Peringatan
Via mengerjapkan mata, mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan serba putih. Tercium bau obat yang begitu menyengat, membuatnya merasa mual seketika.
"Baunya gak enak banget." Via menutupi hidungnya dengan kedua tangan. Kepalanya masih terasa pusing, sampai tak menyadari kedatangan seseorang yang sudah berada di dalam UKS.
"Lo udah siuman? Syukur deh." Danil meletakkan nampan berisi bubur dan teh hangat di atas nakas.
"Daniel?" Via menoleh, sedikit terkejut mendapati Danil sudah duduk di sampingnya. "Kok aku ada di sini?" tanyanya, masih nampak bingung.
"Lo tadi ping——" Belum sempat melanjutkan ucapannya, tiba-tiba saja pintu terbuka lebar menimbulkan suara dentuman keras.
Seseorang masuk tanpa permisi, berteriak menyerukan nama Via. "Viaaa!!" Cewek berambut sebahu langsung menghambur memeluk Via.
"Dasar si cempreng!" decak Danil, memutar bola matanya. Kemudian beralih tempat duduk ke kursi samping brankar.
"Apaan si Lo, Kudanil?!" Cewek itu memberikan tatapan menusuk pada Danil. Setelah itu kembali fokus pada Via. "Gimana Vi, rasanya? Cerita dong."
Cewek itu terlihat sangat antusias, bahkan tangannya tanpa sadar mencengkram erat lengan Via.
"Moza sakit!" pekik Via, mengusap-ngusap lengannya yang terasa sedikit perih akibat cengkraman tangan Moza yang gemas. "Kamu kenapa si seantusias ini? Bukannya khawatir aku pingsan, ini malah nanyain pertanyaan ambigu." Via mengerucutkan bibirnya.
"Maaf." Moza menyengir sambil mengusap tengkuknya. "Terus ... gimana rasanya?" tanya Moza sekali lagi. Dia masih penasaran, bagaimana rasanya dicium Alex, cowok paling popular di sekolah.
"Gimana apanya? Rasa apaan coba? orang buburnya aja belum dicicipin. Tuh, masih di meja." Mata Via menunjuk ke arah meja.
Moza berdecak, tak habis pikir dengan keluguan Via yang sudah mendarah daging. "Kok bubur si. Lo polos apa bloon si, pingsan lo gak bikin amnesia, 'kan?" Moza mulai kesal.
Sedangkan Via hanya menggelengkan kepalanya masih belum mengerti dengan maksud ucapan Moza.
"Rasanya dicium Alex? Bibirnya manis gak? atau ada sensasi mint-nya gitu?" Moza masih menunggu respon Via. Tapi gadis itu justru melamun, pikirannya melayang mengingat kejadian memalukan tadi pagi.
Alex sang most wanted SMA Dwidarma sekaligus cucu dari pemilik yayasan. Tampangnya tak perlu diragukan, Alex memiliki visual nyaris sempurna dengan hidung mancung, bibir tipis dan alis yang sedikit lebat dan rapi. Rahangnya yang tegas dan pipi tirus, merupakan kombinasi yang sempurna. Rambutnya yang agak gondrong dan sedikit acak-acakan menambah kadar kegantengan Alex, tak heran jika hampir seluruh murid perempuan di Dwidarma menyukainya. Walaupun sikapnya dingin, tampangnya judes dan galak, tapi tetap saja pesona Alex mampu melehkan hati para gadis.
Seperti sekarang bahkan hanya dengan berjalan santai, bisa membuat para gadis yang dilewatinya menjerit histeris mengelukan namanya.
"Alex."
"Kak Alex!"
"Salanghae."
Tunggu!! Tapi kenapa Alex berjalan ke arah Via, mata gadis itu celingukan ke kanan dan kiri. Tapi tak ada siapa pun bahkan orang-orang yang tadi di belakangnya sudah tidak ada, tinggal Via seorang.
Tanpa sadar ternyata Alex sudah berdiri di depan Via. Walaupun sudah mengerjapkan mata berulang kali hasilnya tetap sama, itu memang Alex yang berada di hadapan Via saat ini dan semua ini bukan mimpi tapi nyata!
Benar-benar nyata!
Oh Tuhan, demi apa pun tolong tenggelamkan aku saat ini juga, please. Jerit Via dalam hati, berharap semuanya hanya mimpi.
Suasana mulai hening dan Alex?
Via tidak tahu ekspresi apa yang cowok itu tunjukkan, bahkan Via tak tahu Alex sedang marah atau kesal karena kalah bertanding. Tatapannya datar tapi sorot matanya begitu tajam, bahkan mampu menembus hati terdalam Via.
Yaelah gak tahu sikon banget, si! Rutuk Via pada dirinya sendiri.
Alex mulai menarik dagu Via dan menempelkan bibirnya. Setelah itu ... yang Via ingat cowok itu pergi begitu saja.
"Aaaa ... gak mungkin! Gak mungkin!!" Via menjerit, menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha menepis ingatannya.
Sontak saja Danil dan Moza terkejut mendengar teriakan Via. Danil yang sedari tadi hanya sibuk mendengarkan musik, seketika menghambur memeluk Via. Danil menahan pergerakan tangan Via, karena dia terus memukul-mukul kepalanya.
"Ssstttt ... udah Vi, jangan nangis ada gue di sini." Danil mmengusap lembut kepala Via, mencoba menenangkannya.
Moza yang merasa bersalah pun hanya diam, terlebih saat Danil melemparkan tatapan tajam padanya. Yah, Danil memang tidak suka jika melihat Via menangis dan orang yang membuat Via menangis akan berhadapan langsung dengannya.
Suara gebrakan pintu menginterupsi ketiganya, mengalihkan atensi mereka pada seseorang yang baru saja menggebrak pintu UKS, berjalan dengan angkuhnya mendekat ke arah brankar. Cewek berambut pirang bertepuk tangan, lalu berhenti di samping brankar. Matanya menjurus tajam ke arah Via.
"Wow, setelah membuat satu sekolah gempar. Lo malah enak-enakan pelukan di sini!" Cewek itu tersenyum sinis.
Danil melepaskan pelukannya, menatap cewek itu dengan tajam. Begitupun Moza yang sudah berbalik menatap cewek di depannya, tak kalah sebal dengan sikap arogan cewek itu.
"Gak usah ke-geer-an Lo!!" Tunjuk cewek itu ke depan wajah Via. "Walaupun Alex nyium Lo, bukan berarti Lo punya harapan sama dia jadian. Gak usah halu!!" bentak cewek itu membuat Via bergidik ngeri.
"Tapi aku——"
"Ini peringatan buat Lo!! jangan munculin muka Lo yang gak enak dilihat itu di depan Alex. NGERTI!!" sergah cewek itu, kemudian melangkah pergi meninggalkan ruang UKS.
"Dasar mak lampir!" umpat Moza setelah cewek itu pergi.
"Ngomong pas ada orangnya, bukannya udah pergi baru ngomong Mozeeet," celetuk Danil.
"Apaan si, Lo? Sirik aja Kudanil!" sahut Moza, sebal.
Sedangkan Danil hanya mencebikkan bibirnya, tak ingin memperpanjang perdebatan. Moza dan Danil memang sudah seperti Tom and Jerry, tidak bisa akur. Beruntung ada Via yang selalu jadi penengah di antara mereka berdua.
"Lo gak perlu dengerin omongan orang gila tadi," kata Danil, menggenggam erat jemari Via. Via tampak pucat, bahkan tangannya sampai gemetaran.
"Iya, Vi. Monik emang rese bocahnya!" timpal Moza, duduk di tepi brankar.
Sedangkan Via hanya bisa menangis, meratapi nasibnya. Mungkin sebentar lagi hidupnya akan berubah setelah kejadian ini. Mengingat kini Via berurusan dengan Monik, cewek cantik yang terkenal suka membuli.
*****
Via menghabiskan waktu jam pertama sampai jam ketiga di UKS.
Setelah merasa lebih baik dia bergegas menuju kelasnya.
Disepanjang koridor semua anak menatapnya dengan sinis, pandangan meremehkan bahkan banyak anak yang mulai menggunjingkannya. Ini pasti karena kejadian tadi pagi?
Tidak heran, mengingat bucin garis keras paling tidak suka jika ada cewek yang dekat dengan Alex selain monik dan tadi pagi Via justru dicium Alex, bukankah itu tindakan cari mati? Via terus menundukkan kepalanya. Berjalan dengan tergesa menuju kelas.
"Woy, cupu!" teriak seseorang ketika melihat Via berjalan melewati perpustakaan.
Via menghentikan langkahnya, menoleh ke kanan kiri mencari orang yang memanggilnya, tapi tidak menemukan siapa-siapa, di sana hanya ada dirinya.
Cowok itu tampak berdecak melihat Via celingukan seperti bocah kebingungan. "Lo bego, sini!" teriak cowok yang berdiri di depan pintu perpustakaan. Dia melambaikan tangannya menginteruksi Via agar mendekat.
"Aku?" Via menunjuk dirinya sendiri.
"Iyalah lo, siapa lagi!" bentak cowok itu dengan kesal.
Ahh iya! Kan yang namanya cupu cuman aku, kenapa aku pura-pura tidak tahu. Via merutuki diri sendiri.
"Nih, bawa ke kelas. Lo kan tadi gak ikut pelajaran, jadi semua tugas ini harus lo kerjain!" Cowok itu menunjuk tumpukan buku di atas meja.
Via terdiam menatap tumpukan buku yang begitu banyak. Dirinya tak yakin mampu membawa buku-buku itu sendiri.
"Woy!" Cowok itu mengibaskan tangannya di depan wajah Via. "Kok lo ngelamun si?" bentak cowok itu yang ternyata Dimas, ketua kelasnya yang baru.
"Eh ...!" Via tersentak dari lamunannya, entahlah dia masih merasa pusing dan kurang fokus. Sepertinya Via butuh aqua. "Tapi ...." Via tampak ragu untuk menyanggupinya.
"Ssssstt!" Dimas menekan bibir Via dengan telunjuknya, membuat Via kembali tertegun. Matanya menatap Dimas yang berada di depannya dengan jarak yang cukup dekat. "Gak ada tapi-tapian, cepetan lo bawa!" ucap Dimas, setelah itu dia pergi begitu saja.
Via menghela napas panjang. "Selalu saja begini," gumamnya pelan. Ini bukan kali pertama Via disuruh-suruh. Anak-anak memang suka membebaninya dengan berbagai tugas atau pekerjaan yang seharusnya buka Via yang mengerjakan dan sialnya Via tidak pernah bisa menolak.
Mau tidak mau Via harus membawa buku-buku itu sendirian. Meski kesusahan, dia tetap berjalan dengan hati-hati karena tumpukan buku itu menutupi pandangannya. Tapi saat Via akan berjalan keluar, tanpa sengaja Via justru menabrak seseorang, membuat tubuhnya oleng dan beberapa buku jatuh ke bawah.
"Yah!" Via menghela napas kasar saat melihat buku-bukunya tergeletak di lantai.
Orang di depannya segera membantu mengambilkan buku-buku yang jatuh dan meletakkannya di tumpukan paling atas.
"Makasih," ucap Via. Bersyukur karena cowok itu membantunya, karena Via sendiri tidak bisa mengambilnya.
Orang itu tidak merespon dan bergegas pergi tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun. Bahkan Via tak sempat melihat wajah orang itu, karena tumpukan buku yang membatasi pandangannya.
"Siapa ya?" gumam Via. Bersusah payah melirik punggung cowok itu yang mulai menjauh. "Auk ah!" Via mengedikkan bahunya, tidak ingin tahu. Kemudian kembali berjalan menuju kelasnya.
Cowok itu berbalik, menatap punggung Via, sudut bibirnya terangkat ke atas. "Akhirnya gue nemuin lo. My star."
