Via, mengambil alih sapu tangan dari Alex.
Hening, keduanya memilih diam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Suasana yang sangat canggung bagi Via, tak tahan terus berlama-lama dengan Alex, Via beranjak berdiri. Memutuskan untuk meneruskan perjalanan pulang.
"Aku pulang dulu ya," pamit Via, namun belum sempat melangkah Alex lebih dulu menahan pergelangan tangan Via.
"Lo mau ninggalin gue sendiri?" tukas Alex, mendengus.
"Em ... bukannya gitu, tapi aku harus pulang em ... terus gimana dong?" Via bingung, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Temenin gue di sini," pinta Alex, menepuk tempat di sampingnya.
"Tapi kan udah malam-----"
" Duduk!!!" perintah Alex tanpa mau dibantah.
Mau tidak mau Via menurut, menghela napas pasrah Via duduk di samping Alex. Suasana kembali hening sesaat, hingga silau cahaya lampu motor mengalihkan atensi keduanya. Suara deru motor terdengar mendekat.
"Woy Lex, akhirnya kita nemuin lo juga. Parah si David lagi pesta noh, lo malah ngejongkrok di sini." Alex memutar bola matanya saat mendengar suara Leon, cowok itu turun dari motor.
"Berisik lo!" ketus Alex.
Sedangkan Via memilih tetap diam, tak tahu harus bagaimana. Apalagi abanganya masih belum juga membalas pesan-pesan Via.
"Via?" Levin terkejut melihat Via duduk di samping Alex. "Kok lo di sini?"
"Lah iya, kok ada si cupu di sini," sahut Leon yang baru menyadari keberadaan Via. "Awww!" Leon mengaduh karena sikutan Levin, ditambah tatapan tajamnya.
"Ceritanya Panjang. Leon, lo yang antar Via pulang biar gue bareng Levin," ucap Alex yang langsung dibantah Levin.
"Gue aja yang anter Via."
"Gak!"
Levin menaikkan satu alisnya. "Kenapa?"
"Lo harus ikut gue ke arena balap, masih ada yang perlu kita urus."
"Udah-udah gue aja yang antarin dia." Leon mengedikkan dagunya ke Via. "Lo ikut Alex ke arena, nitip satu bogem buat David." Leon menepuk bahu Levin yang terlihat kesal. "Tenang aja, dia aman sama gue. Gak bakal gue ajak mampir-mampir-----awww!!" Leon meringis, kepalanya baru saja ditimpuk helem. Memang Levin gak ada ahlak!
"Awas aja lo sampai gak anterin dia ke rumahnya, gue tumbalin lo," ancam Levin.
"Iya bawel." Leon naik ke atas motornya. "Cupu, lo mau pulang gak?"
Via mengangguk, ia segera bangun dan naik ke atas motor Leon. Via yang belum siap tersentak ke belakang dan nyaris terjungkal jika saja tangannya tidak berpegang pada jaket Leon. Karena Leon langsung menancap gas dan melajukan motornya dengan kencang.
"Woy kampret! Hati-hati bawa anak orang!" teriak Levin.
Setelah memastikan motor Leon tak terlihat lagi, Levin memalingkan pandangannya ke Alex yang masih terduduk. "Terus motor lo gimana?"
"Biarin aja di si, nanti gue suruh bawahan bokap gue yang ambil," jawab Alex, lalu beranjak berdiri.
"Kaki lo kayanya baik-baik aja?" sindir Levin saat dilihatnya Alex berjalan dengan normal.
"Emang, cuman lecet doang. Lagian udah diobati juga."
"Terus ngapain lo suruh gue jemput?" Levin menggeram kesal, menelan mentah-mentah rasa gondoknya.
"Pengen aja," jawab Alex seenak jidat tanpa merasa bersalah.
Levin enggan menyahuti dan memilih menjalankan motornya meninggalkan tempat itu.
Malaikat tanpa sayap. Banti Alex ketika mengingat Via mengobati lututnya tadi, tanpa disadari Alex menyunggingkan senyumnya lalu bergumam, "My litle chicken."
"Hah?"
"Apa lo bilang?!" teriak Levin saat motor sudah melaju kencang di jalan raya.
"Gak papa," balas Alex tak kalah lantang, tepat di sebelah telinga Levin.
Jelas saja Levin mengumpat, telinganya berdengung gara-gara kelakuan Alex yang gak ada ahlak!
___
Via mengerucutkan bibirnya saat turun dari motor Leon. Mungkin saat ini penampilannya sudah kacau, mengingat Leon membawa motornya seperti orang dikejar-kejar debt collector.
"Ini rumah lo?" tanya Leon. Via mengangguk. "Pantes, gue sering lihat lo di took."
"Hah, sering?" Via mengerutkan keningnya.
"Iya." Leon menganggukkan kepalanya. "Gue, Alex sama Levin kan sering nongkrong di situ." Leon mengedikkan dagunya ke arah bangku di depan toko.
Via mengikuti arah telunjuk Leon, sambil berpikir. Kok bisa si dia gak sadar kalau mereka sering nongkrong di depan tokonya.
"Woyy, malah ngelamun lagi." Leon menjentikkan jarinya di depan wajah Via.
"Eh-iya?" Via tampak gelagapan.
"Jangan ngelamun, di sini banyak setannya," bisik Leon.
"Masa?" Via tampak tak percaya dengan ucapan Leon, tapi ekspresinya begitu meyakinkan. "Aku duluan ya!" Lantas Via lari terbirit-birit menuju rumahnya.
Leon tertawa terbahak-bahak sampai memegangi perutnya. "Padahal kan gue boong."
