Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Kilas Balik

Kilas Balik.

"Aku nggak mau hamil anak perempuan, Bu. Suamiku maunya anak laki- laki. Pokoknya aku harus gugurin bayi ini sekarang juga sebelum mas David tau."

Wanita itu meronta saat ibunya berusaha membujuknya. Dengan perut yang sedikit membuncit akibat kehamilannya yang menginjak usia empat bulan , wanita itu berusaha menyakiti dirinya sendiri dengan memukuli perutnya.

"Nduk, ingat anak ini nggak salah apa-apa. Kamu nggak boleh kayak gini. Sadar, jangan lakukan hal bodoh.."

"Buk! Gimana kalau mas David tau? Gimana kalau dia malah nikah lagi karena anakku perempuan? Aku nggak mau rumah tanggaku hancur cuma karena anak sial ini!!" katanya tetap keras kepala.

"Kita bisa bicara pelan- pelan. Kita bisa cari solusinya, nduk. Tapi, jangan sakiti anak ini. Dia nggak tau apa-apa. Biar dia hidup. Biar dia tumbuh."

"Ibuk! Ibuk nggak tau gimana rasanya jadi aku! Aku menikah satu tahun yang lalu dan mas David, pengusaha kaya itu pengen punya anak laki- laki. Ibu, aku udah susah payah selama ini memperbaiki diriku sendiri supaya bisa dapet jodoh seperti mas David. Dan apa yang bisa dia lakuin kalau keinginannya dari aku nggak tercapai? Pikir buk! Aku nggak mau sampai anak ini lahir, apalagi mas David tau!!"

"Sadar kamu Resti. Dia anak kamu, darah daging kamu sendiri. Kamu nggak takut dosa? Ini adalah anugrah dari Tuhan, nduk. Suami kamu pasti terima kehamilan kamu. Kamu nggak boleh mikir aneh aneh."

"Terima kata ibuk? Dia bakal cerain aku kalau sampai aku nggak hamil anak laki laki. Aku udah capek capek kuliah, merintis karier lima tahun. Dan semua perjuanganku sia sia. Kalau cuma tergantung sama uang pensiunannya bapak, bisa bisa aku gila buk!"

Wanita tua itu menangis dalam hatinya. Kenapa dia melahirkan perempuan seperti ini. Dan perempuan di hadapannya ini adalah putrinya sendiri.

"Ibu mohon. Ibu mohon biarin anak ini tinggal di dalam rahim kamu dulu. Biarin anak ini lahir. Ibu yang akan urus anak ini, nduk. Asal kamu jangan pernah berpikiran aneh aneh untuk gugurin kandungan kamu."

Resti terdiam. Saat tubuhnya sendiri melemas. Wanita itu duduk di atas sofa rumah orang tuanya.

"Nduk, jangan berpikir negatif. Gimana pun kamu seorang ibu. Jangan sampai kamu berhati jahat. Kamu seorang wanita, banyak wanita di luar sana yang pengen punya anak kayak kamu, tapi mereka belom di kasih sama Tuhan. Atau malah nggak di kasih sama sekali. Seharusnya kamu beryukur, Resti. Tuhan percaya sama kamu sebagai orang tua yang di titipi dan di karuniai anak. Kamu wanita, dan anak kamu perempuan. Itu adalah sebuah kebanggaan." Nasehat Ibunya sedikit membuka jalan pikiran Resti. Meskipun matanya masih di tutupi kabut kegelapan. Setidaknya, Resti sedikit membuka hatinya untuk luluh dengan nasehat ibu.

"Tapi buat apa kalau suami ku sendiri aja nggak menginginkan anak ini, bu? Udah deh ibu nggak usah ceramah! Aku tau mana yang baik untuk diriku sendiri!"

"Dia nggak menghargai kamu sebagai seorang wanita, nduk. Kamu nggak perlu takut dengan kenyataan kalau anak ini perempuan. Kamu seharusnya berani, karena anak ini juga anak suami kamu. Ibu bukannya mau ikut campur urusan kamu, tapi ibu cuma pengen kamu sadar. Jangan sampai kabut kegelapan menyelimuti hati kamu. Bagaimanapun dia anak kamu, darah mu mengalir deras dalam tubuh anakmu itu."

Resti terdiam. Di rumah orang tuanya Resti menunjukan hasil tes kehamilannya kepada ibunya. Setelah merasakan tanda tanda kehamilan, dan selalu mual selama empat bulan terakhir. Resti beru sadar, dan segera membawanya ke Dokter pagi tadi.

"Aku sayang sama Mas David, bu. Dan aku mau dia seneng sama aku. Aku mau dia bangga sama aku, karena aku berhasil hamil anak laki- laki sesuai keinginan dia," isaknya di sela ucapannya sendiri.

"Dia bangga sama kamu, nduk. Percaya sama ibuk. Dia bangga punya istri kayak kamu.."

Tak selang berapa lama, Marwan ayah Resti datang sambil membawa tas yang berisi lembaran map- map dengan dokumen dan surat surat penting di dalamnnya.

Marwan melihat ke arah anak perempuannya yang menangis dengan istrinya berada di sebelah anak mereka. Menatap bingung dengan raut wajah sedih, istrinya berusaha untuk membuat Marwan mengerti dengan tatapan itu.

"Ada apa?" tanya Marwan bingung.

"Ini semua salah bapak!" lanjut Resti yang mengejutkan kedua orang tuanya.

"Kalau aja bapak orang kaya! Aku nggak akan berusaha mati-matian buat dapetin jodoh yang kaya! Aku nggak akan tertindas kayak gini! Aku bakalan di hargai semua orang! Dan punya suami yang nggak nuntut aku harus punya anak laki-laki!"

Marwan terkejut mendengarkan hentakan dari anaknya. Istrinya menundukan kepala dalam- dalam. Meneteskan air mata. Tak percaya dengan ucapan anak yang ia kandung selama sembilan bulan di sebelahnya ini. Sekaligus, tidak merasa mendidik Resti dengan ucapan jahat itu. Ia merasa gagal menjadi ibu yang mendidik anaknya dengan baik.

"Bapak bikin masa depan anak bapak sendiri hancur! Kenapa Resti harus terlahir di keluarga miskin seperti ini! Resti harus terima takdir seadanya!"

"Iya bapak dapet pensiunan. Tapi mana? Selama ini uang yang bapak kasih ke ibuk semuanya pas-pasan. Buat biaya kuliah Resti aja ngepas banget. Sebenernya uang itu kemana sih pak? Atau jangan jangan Bapak punya selingkuhan ya?"

"RESTII!!"

"Resti, kamu nggak boleh ngomong kayak gitu!" ucap Asih, ibunya sendiri.

"Nggak boleh gimana, buk? Emang kenyataannya begitu? Kita miskin! Dan aku, meskipun aku udah kuliah dengan gelar setinggi langit, suami ku sekaya apapun, dia nggak menghargai aku sama sekali. Dia pengen anak laki laki buk. Dan apa yang anakmu ini bisa kasih?anak perempuan!!!"

Asih menangis keras. Hatinya sakit. Bagaimana bisa ia melahirkan anak seperti ini. Asih sangat sakit melihat suaminya sendiri di salahkan anaknya.

"Aku bakalan gugurin anak ini. Anak ini nggak boleh hidup. Selamannya!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel