Bullyng
Di sepanjang koridor yang di lewati oleh Alex CS begitu ramai dengan suara-suara para bucin yang menggema. Banyak murid cewek yang histeris dan menjerit-jerit saat Alex CS lewat.
"Kak Alex aku padamu."
"Kak Levin i love you."
"Kak Leon lucu banget ciiiihhh kaya bayi cinga."
"Kak Alex ganteng banget cowok idaman."
"Calon suami masa kini."
"Kak Alex, ke KUA yok!!!" Please mereka ini mau ngapain ke KUA? Balikin peci penghulu?
Banyak cewek yang terus menyerukan namanya, bahkan setiap siswa yang dilewati akan dengan sukarela memberikan jalan pada mereka.
"Permisi."
"Permisi." Via terus mengucapkan kata permisi setiap kali melewati kerumunan yang memenuhi koridor, tangannya sudah pegal sekali karena membawa tumpukan buku yang begitu banyak.
"Aaaaaaaa ...!" Via memekik, merasakan tubuhnya melayang. Kemudian tersadar saat tubuhnya tersungkur dan menimpa seseorang di bawahnya.
Jangan tanyakan nasib buku-buku yang dibawanya, sudah pasti berhamburan di lantai.
Hening!
Semua anak terkejut, mereka melongo melihat kejadian itu. Para cewek menutup mulut tak percaya dengan pemandangan yang ada di depan mata.
Tubuh Via terjatuh di atas tubuh seseorang, bahkan bibirnya tepat menempel di pipi cowok itu.
Via yang menyadari hal itu pun, segera menjauhkan wajahnya dari pipi cowok itu. Mata Via membulat ketika mata mereka saling beradu. Tatapan tajam mata cowok itu membuat Via mati kutu tak bisa berkutik, tiba-tiba ketakutan menyergap.
Alex!
Rasanya seperti de javu. Apakah Via akan pingsan lagi? Via berharap iya, lebih baik Via pingsan saja dari pada harus berhadapan dengan cowok di depannya. Belum lagi tatapan anak-anak yang menatap sinis dirinya.
Via merutuki kecerobohannya, karena terjatuh di atas tubuh Alex! Cowok yang seharusnya Via hindari. Tapi seolah semesta tak mengizinkan, ia justru mengalami kejadian yang hampir sama seperti tadi pagi. Bedanya kali ini Via yang mencium pipi Alex.
"Maaf, " ucap Via, memutus kontak mata lalu mencoba untuk bangkit. Sedangkan Alex hanya diam, menatap Via dengan ekspresi tak terbaca.
Ketika Via mencoba untuk bangun, kakinya justru terpeleset mengakibatkan Via kembali jatuh di atas dada bidang Alex.
Ya Tuhan tolong Via, please. Rasanya Via ingin menangis saat itu juga, seandainya dia punya jurus menghilang seperti Naruto. Mungkin Via akan langsung melenyapkan diri dari situasi menegangkan ini.
Semua anak perempuan histeris melihatnya, seakan tak terima dengan apa yang mereka lihat. Namun tiba-tiba saja tubuh Via dihempas dengan kasar, Via terkesiap, tubuhnya terjungkal ke belakang. Seketika seluruh murid tertawa terbahak-bahak, bukannya menolong mereka malah tertawa puas dengan apa yang Via alami.
"Lo, cari mati ya?!" bentak cewek yang menghempasnya, ternyata dia Monik.
Sementara Alex sudah berdiri. Cowok itu menatap Via datar tanpa sepatah kata apa pun, apalagi berinisiatif membantu.
"Udah Lex gak usah ladenin si cupu, lama-lama dia ngelunjak!" sarkas Monik.
Monik menggandeng lengan Alex lalu pergi, meninggalkan Via yang masih di bawah mengambil buku-buku yang bertebaran. Anak-anak hanya menjadi penonton, sebagian malah menyoraki tak ada yang mau membantu.
Hari ini aku apes banget si!
Tuhan kenapa nasibku seperti ini? Teriak Via dalam hati, merutuki nasibnya yang malang.
"Sini biar gue aja yang bawa," ucap seseorang yang sudah merebut buku-buku dari tangan Via.
"Gak usah, aku bisa bawa sendiri kok," balas Via, menahan buku-bukunya.
"Lo XI IPA 1 kan?" Via mengangguk, entah bagaimana cowok itu bisa tahu. Atau mungkin dia hanya asal menebak saja?
"Kita sekelas, jadi biar gue aja yang bawa." Cowok itu bersikeras untuk membawa buku-bukunya.
Akhirnya Via menurut saja, memberikan buku-buku itu padanya. Lalu mengikuti langkah cowok itu menuju kelas.
Kantin cukup ramai saat jam istirahat, beruntung Via dan kedua temannya kebagian tempat duduk.
"Vi, kok lo bisa bareng sama Levin?" tanya Moza memulai pergibahan, sejak tadi dia sudah memendam rasa ingin tahunya. Moza begitu penasaran, secara Levin temannya Alex dan salah satu most wanted yang punya banyak bucin hampir di setiap kelas.
"Oh, tadi dia bantuin aku bawa buku," jawab Via, sambil mengaduk-ngaduk makanannya.
"Emang ya si onta kurang ajar banget, malah lemparin tanggung jawab ke orang lain," gerutu Moza. Kesal sendiri.
"Gak enak Vi? Kok malah dimainin." Danil sedari tadi memperhatikan Via yang tampak tak berselera makan.
"Ena kok, cuma lagi males makan aja," kata Via.
Moza melirik ke Via, heran saat melihat Via tertunduk menatap lesu makanannya. Moza menyadari perubahan sikap Via yang tidak seperti biasanya.
"Sejak kapan lo makan rendang?" tanya moza. Karena dia tahu betul kalau Via tidak suka daging sapi.
"Hah?" Via mengangkat wajahnya, melemparkan pandangan ke Moza yang sedang menatapnya dengan sebelah alis terangkat. "Ems ... aku lagi pe———" Via tercekat ketka Danil menarik piringnya dan menukarnya dengan semangkok soto milik Danil.
"Lo makan ini aja, gue tahu lo gak suka rendang tapi sok-sok-an ngambil rendang." Via menyengir, membenarkan ucapan Danil.
Mereka kembali melanjutkan makan, sesekali dibarengin dengan tawa karena banyolan garing dari Moza.
"Aku ke toilet dulu ya." Via berdiri, membawa nampan berisi mangkok soto yang tinggal kuahnya dan gelas yang sudah kosong.
Danil dan Moza serempak mengangguk, kemudian Via melangkah ke depan hendak menaruh mangkuknya ke tempat piring kotor.
Baru beberapa langkah tiba-tiba Via terpelanting jatuh ke atas lantai, seseorang sengaja menjegal kakinya. Kuah soto di mangkok seketika berpindah tempat menyiram tubuh Via, membuat seragamnya kotor penuh bercak warna kuning.
Via ingin sekali menangis, bahkan matanya sudah berkaca-kaca. Tapi bukannya mereka iba, malah semakin kencang menertawakan. Mereka juga denngan jahatnya mengambil beberapa foto Via dalam keadaan memalukan.
Via memang sudah terbiasa tidak dianggap, bahkan dia juga sering diremehkan oleh anak-anak yang lain, tapi bukankah perbuatan mereka kali ini sudah keterlaluan. Mereka pikir Via tidak punya perasaan? Apa mereka pikir bisa seenaknya memperlakukan yang lemah seperti ini? Via merutuki dirinya yang selalu tak berdaya saat orang-orang membulinya.
Beruntung Moza dan Danil cepat membantu, mereka segera membawa Via pergi dari tempat laknat itu.
Tanpa mereka sadari, di meja paling belakang ada tiga orang cowok yang sedang menonton dan cewek yang tadi menjegal kaki Via sudah berpindah tempat duduk di samping mereka. Menyunggingkan senyum kemenangan, puas mempermalukan Via di depan seluruh murid.
——•••——
"Lex." Monik menahan lengan Alex, ketika cowok itu beranjak berdiri hendak pergi.
"Apa?" Alex menoleh, ekspresinya begitu dingin dengan tatapan menusuk.
"Kamu kenapa si? Jadi aneh gini ... jangan bilang karena si cu——"
"Lo bisa diem gak?!" bentak Alex.
Seketika bibir Monik terkatup rapat, matanya mengerjap persekian detik. Monik tak menyangka jika Alex akan membentaknya, menyadari tatapan tajam Alex tertuju padanya. Monik segera menundukkan kepala, meremas jemari tangannya, gugup.
"Gue gak peduli lo mau buli siapa pun, tapi gue gak suka sama cara licik lo, kampungan!" Setelah itu Alex memilih pergi, membiarkan Monik mematung di tempat. Bahkan bulir air mata itu mulai jatuh membasahi pipinya.
"Lo kapan berubah si Mon?" celetuk Levin. Tanpa menunggu reaksi Monika, Levin beranjak berdiri dari duduknya, menyusul Alex.
Leon juga ikut bangkit, ia berdecak sambil geleng-geleng kepala melihat Monik. "Cara lo norak, kaya sinetron azab!" bisik Leon, menepuk bahu Monik dan ikutan pergi melewatinya.
"Ngeselin!" Monik menghentakkan kakinya, melirik kepergian mereka bertiga. "Lihat aja lo cupu! Gue pastiin lo gak bakal tenang sekolah di sini!" Monik mengepalkan kedua tangan, emosinya sudah meluap-luap.
Sementara di sisi lain, Moza membawa Via ke toilet. Via terus menangis sejak tadi, menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Via merasa sangat malu dengan kejadian di kantin, rasanya Via ingin menghilang dan enggan memunculkan wajahnya di depan mereka semua.
"Udah dong Vi, nangisnya," bujuk Moza, tapi bukannya berhenti Via malah semakin kencang menangis. "Emang ya tuh mak lampir kelakuannya kaya setan grandong." Moza geram mengingat bagaimana Monik dengan sengaja menjegal kaki Via sampai terjatuh.
"Udahlah Mo, mungkin emang udah nasib aku ditindas mulu." Via menggosok seragamnya yang terkena kuah soto di bawah air mengalir.
"Ya tapi kan tetep aja, dia itu keterlaluan! Gue musti laporin ke guru BK." Moza sudah akan melangkah keluar, namun Via langsung menahannya.
Via menggelengkan kepalanya. "Aku gak papa kok, gak usah diperpanjang ya."
"Tapi Vi——"
"Mo, kalau pun dilaporin ke guru BK ... gak ngejamin Monik berhenti gangguin aku, yang ada dia malah makin dendam."
Moza hanya mendengkus. Apa boleh buat, Via memang tidak suka memperpanjang masalah. Dia terlalu baik makanya selalu menjadi target buli, karena para pembulinya tidak pernah mendapat hukuman maupun teguran. Tak heran jika mereka semakin merajalela dan nekad seperti Monik contohnya.
"Bagus lo nyadar," celetuk salah satu cewek yang baru saja masuk bersama dengan gerombolannya.
Via menoleh, matanya melotot ketika melihat Monik dengan teman-temannya melangkah ke arahnya.
"Mau apa lo?" bentak Moza, langsung pasang badan di depan Via yang ketakutan. "Tenang Vi, ada gue." Moza berbisik, menenangkan. Via mengangguk, merapatkan diri di belakang punggung Moza.
"Gak usah ikut campur lo!!" hardik Monik, lalu mengedikkan dagunya, menginteruksi anak buahnya supaya memegangi tangan Moza.
"Lepas!!" teriak Moza. Berusaha memberontak, tapi tiga cewek itu mencengkram tangannya begitu erat ——mengunci pergerakan Moza. "Mau apa lo? gak puas lo ganggu----mmmhhp!" Anak buah monik menyumpal mulut Moza dengan tisu toilet.
"Lo!" Tunjuk Monik tepat di depan wajah Via yang gemetaran, refleks Via melangkah mundur ketika Monik terus maju, menepis jarak di antara keduanya. "Harus gue kasih pelajaran!"
"Apa salah ak——"
Via tercengang, memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan Monik. Moza yang melihat itu jelas tak terima, dia semakin berontak berusaha melepaskan diri. Tapi Moza tak bisa berbuat apa-apa, tiga orang cewek menahan tubuhnya sekaligus. Tidak seimbang dengan tenaganya.
"Salah lo ... lo mau tahu? Hah!" Monik mencengkram rahang Via, menekan kedua pipi Via sampai dia meringis kesakitan.
"Karena lo, dicium Alex!" teriak Monik.
"Tapi bu——"
Lagi, tangan Monik melayang ke pipi Via. Meninggalkan jejak kemerahan di pipinya yang sudah basah berlinang air mata.
"Diem!!" Suara lantang Monik membuat Via bergidik. "Lo tuh gak pantes buat Alex! Muka buluk kaya lo pantesnya dimusnahin," sarkas Monik, menyeret Via ke wastafel lalu menceburkannya ke genangan air di wastafel.
Via megap-megap, tak bisa bernapas. Dia juga berkali-kali tersedak ketika banyak air yang masuk lewat hidung dan mulutnya. Tapi Monik sama sekali tak peduli, ia terus menekan kepala Via agar tidak bisa bergerak.
"Aku——" Via berusaha melepaskan diri, dia tidak tahan lagi menerima perlakuan Monik.
"Diem cupu!!" teriak Monik. Dia menjambak rambut Via sampai kepalanya tertarik. Monik sudah akan melayangkan tangannya, namun tiba-tiba seseorang mencekal pergelangan tangannya.
"Lo ...!" geram, lantas Monik menoleh. Betapa terkejutnya Monik saat melihat siapa yang memegang pergelangan tangannya. Mata Monik terkunci oleh sorot mata tajam yang membuat dirinya tak bisa berkutik.
