4. Wasiat Kakek
Surat Wasiat Kakek yang pertama.
"Nduk, di dunia ini nggak ada yang abadi. Orang yang hidup pasti mati. Kita nggak tau kapan Tuhan panggil kita. Kita nggak tau waktunya kita mati. Dan saat Kakek udah pergi, kakek udah mempersiapkan semuanya supaya kamu nggak hidup susah. Maaf kalau selama ini banyak rahasia yang kakek sembunyiin dari kamu.
Maaf karena selama ini kamu hidup terlalu sederhana sama kakek. Sebenarnya, kakek hanya ingin mempersiapkan masa depan kamu sejak dulu.
Nduk, kamu tau? Kakek sayang sama kamu, kamu adalah cucu satu-satunya yang kakek sayang. Kakek nggak mau pergi secepat ini tapi kakek harus. Kakek udah tua. Sebenarnya, kalau bisa kakek mau hidup seratus tahun lagi supaya bisa lihat kamu dan anak cucumu bahagia. Tapi, nggak bisa nduk. Namanya juga takdir. Sekarang giliran kamu hidup sendiri di dunia ini.
Maaf untuk semua rahasia yang kakek sembunyiin dari kamu. Tentang siapa kamu sebenarnya. Apa maksut orang tua kamu. Dan siapa mereka. Maaf, kakek nggak pernah cerita soal itu. Itu terlalu menyakiti hati kamu, nduk. Kakek nggak mau kamu sakit hati dan sedih. Kakek pernah bilang kan, kamu adalah bintang yang selalu bersinar. Yang bersinar untuk kehidupan kakek.
Di usia tua kakek ini. Kakek sudah mempertimbangkan bagaimana nanti kalau kamu hidup sendiri. Bagaimana nanti saat Kakek pergi ninggalin kamu selamanya.
Nduk, tidak banyak tapi kakek punya sedikit tabungan yang sengaja kakek sisihkan untuk masa depan kamu.
Kakek bisa pastikan semua aset itu bisa kamu pakai lima tahun kedepan untuk hidup sendiri. Sekaligus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Sebelum kamu bisa kerja sendiri, kakek masih bertanggung jawab atas kamu. Kakek sudah berusaha agar kamu hidup cukup, dan nggak susah lagi.
Maaf kakek ninggalin kamu saat kamu masih sangat muda. Kamu masih anak SMA. Tapi, ini adalah saat yang tepat.
Maaf kalau selama ini Kakek nggak bener jagain kamu. Maaf kalau selama kakek ndidik kamu banyak salahnya. Dan selama Kakek jadi ayah kamu banyak kurangnya. Kakek hanya selalu berusaha memberikan yang terbaik yang kakek mampu buat kamu.
Nduk, jangan pernah menangis. Jangan pernah sedih dengan kepergian Kakek. Nduk, kamu akan baik-baik saja selama kakek pergi. Kakek janji.
Pesan kakek. Selalu ingat semua nasehat Kakek selama ini. Jangan pernah putus asa dengan hidup kamu. Kamu nggak sendiri, nduk. Ada kakek dan Nenek yang selamanya ada sama kamu, karena Kakek dan Nenek ada di hati kamu."
Kai menangis keras. Membaca surat peninggalan Kakeknya yang membuat hatinya semakin terasa sakit.
Ingatannya kembali memutar kejadian- kejadian lalu saat ia hidup bersama kakek dan Neneknya. Rasanya dunia sebahagia itu, dunia hanya di isi canda dan tawa karena kebahagiaan mereka.
Tidak seperti sekarang, Dunia terasa sangat fana dengan rasa hambar. Tidak ada keceriaan yang menghiasi wajahnya dua minggu terakhir ini. Seakan semuanya gelap, melebur menjadi satu, semua ikut pergi saat kakeknya meninggalkannya sendiri.
"Masih ada dua surat dari kakek kamu, kamu mau baca sekarang atau lain waktu?"
Kai masih menangis dalam diamnya. Ia memeluk selembar kertas bertuliskan huruf tegak bersambung milik kakeknya itu.
"Kai, ikhlaskan mereka. Mereka sudah hidup tenang di surga. Yang harus kamu lakukan adalah, menuruti keinginan terakhir mereka. Dan berusaha bangkit demi hidup kamu sendiri,"
Pengacara itu memang benar. Tidak akan ada orang yang akan memperjuangkan hidupnya kecuali dia sendiri.
Kai harus bangkit, kesedihan harus segera belalu. Toh, kakek sudah bagaia di sana. Kakek sudah tenang, dan menemukan tempat persinggahan yang nyaman.
"Ada dua surat lagi. Tiga surat dari kakekmu ini semuanya sangat penting. Dan, kamu harus segera membacanya.."
Kai mengusap air mata yang membasahi pipinya. Kemudian meletakkan kembali kertas putih bercoret tinta hitam itu ke atas meja.
"Saya baca lain waktu aja ya, pak. Besok saya kesini. Selama dua hari kedepan. Saya cuma nggak mau terlalu baper kalau baca surat dari kakek,"
"Oh, begitu. Yaudah. Besok saya tunggu kamu lagi di sini ya.."
Kai menganggukan kepalanya. Kemudian beranjak bediri dari duduknya.
"Kalau begitu saya permisi dulu ya, pak. Saya mau pulang," lanjut Kai lagi.
"Iya.."
Kai berjalan keluar dari Kantor itu. Masih di balut seragam sekolah.
"Kakek pasti sengaja kan kek nulis kayak gitu biar Kai baper? Ah kakek mah usilnya masih mendarah daging. Lain kali jangan gitu lagi dong, Kek. Kan Kai malu nangis di depan pengacara Kakek. Ah Kai kalau baper kan jadi laper.." gumamnya sendiri sambil melanjutkan langkah kakinya.
