Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Super Hero Kesiangan

Via terus menangis tanpa henti, kini mereka bertiga berada di warung belakang sekolah. Ketiganya membolos jam pelajaran, termasuk Danil yang beda kelas dengan Via dan Moza.

"Udah kali Vi, percuma sampai lo nangis air mata buaya sekali pun gak bakal balikin keadaan," ucap Moza, memainkan permen lolipop di mulutnya.

Danil berdecak, melototi Moza. "Kalau ngomong dicerna dulu bisa gak si?!" hardik Danil, kesal medengar ucapan Moza yang terkesan tidak memahami keadaan Via.

"Eh kudanil arab, omongan gue lo kira bakwan musti dicerna!" Moza memutar bola matanya, malas meladeni Danil.

Danil yang kesal kembali melototi Moza, bukannya takut Moza malah semakin menantang.

"Apa?" Moza mengangkat dagunya dengan kesongongan yang HQQ.

Saat Danil akan menjitak kepala Moza, tiba-tiba Via menjerit. Hal itu membuat Danil urung melakukannya.

"Aaaa ... stop kalian bikin aku pusing!!" Via mengacak-ngacak rambutnya.

Danil mendekat, merengkuh tubuh Via tapi langsung ditepis. Danil melongo mendapat reaksi seperti itu, dia menatap punggung Via yang berlari meninggalkan dirinya.

Danil dan Moza saling berpandangan, mata mereka seolah saling berbicara. Kemudian dengan inisiatif masing-masing, keduanya menyusul Via. Walaupun pada akhirnya mereka harus bersembunyi, karena ada guru piket yang sedang berpatroli dan kalau mereka sampai ketahuan maka hukuman menanti.

Via berdiri di depan kelas, menghela napas kasar sebelum memberanikan diri mengetuk pintu. Via masuk setelah mendapat sahutan dari dalam, dia berdiri di depan kelas menatap guru yang sedang menulis di papan tulis.

Via menunduk, meremas baju seragamnya karena merasa risih ditatap semua anak. Bahkan Via gak peduli lagi dengan penampilannya yang begitu kacau, baju kotor rambut acak-acakan. Bukan hanya itu, Via juga kehilangan kacamatanya saat di kamar mandi tadi. Walaupun sebenernya hanya kacamata baca, tapi dia sudah terbiasa memakainya.

"Dari mana kamu Via? Terus baju kamu kenapa kotor?" tanya bu Eny dengan tatapan menyelidik.

"Dari UKS Bu," lirih Via, tidak berani menatap bu Eny.

"Ya sudah, kamu bisa kembali ke tempat duduk," suruh bu Eny yang sudah berjalan menuju mejanya.

"Bu," panggil Via. Bu Eny berbalik, menatap Via. "Boleh saya izin pulang saja, kepala saya masih pusing." Via meremas ujung seragamnya, tampak gugup. Via berharap bu Eny akan mengizinkannya.

"Baik, tapi harus ada yang mengantar kamu," kata bu Eny, lalu mengedarkan pandangannya ke murid-murid. Kemudian menunjuk cowok yang ada di bangku paling belakang, cowok itu menelungkupkan wajahnya ke meja, sepertinya dia sedang tidur.

"Alex!"

Jantung Via berhenti persekian detik ketika mendengar bu Eny memanggil cowok itu. Mata Via mengikuti arah telunjuk bu Eny. Benar saja, Alex yang dimaksud bu Eny orang yang sama dengan yang Via tabrak tadi siang.

Bu, Via mohon jangan dia, jangan laki-laki itu please!! Jerit Via dalam hati.

"Bu, Via bisa pulang sendiri kok, naik bus," ucap Via, supaya bu Eny tak perlu menyuruh Alex. Tapi sepertinya sia-sia, karena bu Eny justru melangkah menuju meja paling belakang.

Leon teman sebangku Alex menyikut lengan Alex yang berada di meja. Dia berusaha membangunkan, tapi Alex malah menepisnya tangan Leon, mengumpat dan membentak Leon.

"Bisa diem gak si lo?!" Yang dibentak hanya bisa diam, bukan karena takut dengan Alex melainkan karena bu Eny sudah berdiri di samping meja mereka.

"Alex, kamu tidur dari tadi?!" Suara nyaring bu Eny yang begitu menggelegar sukses membangunkan Alex dari mimpi indahnya.

Alex menoleh ke samping, di mana bu Eny tengah berdiri sambil berkacak pinggang, menatapnya dengan garang. Alex hanya menyipitkan matanya tanpa menjawab bentakan bu Eny.

"Kamu anterin Via pulang sekarang!" perintah bu Eny, ketika Alex ingin menjawab dengan cepat bu Eny menginterupsi lebih dulu. "Gak ada penolakan atau kamu mau saya laporkan ke orangtua kamu, karena sudah tidur di jam pelajaran saya."

Mendengar ancaman bu Eny, mau tidak mau Alex mengikuti kemauan guru itu. Dia mengambil tas ranselnya lalu berjalan keluar kelas begitu saja.

"Kamu diantar Alex ya, Vi," ucap bu Eny.

Via mengangguk, menyalami bu Eny. Dia mengambil tasnya kemudian keluar mengikuti Alex yang sudah berjarak cukup jauh.

Sesampainya di parkiran, Alex hanya diam memandangi Via dari atas sampai bawah. Membuat Via begitu risih dan tak berani mengangkat kepalanya.

"Aku bisa pulang sendiri," cicit Via. Tak mau menunggu jawaban Alex, Via segera berjalan——namun Alex dengan cepat menahannya.

"Eh!" Via terkejut saat Alex mencekal lengannya.

Via menoleh dan semakin terkejut karena Alex sudah berdiri di belakangnya. Sedetik kemudian cowok itu melepas jaket lalu memakaikannya ke Via. Setelah itu Alex berjalan menuju motornya, meninggalkan Via yang masih terpaku di tempat.

Itu beneran Alex kan? Via menatap punggung Alex, banyak pertanyaan yang bercokol di pikirannya saat ini. Terlebih dengan perlakuan Alex barusan.

"Naik," ucap Alex datar.

"Eh ...." Suara Alex membuyarkan lamunan Via. Dia bergegas naik ke motor Alex karena cowok itu terus menatapnya dengan tajam.

"Pegangan kalau lo gak mau jatuh," kata Alex sambil memakai helmetnya.

Via menurut, berpegangan pada handle samping motor Alex, tanpa Via duga Alex menancap gas. Refleks tubuh Via terhuyung ke depan menabrak punggung Alex.

Mata Via melotot seketika, degup jantungnya mulai tak beraturan. Seakan-akan detak jantungnya seperti bom yang siap meledak. Via memeluk erat Alex, takut akan terjatuh karena Alex melajukan motornya dengan kencang.

——•••——

Via berjalan lesu menelusuri koridor sekolah yang masih sepi, karena Via memang sengaja berangkat lebih awal.

Sesampainya di kelas, Via meletakkan ranselnya di atas meja menjadi tumpuan kepalanya. Baru sepuluh menit Via terlelap, suara cempreng mengusik tidurnya. Siapa lagi kalau bukan Moza.

"Vi, parah lo ya. Gara-gara lo, kemarin gue sama si Danil dihukum tahu," celoteh Moza, mendaratkan bokongnya di bangku sebelah Via.

Via hanya diam, memegangi kepalanya yang tiba-tiba pening. Ditambah mendengar suara cempreng Moza semakin membuat kepalanya tambah pusing. Berdenyut seolah kepalanya sedang dibor.

"Vi, kok lo diem aja si? lo sakit?" tanya Moza, merasa diabaikan. Tangannya terulur menyentuh dahi Via.

"Astaga dragon, mending lo ke UKS deh. Badan lo anget, biar nanti gue yang izinin," saran Moza, karena suhu badan Via sangat panas. Sepertinya Via demam.

Via hanya mengangguk, lalu berjalan keluar kelas. Moza tak bisa mengantarnya, karena dia harus mengerjakan PR matematika yang akan dikumpulkan saat jam pelajaran pertama.

Via melangkahkan kakinya menuju toilet terlebih dahulu sebelum ke UKS.

Saat Via melewati gudang tiba-tiba saja ada seseorang yang membekapnya, memasukkan Via ke dalam gudang kemudian mengunci pintu. Via menangis memukul-mukul pintu yang tertutup rapat, berharap ada seseorang yang akan membukakannya.

"Tolong!!" teriak Via, tangisnya pecah. Dia terus berteriak, menangis sesenggukan, tapi nihil. Tak ada seorang pun yang mendengarnya.

Via terus berteriak meminta tolong, dia masih berharap keberuntungan memihaknya dan Tuhan akan mengirimkan malaikat penolongnya.

Sudah setengah jam Via menangis sambil menggedor-gedor pintu. Kepalanya mulai terasa berat, dadanya sesak, pandangannya mulai menggelap dan via mulai tak sadarkan diri.

Tapi sebelum ia benar-benar memejamkan mata, ia masih sempat melihat cahaya dari arah pintu yang terbuka.

My hero.

____

Via perlahan membuka mata, merasakan usapan lembut di kepalanya.

"Danil?" lirih Via saat melihat Danil duduk di sampingnya.

"Syukur deh, lo gak pa-pa, kata bu Melani lo cuma dehidrasi dan kurang tidur." Danil tampak khawatir. "Emang lo begadangin apaan? Terus kenapa juga lo bisa ada di gudang? Padahal Moza bilang lo ke UKS." Danil memberondong Via dengan berbagai pertanyaan.

"Kamu nanya apa ngintrogasi?" kata Via dengan suara yang teramat pelan, tapi cukup didengar oleh Danil.

"Gue khawatir saat nemuin lo kaya ayam kelaparan di gudang, lemes tak berdaya," gurau Danil dengan kekehan khasnya. Sontak saja Via langsung memukul lengan Danil.

"Dan lo selalu jadi superhero kesiangan," cibir Via dengan tawa yang sedikit dipaksakan karena tubuhnya masih lemah.

"Sorry." Danil mengusap tengkuknya, salah tingkah.

"Viiiaaa ...!" Terdengar teriakan menggelegar dari arah pintu yang terbuka lebar. siapa lagi, sudah bisa kalian tebak. Danil berdecak mengetahui kedatangan Moza.

"Emang ya, udah biasa di hutan jadi kaya orang utan berisik!" celetuk Danil yang enggan menoleh ke arah suara itu.

"Apa lo bilang?" Moza menoyor kepala Danil. Dia sudah berdiri di belakang cowok itu.

"Kepala gue dizakatin mozeeet!" Danil mengusap-usap kepalanya.

"Oh, gue gak peduli kudanil!" cibir Moza, mengalihkan pandangannya pada Via. "Vi, lo hobi banget dah masuk UKS?" Via hanya tersenyum masam.

"Kan lo yang nyuruh gimana si?" hardik Danil, memutar bola matanya.

Moza mencebikkan bibirnya tak minat menanggapi ucapan Danil. Tapi, tiba-tiba saja Via menangis sesenggukan, jelas Danil dan Moza kebingungan.

Lah bocah kesambet apaan!

___

Bel pulang sekolah sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Via berjalan menuju kelas, mengedarkan matanya saat tiba di kelas yang sudah kosong. Anak-anak pasti sudah pulang dari tadi.

"Untung sepi," gumam Via, mengambil tasnya lalu tanpa sengaja netranya melihat paper bag di sampingnya.

Via menghela napas panjang, dia lupa jika harus mengembalikan jaket Alex. Suara dentuman keras mengejutkan Via, refleks ia menoleh ke belakang di mana suara itu berasal. Via yang penasaran memberanikan diri berjalan ke bangku belakang. Matanya membulat saat melihat Alex sedang meringis, mengusap sikunya yang berdarah akibat terjatuh dari bangku.

"Alex!" pekik Via.

Alex mendongak, tatapannya bertemu dengan mata Via. Alex tak bersuara sama sekali. Hanya diam saja menatap Via dengan ekspresi yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.

"Kamu gak papa?" tanya Via.

Alex tak menjawab, mengulurkan tangannya. Via mengrenyit, bingung.

Mungkin minta dibantuin bangun? Pikir Via. Meski ragu Via menyambut uluran tangan Alex, berniat membantu cowok itu bangun.

"Aaaaa!!!" teriak Via.

Via terjatuh ke atas tubuh Alex, karena cowok itu menarik tangannya. Mata Via membulat seperti tahu bulat. Pandangannya beradu dengan sorot mata Alex, hal itu memicu detak jantung Via kembali tak terkendali, berlari-lari seperti dikejar setan.

Sehebat itu pesona seorang Alex.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel