Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Why?

Via berjalan memasuki gerbang sekolah, Hari ini penampilannya sedikit berbeda dari biasanya. Via tidak memakai kacamatanya, karena kacamatanya yang rusak. Rambutnya sengaja digerai, ditambah bandana pink yang Via pakai.

Via sebenarnya tidak percaya diri dengan penampilannya kali ini. Tapi bunda yang mendadaninya seperti ini, kata bunda rambut Via harus digerai jangan dikepang terus. Apalagi rambut Via basah, nanti jadi bau kalau dikepang. Bunda juga yang memakaikan bandana pink, Via hanya bisa pasrah mengikuti kemauan bundanya.

Sepanjang jalan, tatapan semua anak terus tertuju padanya. Namun kali ini bukan tatapan mencemooh atau pun pandangan sinis, lebih terlihat seperti heran melihat penampilan Via yang berbeda.

Via menundukkan kepala, menghindari tatapan setiap pasang mata yang dilewatinya. Hal itu pula yang membuat Via tidak memperhatikan jalan di depannya, tanpa sengaja Via menabrak seseorang.

"Maaf," ucap Via, memegangi keningnya.

"Kalau jalan lihat ke depan, bukan ke bawah. Gak ada duit jatuh di bawah," celetuk cowok yang Via tabrak.

Via mendongak, tertegun saat melihat cowok yang ditabraknya. Sepertinya Via pernah bertemu dengannya, tapi di mana? Via terus memperhatikan wajah cowok itu yang begitu familiar. Via ingat, cowok itu kan cowok yang dia temui di kelas Danil kemarin.

Astaga!

Mata Via mengerjap, namun tubuhnya tak merespon perintah otaknya.

"Kenapa? Gue ganteng ya?" ucap cowok itu, menyunggingkan senyumnya.

Via mengumpulkan seluruh tenaganya, memaksa kakinya untuk melangkah mundur, memberi jarak di antara keduanya.

"Maaf." Via membungkuk, lalu berlari begitu saja. Bahkan Via tidak peduli bagaimana respon cowok itu.

Cowok itu melongo sesaat, lalu menoleh ke arah Via. Mendengus geli ketika melihat Via lari kocar-kacir. "Cewek aneh, tapi lucu."

"Lo kenapa Vid?" Seseorang menepuk bahunya, refleks dia menoleh.

"Gak papa," jawabnya.

"Oh, kelas yok." Ajak temannya.

Belum sempat menjawab, suara lain lebih dulu menginterupsi keduanya.

"David."

David berbalik, mengernyit saat melihat Monika berlari ke arahnya. "Kenapa?" tanya David

"Temenin gue ke kantin, laper. Belum sarapan." Kata Monika, mengedip-ngedipkan matanya di depan David.

"Tapi gue-----"

"please," rengek Monik.

"Lo temenin aja dia, gue kelas duluan."

David menoleh ke temannya. "Lo gak papa Ren."

Rendi mengacungkan jempolnya, lalu melangkah pergi.

"Ayo." Monik menarik-narik lengan David, mau tidak mau David menurut mengikuti Monik ke kantin.

Sementara Via sudah tiba di kelas, ia terlihat begitu pasrah saat dirinya menjadi pusat perhatian seluruh anak-anak yang ada di dalam kelas. Bukan hanya itu, mereka juga saling berbisik membicarakan Via di belakang.

Apa aneh ya kalau aku bernampilan seperti ini? Via bertanya pada diri sendiri. Entah kenapa, Via justru merasa kalau dia tidak pantas berpenampilan seperti anak-anak yang lain. Mungkin memang seharusnya Via tidak menuruti kemauan bunda, harusnya Via tetap berpenampilan seperti biasanya.

Via berusaha fokus pada buku pelajara, tak menghiraukan selentingan yang santer terdengar. Namun bisik-bisikan itu terus mengusik Via, ditambah tidak ada Moza yang biasanya membela dan menenangkan Via. Sekuat tenaga Via menulikan pendengarannya, menyugesti diri agar tetap tenang.

"Hai."

Suara seseorang mengalihkan atensi Via, dia tersenyum saat melihat ternyata orang itu Levin yang sudah berdiri di samping mejanya.

"Bandananya cantik," kata Levin.

Via tersenyum cangung, pipinya bersemu. Padahal yang dipuji bandananya bukan Via.

"Gue seneng lihat penampilan lo yang sekarang," lanjut Levin.

"Makasih." Via menunduk, tak berani menatap Levin.

Seseorang berdehem, mengurungkan Levin yang sudah membuka mulut untuk kembali bersuara. Levin dan Via sontak menoleh ke asal suara, di mana Alex berjalan mendekat.

"Ikut gue," ucap Alex saat tiba di samping Levin.

"Kemana?" tanya Levin.

"Bukan lo, tapi dia." Alex mengedikkan dagunya ke Via.

"Aku?" beo Via.

Alex mengangguk, lalu berjalan keluar kelas. Via masih terdiam, ragu untuk mengikuti Alex.

"Mending lo ikutin dia." Suara Levin membuyarkan pikiran Via.

"Tapi-----"

"Tenang aja, Alex gak bakal apa-apain lo kok."

Via akhirnya beranjak dari duduknya, menyusul Alex keluar dari kelas. Namun saat di ambang pintu Via berhenti, menoleh ke Levin yang masih berdiri di tempatnya. Cowok itu tersenyum, mengibaskan tangannya. Via mengangguk, tersenyum tipis lalu keluar.

Via berjalan gugup di belakang Alex, menudukkan kepalanya. Sepanjang koridor, keduanya menjadi pusat perhatian. Via terus mengikuti langkah Alex sampai tiba di belakang sekolah. Tiba-tiba Alex berbalik, tentu saja membuat Via menabrak dada Alex.

"Awww!" Via memekik, mengusap keningnya. Dia mengerjap saat menyadari dada bidang di depan mata, refleks Via bergerak mundur, mengangkat wajahnya untuk melihat ekspreSI Alex.

"Ma-maaf," ucap Via, kembali menunduk saat melihat ekspresi datar Alex.

Via terus bergerak mundur, dengan cepat Alex menahan tangannya. Spontan Via berhenti, terkesiap oleh tindakan Alex.

"A-ada apa?" tanya Via, gelagapan.

Alex tak menjawab, dia mengambil bandana yang Via pakai. Kemudian menggantinya dengan jepit rambut berbentuk bunga matahari. Alex menjepit poni Via ke samping. Alex menyunggingkan senyumnya.

"Hadiah buat lo karena udah nolongin gue kemarin," kata Alex.

Hadiah?

Via mendongak, matanya beradu dengan tatapan mata Alex. Via tertegun saat melihat senyum yang masih terpatri di wajah tampan Alex. Tubuh Via menegang, seolah sorot mata Alex mengalirkan sengatan listrik. Merambat cepat ke sekujur tubuh, mengakibatkan gejolak di dalam dada serta memicu jantung Via berdetak cepat.

Alex meraih tangan Via, memberikan bandananya. "Pulang sekolah gue tunggu di parkiran." Setelah itu Alex berjalan pergi, meninggalkan Via yang masih terdiam di tempat.

Why?

Satu pertanyaan yang muncul di benak Via. Kenapa Alex bisa berubah secepat itu? Padahal mereka sebelumnya tidak pernah saling bertegur sapa, bahkan Via hanya sebatas mengenal nama dan sekarang seorang Alex memberikan hadiah padanya? Rasanya seperti mimpi.

Apa mungkin Via sedang halusinasi?

____

Bel pulang sekolah berbunyi, Via belum beranjak dari bangkunya. Dia melirik ke belakang, melihat ke arah Alex. Tapi kenapa Alex terlihat biasa saja, cowok itu bahkan melewati meja Via begitu saja tanpa mengatakan apapun.

Lalu soal ucapannya tadi? Apa Alex lupa? Atau malah dirinya yang salah dengar? Via bingung, haruskah dia benar-benar ke parkiran atau pulang saja? Suara dering ponsel mengalihkan perhatian Via.

"Halo." Via mengangkat panggilan telepon dari Danil.

"Gue ditawan abang lo ... lo bisa pulang sendiri kan?" Via menghela napas panjang saat mendnegar penuturan Danil di telepon. Itu artinya Via harus pulang sendiri lagi.

"Via sayang, adik abang yang paling cantik. Hari ini naik busway aja ya, tukang ojeknya abang tahan dulu." Terdengar suara abangnya.

"Hm." Via menutup sambungan telepon, mengembuskan napas kasar.

Via beranjak dari tempat duduk setelah memasukkan ponselnya ke saku roknya. Kelas sudah sepi, hanya tinggal dia sendiri. Saat Via akan keluar, tiba-tiba saja Monik muncul di depan pintu bersama dengan gerombolannya.

"Monik!" Mata Via membulat, alarm dalam tubuhnya berbunyi memperingati Via agar waspada. Bisa saja Monik akan membulinya lagi.

"Kenapa? Lo kaget lihat gue?" Monik tersenyum miring, berjalan maju. "Takut eh." Monik terkekeh menyebalkan saat melihat Via bergerak mundur.

"Kamu mau apa?" cicit Via, mencengkram erat tali tasnya.

"Mau apa? Mau apa ya?" Monik menghimpit Via ke dinding. Sementara dua temannya sudah berjaga di depan pintu.

"Gue heran, apa si yang dilihat cowok-cowok dari lo?" sarkas Monik.

Via semakin merapatkan diri ke dinding, menghalau air mata agar tidak keluar saat Monik mencengkram erat kedua pipinya dengan kasar. Via rasanya ingin menangis, tak kuasa menahan perih ketika kuku Monik menancap di pipinya. Via memang lemah, cenegeng, mana berani dia melawan Monik. Via hanya bisa pasrah menerima perlakuan kasar Monik.

Via meringis, kepalanya terhempas ke samping. Monik menamparnya berkali-kali. Menyumpah serapah Via, memaki Via habis-habisan. Monik melampiaskan sakit hatinya ke Via, tak peduli dengan tangisan dan rengekan Via yang terus memohon ampun.

"Ampun Monik."

"Apa yang lo kasih ke mereka hah?" Monik benar-benar gelap mata, bahkan dia sampai membuat Via babak belur. "Muka lo jelek! apa lo kasih ...." Monik menggantungkan ucapannya, melirik ke dada Via.

Via memberontak saat Monik berusaha melepas kancing seragamnya. "Jangan, Monik. Kumohon."

Tapi Monik tak menggubris. Dia malah menarik paksa seragam Via, hingga semua kancingnya terlepas dan memaksa Via melepasnya. Monik tertawa, mengambil ponselnya lalu memfoto Via yang meringkuk memeluk tubuhnya yang hanya memakai kaus tanpa lengan.

"Punya lo aja teposs, gak ada istimewanya," cibir Monik, tanpa perasaan dia lanjut menggunting seragam Via sampai tak bisa dipakai lagi, lalu melemparkannya ke muka Via.

"Mampus! Emang enak!" seru teman-teman Monik, menertawakan Via. "Makanya jangan sok kecentilan jadi cewek!" Lalu mereka semua pergi meninggalkan Via sendirian.

Via meratapi seragamnya yang compang-camping. Dia menangis, bingung memikirkan nasibnya karena Via tidak membawa jaket. Via tidak mungkin memaksakan diri keluar dengan keadaan seperti ini. Terus bagaimana caranya pulang? Via mengambil ponselnya, berniat menghubungi Danil. Tapi ternyata ponsel Via sudah mati karena lowbat. Via mengembuskan napas pasrah, tak tahu lagi harus bagaimana.

Via meringkuk, menenggelamkan wajahnya di lutut. Jalan satu-satunya Dia hanya bisa menunggu sampai sekolah benar-benar sepi, lalu Via akan pulang naik taksi. Via kembali menangis, meratapi nasibnya yang menyedihkan.

"Gue tungguin lo di parkiran, lo malah nangis di sini." Suara bass menyentak Via, spontan Via mengangkat wajahnya. Mata Via melotot melihat siapa yang berdiri di depannya.

"Alex," pekik Via.

Alex melepas jaketnya, memakaikannya ke Via. Hal itu tentu membuat Via terkesiap. Alex juga menempelkan plester di pipi Via yang berdarah akibat cakaran Monik.

"Muka lo jelek kalau nangis." Alex terkekeh, mengusap pipi Via.

Via menundukkan kepalanya. Namun Alex menarik dagu Via, membuat wajah mereka saling bersitatap. "Tapi lo manis kalau senyum."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel