Super Hero Tampan
Via turun dari motor abangnya. Sebenarnya hari ini Via malas sekolah, tapi bunda tidak mengizinkan dan memaksa Via tetap berangkat sekolah.
"Belajar yang rajin," ucap Hendra sambil mengacak-ngacak poni Via. Kebiasaan Hendra menjadikan poni Via sebagai sasaran tangan jailnya.
"Bang Hendra! Rambut aku jadi acak-acakan." Via mengerucutkan bibirnya, sembari merapikan kembali poninya.
"Lebay amat si," cibir Hendra, tersenyum geli melihat ekspresi kesal Via yang lucu.
Via mendengkus enggan menanggapi. "Aku masuk dulu Bang." Via menyalami Hendra, kemudian berjalan memasuki gerbang.
Baru selangkah memasuki gerbang, semua anak sudah memberikan tatapan menusuk pada Via. Mereka mulai saling berbisik bahkan menertawakan Via secara terang-terangan. Via yang merasa aneh menghentikan langkahnya untuk melihat penampilannya sejenak.
Gak ada yang salah. seragam bersih, rapi, poni Via juga gak berantakan. Rambut di kuncir kuda, kacamatanya pas gak miring, sama persis dengan penampilan Via biasanya. Terus mereka menertawakan apa? Tak ingin membebani otaknya, Via mengedikkan bahu memilih mengacuhkan. Tidak penting.
Via kembali meneruskan langkah kakinya, berjalan menuju kelas. Namun saat melewati mading, tanpa sengaja matanya melihat ke arah poster yang tertempel di mading. Mata Via melotot, kakinya refleks berhenti. Via menatap nanar poster berukuran besar itu.
"Alien Looser," gumam Via, menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang dia lihat.
Poster dengan foto dirinya yang terjatuh di depan toko, tertempel di mading dengan tulisan 'Alien looser'. Via langsung merobek poster itu dan menatap anak-anak yang sudah berkumpul di sekitarnya.
Tanpa terasa air mata Via mengalir membasahi kedua pipinya yang chubby. Kenapa mereka sejahat itu? Kenapa mereka melakukan ini padanya? Apa salah Via?
"Apa salah aku? Kenapa kalian lakukan ini!" teriak Via.
Via sudah tak tahan lagi diperlakukan seperti ini. Bukanya iba mereka justru menertawakan tindakan bodoh Via.
"Kenapa tertawa? Kalian pikir lucu? Hah! Segitu apatisnya kah kalian?" Entah kekuatan dari mana Via berani mengatakan itu semua dengan lantang.
Suara tepuk tangan meginterupsi semua orang, menyita perhatian pasang mata yang sedang menonton. Suara tawa anak-anak seketika terhenti saat melihat gerombolan cewek datang mendeakti Via.
"Wow, bisa ngamuk juga si cupu." Tiba-tiba seseorang berjalan ke arahnya.
Monik!
Via mengepalkan tangan. Harusnya dia sudah menduganya sejak awal jika semua ini pasti perbuatan Monik dan antek-anteknya.
"Kamu yang ngelakuin ini?" Via menatap nyalang Monik tapi tak membuat Monik gentar, dia justru tersenyum miring, meremekan.
"Kalau iya kenapa? Masalah buat lo!" Monik terkekeh, menertawakan kebodohan Via.
Via ingin membalas ucapannya tapi saat mulutnya akan terbuka Alex Cs datang dan berdiri di antara kerumunan, menyaksikan semuanya. Via mengurungkan niatnya, memilih pergi meninggalkan arena laknat itu.
Baru saja Via berbalik, Monik langsung menarik rambut Via dengan kasar, membuat ikatannya terlepas. Via mengibaskan rambutnya berusaha merapikan rambut panjangnya yang tergerai. Belum cukup puas, Monik mengambil kacamata Via, menginjaknya sampai benda itu tak berbentuk lagi.
Via berlutut mencoba mengambil kacamata yang sudah pecah, menatap nanar kacamatanya yang tak bisa dipakai lagi. Mata Via berkaca-kaca, rasanya ingin menangis saat itu juga.
"Aaaaaaaa!" pekik semua anak, mereka membungkam mulut masing-masing. Tak percaya dengan tindakan Monik, gadis itu menumpahkan air cucian piring di atas kepala Via.
Beruntung Levin dengan sigap melindungi Via dengan jaketnya, sehingga air kotor itu tidak sampai mengenai kepala Via.
"Vin, lo gak waras ya? ngapain coba lo nolongin si cupu!" hardik Monik, melipat tangannya di depan dada.
Levin membantu Via berdiri lalu berbalik menatap Monik. "Lo yang gak waras, hobi banget bikin rusuh. Nih cuci jaket gue!" Levin melemparkan jaketnya yang kotor pada Monik, setelah itu membawa Via pergi.
Monik berdecak, menatap jijik jaket Levin yang kotor. Monik yang kesal langsung melempar jaket itu pada antek-anteknya.
Anak-anak pun mulai membubarkan diri, begitupun dengan sepasang mata yang dari tadi menyaksikan kejadian itu. Sorot matanya begitu tajam menatap kepergian Levin dan Via, sementara tangannya terkepal erat.
____
"Alex!" pekik Monik saat tangannya dicengkram kuat oleh Alex. Beruntung kelas Monik sepi, karena semua anak sedang olahraga di lapangan.
"Lo kan yang masang itu di mading?" tuduh Alex dengan tatapan tajamnya.
"Kalau iya kenapa?" jawab Monik tanpa merasa takut sedikit pun dengan tatapan mata Alex, dia malah mengangkat dagunya seolah menantang.
"Lo!" hardik Alex, mencengkram kerah seragam Monik. Muak, geram, jengkel bercampur jadi satu. Kalau Monik laki-laki sudah pasti Alex memberinya pukulan telak di rahang. Tapi sialnya Alex tidak mungkin menghajar cewek, dia bukan banci.
"Lo kenapa si Lex?" Monik menghempas tangan Alex dari kerah bajunya. "Lo berubah, lo suka sama si cupu?" Alex terdiam, amarahnya masih menggebu-gebu, napasnya semakin memburu. "Jawab!!" bentak Monik.
Alex mengangkat wajahnya menatap Monik dengan tatapan mengerikan. Iris matanya yang berwarna hitam pekat seolah memancarkan kilatan kebencian.
"Lex," cicit Monik, melangkah mundur bergidik ngeri melihat ekspresi Alex yang berubah menyeramkan.
"Bukan urusan lo!!" bentak Alex, mendorong kasar Monik. Setelah itu berbalik melangkah pergi meninggalkan Monik yang sempat syok karena perlakuan kasar dan suara lantang Alex ditambah tatapan tajam yang mengerikan.
Monik berusaha menormalkan diri, mengatur napasnya yang memburu. "Ini semua gara-gara si cupu," jerit Monik, menendang kaki meja. "Awwww!" Monik mengaduh, lalu mengangkat kepalanya saat melihat seseorang berdiri di depan pintu.
"Danil?" Monik tampak terkejut saat melihat Danil berdiri di ambang pintu memakai baju olahraga.
"Ngapain---"
"Jadi lo pelakunya? Sudah gue duga," tuduh Danil, menyela ucapan Monik. "Gue gak nyangka lo sejahat itu." Danil mendecih, lalu berbalik pergi. Namun suara Monik berhasil menghentikan langkahnya.
"Ini semua karena lo Nil!" teriak Monik, tanpa bisa dihalau air matanya menerobos keluar. "Semuanya gara-gara lo!" Napas Monik memburu, tak mampu menahan isakan. Meski susah payah Monik berusaha untuk tidak menangis di hadapan Danil, tapi nyatanya Monik tidak bisa. Dia terlalu cengeng setiap kali berhadapan dengan Danil.
"Gue?" beo Danil, menaikkan satu alisnya.
"Karena lo!" Monik menunjuk Danil, kilatan amarah terlihat jelas dari sorot matanya. "Karena lo lebih mementingkan dia dari pada gue? Emang apa bagusnya dia ketimbang gue?" Monik meluapkan emosinya yang menggebu-gebu.
Danil terdiam, otaknya berpikir keras. Mencoba memahami ucapan Monik. Jelas dia yang Monik maksud itu Via, lalu apa hubungannya dengan Via? Jika ini karena kandasnya hubungan Danil dan Monik, jelas tidak ada sangkut pautnya dengan Via. Danil putus dengan Monik karena dia sudah terlalu lelah menghadapi sifat kekanakkan Monik yang terlalu menuntut dirinya dan selalu membandingkan Danil dengan cowok lain. Lagi pula yang meminta putus duluan Monik bukan Danil.
"Lo pikir, kenapa gue sampai minta putus?" lirih Monik, menunduk menyembunyikan wajahnya yang sudah berderai air mata. "Itu karena lo selalu prioritasin si cewe cupu itu dari pada gue!" Akhirnya Monik mengatakan alasannya meminta putus dulu setelah sekian lama Monik menyembunyikannya dari Danil. Lalu Monik berlari keluar menabrak bahu Danil hingga dia terdorong mundur.
Danil berdiri kaku, berusaha menyangkal semua tuduhan Monik tapi memang semua yang dikatakan Monik benar. Danil memang lebih menyukai Via dari pada Monik. Sementara Monik hanya tempat singgah sesaatnya.
_____
Via masuk ke kelas lebih dulu, duduk di bangkunya. Moza yang sudah menunggu langsung memberondong Via dengan banyak pertanyaan.
"Vi, kok lo bisa bareng Levin?" tanya Moza "Lo tahu gak, gue denger-denger tadi si ratu buli bikin ulah lagi ya?" Moza terlihat begitu antusias. "Vi jawab." Moza menggoyang lengan Via, tapi Via tak mau menanggapinya.
"Vi, pokoknya lo hutang penjelasan sama gue," kata Moza ketika bel masuk berbunyi dan guru masuk ke kelas.
Via menghela napas panjang, mendengar ucapan Monik yang terkesan memaksa. Sahabatnya memang seperti itu.
Sedangkan di belakang, Levin langsung didatangi Leon saat dia duduk di bangkunya.
"Etttsss ada superhero tampan, udah main gercep aja ni," celetuk Leon, merangkul bahu Levin.
Levin berdecak, memutar bola matanya. "Berisik lo!" hardik Levin, menghempas tangan Leon dari bahunya.
"Giliran sama cewek aja sok manis lo." Leon memberengut kesal, lalu kembali duduk di belakang Levin.
Levin menolehkan kepalanya ke meja Via, tanpa sengaja pandangan mereka bertemu ketika Via menoleh ke belakang. Via memutus kontak mata lebih dulu dan kembali menghadap ke depan menelusupkan wajahnya ke atas lipatan tangan. Via gak mau kalau ada yang tahu wajahnya bersemu merah, terutama Levin. Via sangat malu.
Levin yang melihat hal itu pun mengangkat sudut bibirnya. Tersenyum tipis karena tingkah Via yang menggemaskan baginya.
"Lucu," gumam Levin.
"Siapa?" tanya Alex, mengalihkan perhatiannya dari ponsel ke Levin yang duduk di sampingnya.
"Ada," jawab Levin. Kemudian mengeluarkan buku pelajaran dari tas sesuai interuksi guru.
Alex tak menyahut lagi, kembali fokus pada ponselnya. Tapi ada perasaan yang mengganjal, entahlah Alex selalu seperti ini tak tahu dengan perasaannya sendiri.
