3. Kilas Balik (2)
Kilas Balik
Terdengar suara tangisan bayi yang menggema di ruangan bersalin Rumah Sakit Bunda Mulia.
Asih dan Marwan berhasil bernapas lega dengan kelahiran cucu pertama mereka yang terlahir dari rahim anak semata wayangnya.
Resti terbujur lemas dengan sisa tenaganya setelah melahirkan bayi perempuan yang sempat ingin ia gugurkan.
Bayi berkulit putih dengan hidung yang mancung itu mulai tenang saat Suster sudah memandikannya dan membungkusnya dengan kain.
"Dok," panggil Resti dengan napas terengah.
"Iya?"
"Tolong, jahit serapi mungkin. Agar suami saya tidak tau. Agar tidak terlihat kalau saya pernah melahirkan."
Dokter wanita itu sempat bungkam sejenak sebelum menganggukan kepalanya.
Asih menggelengkan kepalanya mendengar ucapan Resti yang masih saja keras kepala.
"Pokoknya tugasku udah selesai. Selanjutnya kalian berdua yang urus anak ini!" kata Resti lagi.
"Iya. Ibuk Janji, ibu dan bapak bakal jaga anak kamu sebaik mungkin,"
"Kasih dia nama Belakang Sanjaya.."
Marwan menganggukan kepalanya.
"Terimakasih, nduk. Kamu sudah mau mengandung dan melahirkan anak ini."
"Kalau saja, untung selama tujuh bulan terakhir mas David nggak terlalu memperhatikan perutku apalagi badanku yang menggemuk. Dan untung saja dua bulan ini dia pergi keluar negri untuk proyek perusahaannya di sana. Kalau saja tidak seperti itu, aku pasti akan menggugurkan anak ini."
Dokter wanita itu menggelengkan kepalanya setelah selesai menjahit bagian bawah Resti dengan sangat rapih.
"Ini bayinya buk, perempuan dan sangat cantik.." kata seorang suster yang menggendong bayi kecil itu untuk ia berikan ke arah Resti.
"Saya nggak mau gendong! Jangan kasih ke saya!"
Suster itu kebingungan sendiri mendengarkan jawaban dari Resti. Biasanya, setelah melahirkan seorang ibu akan menggendong bayinya. Namun, kali ini berbeda. Respon Resti sangat ketara kalau dia tidak menginginkan bayinya.
"Ehm.. biar saya yang gendong cucu saya, Sus."
Suster itupun memberikan bayi Resti ke pada Asih. Asih kemudian menggendong cucunya dengan senyum yang menghiasi wajahnya.
"Resti. Anak kamu cantik sekali. Kulitnya putih, hidungnya mancung dengan bibir yang melengkung.."
"Boleh bapak yang kasih nama dia?" tanya Marwan ke arah Resti.
Resti acuh, tak mempedulikan ucapan bapaknya kemudian mengibaskan telapak tangannya ke udara.
Marwan menghela napasnya. Berusaha rendah hati dengan penuh kesabaran menghadapi Resti.
"Setelah ini. Aku nggak mau ketemu anak itu selamanya. Aku nggak mau anak itu merusak kebahagian ku nanti. Aku mau bapak sama ibuk yang urus dia. Jangan sampai mas David tau. Dan aku nggak akan pergi ke rumah Bapak lagi selamanya. Kalau penting, kalian bisa ketemuan di luar sama aku. Intinya aku nggak mau lihat anak itu!"
Asih menggelengkan kepalanya lagi. Benar benar pusing dengan pemikiran anaknya sendiri. Benar benar kecewa dengan kelakuan Resti.
"Kenapa harus begitu? Gimana kalau dia tanya siapa orang tuanya yang sebenernya?"
"Jangan kasih tau, gampang kan?"
"Tapi, akan ada saatnya dia ingin tau lebih dari apapun.."
"Jujur aja.. kalau memang orang tuanya nggak menginginkan dia di dunia ini."
"Hus! Jaga ucapan kamu! Jangan sembarangan ngomong!"
"Kenapa sih, bu? Lagian aku bener kan? Dari pada kalian berbohong mencari alasan yang nggak bener. Mending kalian jujur.."
"Keterlaluan kamu. Kamu sama sekali nggak punya hati!"
"Anggap aja begitu. Karena aku lebih memberatkan suamiku dari pada anakku sendiri yang sama sekali nggak kami inginkan!"
Marwan menggelengkan kepalanya. Asih pun sama. Menatap ke arah Resti yang terlihat santai dengan jawabannya. Mereka berdua pun segera pergi dari ruangan itu dan membawa bayi Resti pergi.
