[7] Restart
“ADEL pulang!”
Farrel yang mendengar seruan itu segera datang menyambut. Matanya membulat melihat siapa yang datang sambil mengumbar wajah cerah. “Wiih, kayaknya ada yang lagi seneng, nih,” ujarnya menggoda.
Adel yang memang baru datang kini memamerkan cengirannya. Tanpa sadar wajah manisnya itu menampakkan semburat merah merona yang segera ditangkap oleh Farrel.
“Iih, mukanya merah banget! Lagi bahagia banget ya, Kak? Kalau Kak Ferris lihat pasti bakal anggep Kakak lagi nggak waras. Hihihi!”
Farrel tertawa melihat kakak perempuannya itu berubah cemberut. Tapi setidaknya dia merasa takjub melihat kakaknya begitu bahagia hingga tersipu-sipu seperti itu. Padahal setelah kejadian penyakitnya kambuh, Farrel selalu melihat kakak perempuannya itu amat lesu. Tapi sekarang sepertinya sang kakak sedang membawa kabar baik.
“Jangan-jangan, Kakak habis diterima sama cowok idaman Kakak, ya?”
Bingo!
Eh, tunggu, bagaimana Farrel bisa tahu?!
“Heh! Anak kecil nggak usah sok tau!” Adel tersungut-sungut melihat Farrel mengerling jahil padanya.
“Kakak 'kan pernah curhat sama Kak Ferris kalau Kakak suka sama seseorang. Hayoo, bener 'kan?”
“Iih! Kamu nguping, ya? Nguping, 'kan?! Ngaku!!” Adel yang sudah merengut malu langsung menarik telinga adiknya itu hingga si empu merintih kesakitan.
“Aaaakk! Lepasin, Kak! Ini tuh telinga berharganya Farrel!”
“Berharga buat curi-curi denger, 'kan?!”
“Kakaaaakk, sakiiiitt! Farrel aduin Kak Ferris nih, ntar!”
“Aduin aja kalau berani!”
****
“Jadi dia udah nerima kamu?”
Adel mengangguk antusias. Senyum manisnya merekah hingga Ferris ikut tersenyum. Saat ini dirinya tengah duduk di tempat tidurnya ditemani sang kakak yang baru pulang bekerja.
“Tapi, Kak, Adel harus bikin dia juga suka sama Adel. Kira-kira, Adel harus ngapain, ya?”
Ferris terkekeh geli melihat raut polos yang terpancar di wajah Adel. Dia merasa senang sekali melihat adiknya ini begitu bahagia hanya karena seorang laki-laki yang begitu disukainya. Setelah mendengar curhatan adiknya ini, Ferris memahami bahwa ini adalah pertama kalinya Adel tertarik pada lawan jenis. Dan Ferris tidak menyangka laki-laki itu menerima adiknya kembali.
“Kamu nggak perlu lakuin sesuatu yang berarti, Adel.”
“Maksudnya, Kak?”
Ferris tersenyum lembut. Sebelah tangannya bergerak mengusap pelan rambut tergerai Adel. “Jadilah diri kamu sendiri. Kakak rasa dia akan benar-benar suka sama kamu kalau kamu bersikap apa adanya. Nggak perlu ribet mikirin kamu harus ngapain, cukup jadi diri kamu sendiri aja.”
“Hoo ... gitu, ya?” Adel memamerkan cengirannya.
Aduh, kenapa adiknya begitu menggemaskan saat sedang menyukai seseorang seperti ini? Lihat wajah manisnya itu, rasanya baru kali ini Ferris melihat adiknya tersipu-sipu hingga kedua pipinya merah merona.
“Oh, ya, kalau Kakak boleh tau,” Ferris menggantung ucapannya, menunggu sang adik menoleh padanya, “Nama cowok yang Adel suka itu siapa, sih?”
Sebelumnya Adel belum pernah menyebut nama si lelaki itu kala bercerita dengan Ferris. Dia hanya menyebut dengan sebutan 'cowok itu' kala bercerita. Tapi kini Ferris memberanikan diri untuk bertanya. Lagipula itu adalah hal wajar jika sang kakak ingin tahu lelaki pujaan adiknya, bukan?
“Namanya Abiandra, Kak!”
Dan jawaban Adel membuat senyum di bibir Ferris memudar secara berkala. Ada hal yang tiba-tiba membuat Ferris memutuskan untuk beralih menciptakan kerutan di dahi setelah mendengar nama yang keluar dari mulut adik perempuannya. “Abi—andra?”
“He-eh! Abiandra. Tapi dia sering dipanggil Andra, Kak. Hehehe.”
Ferris mencoba tetap meladeni kekehan Adel, meski pikirannya mulai melayang memikirkan nama lelaki yang ternyata disukai adiknya ini.
Abiandra? Rasa-rasanya nama itu tidaklah asing di telinga Ferris.
****
Andra baru saja keluar dari supermarket. Ia mendapat perintah dari Bhima agar membeli beberapa bahan makanan untuk makan malam ini sekaligus keperluan seminggu ke depan. Hari sudah gelap dan kakaknya itu ingin membuatkan makan malam spesial. Dia tidak mengerti kenapa kakaknya itu ingin menyajikan menu spesial hanya karena dirinya sudah berubah.
Bolehkah Andra menyesal karena sudah berani menceritakan hal ini pada Bhima? Dia sendiri tidak mengerti kenapa tiba-tiba mencurahkan isi hatinya itu kepada seorang Abhimata yang sering sekali mengejeknya jika sudah membicarakan seorang gadis.
“Gimana pun juga, lo ngelakuin itu udah nunjukin kalau lo mulai tertarik sama tuh cewek. Buktinya lo nggak rela kalau dia berhenti ngejar-ngejar lo. Lo bahkan udah ngeluarin tabiat asli lo cuma buat selamatin dia. Lo itu udah masuk ke perangkap pesona tuh cewek!”
Masih diingat oleh Andra rentetan kalimat yang keluar dari mulut kakaknya itu. Sejenak ingatannya melayang pada momen di mana dirinya berani melarang Adelina agar tidak menjauh.
Sepertinya memang benar bahwa Abiandra sudah dibuat tidak berdaya oleh seorang Adelina. Bagaimana bisa lelaki sepertinya mudah melakukan hal-hal itu hanya karena seorang gadis serampangan dan polos seperti Adelina? Tabiatnya yang dulu selalu berani berbuat kasar pada banyak gadis kini tidak mempan dan justru dia berusaha mati-matian untuk tidak melakukan kekerasan sedikit pun untuk Adelina.
Andra memang sudah tidak waras.
Batin Andra langsung mengumpat karena sudah melamun hingga tidak sengaja menubruk seseorang. Untung saja dia tidak melepas barang-barang belanjaannya. Jika tidak, habis sudah nasibnya di tangan Abhimata karena berani menghamburkan uang dengan sia-sia.
“Maaf.”
“Nggak masalah, Bi.”
Sontak tubuh Andra terperanjat. Tidak hanya karena suara, tapi sebutan yang terlontar penuh familiar itu mampu membuat mata hitamnya melebar sebelum menoleh cepat pada sosok yang baru saja ditabraknya.
Wajah yang masih diingatnya, sangat dikenalnya, dengan mata teduh memikat namun sarat akan ketajaman dan tersimpan sorot kemisteriusan, memamerkan senyum miring yang jatuh menjadi bentuk seringaian. Menyapa Andra yang kini membeku di tempatnya.
“Lama nggak ketemu, Bi. Apa kabar?”
Andra harus merasakan jiwa lamanya terpancing untuk kembali.
****
Hari berikutnya di waktu pagi yang hampir terik, Adel melompat turun dari angkutan umum, membayar tarifnya pada sang supir kemudian melesat masuk ke kompleks di mana sekolahnya berada beberapa puluh meter di dalam. Langkah-langkahnya yang ringan disertai senyum merekah, sudah menandakan betapa baiknya mood Adel di pagi hari ini.
“Aah, rasanya udah nggak sabar pengen ketemu Andra lagi. Hehe!” gumamnya renyah untuk diri sendiri. Perasaannya begitu berbunga-bunga, apalagi mengingat nasihat kakaknya kemarin setelah mendengar curhatannya.
“Osh! Jadi diri Adel sendiri! Dengan begitu, Andra jadi makin suka sama Adel!” ujarnya menyemangati diri sendiri sambil mengepalkan tangan di depan dada.
Sampai-sampai ia tidak fokus ke depan hingga akhirnya tubrukan itu terjadi begitu saja. Adel hampir saja jatuh berdebam jika orang yang ditabraknya tidak sigap menangkap bahunya, menahannya pasti yang jelas menarik perhatian gadis itu.
“Sorry, lo nggak apa-apa?”
Adel melihat rupa orang itu. Wajahnya yang tegas tampak begitu rupawan, sepasang mata yang teduh namun menyorot tajam dan sarat akan kemisteriusan sedikit membuat Adel bergidik.
Rasanya wajah rupawan itu sedikit familiar, tapi di mana Adel pernah melihatnya, ya?
“Hei,” lelaki itu menggoyangkan telapak tangannya di depan wajah Adel dan berhasil. Gadis itu mengerjap cepat dan langsung salah tingkah yang justru mengundang dirinya untuk mengulas senyum ramah. “Lo nggak apa-apa? Sori ya, gue nggak sengaja nabrak lo.”
“Oh, i-iya ... gue yang minta maaf. Tadi nggak merhatiin jalan.” Adel tertunduk malu. “Em ... makasih juga buat pertolongannya.”
“Nggak masalah.” Lelaki itu menyimpan kedua tangannya di balik saku celana. “Omong-omong, lo murid Cakrawala, 'kan?”
“Iya. Ini buktinya gue mau jalan ke sana,” jawabnya polos. Sampai-sampai lelaki itu tertawa geli. Tapi Adel justru semakin kebingungan. “Emang lo bukan?”
“Bukan. Ini buktinya gue nggak pake seragam sekolah itu.”
“Oh. Kirain lo bolos.”
Lelaki itu tertawa kecil. “Gue sebenernya lagi nyari orang di sini, tapi nggak ketemu. Jadi gue mau balik aja sebelum akhirnya nabrak elo.”
“Emang lo cari siapa? Mungkin aja gue kenal, jadi bisa dicariin di dalam nanti.”
Lelaki itu tersenyum ramah. “Nggak usah. Nanti gue tinggal balik lagi.” Ia baru saja menggeser tubuhnya ketika teringat sesuatu, “Omong-omong, siapa nama lo?”
Menurut Adel wajar saja lelaki itu ingin tahu karena name tag seragamnya tertutup jaket biru mudanya. “Adelina, biasa dipanggil Adel.”
“Nama gue Abiansyah. Biasa dipanggil Abian,” balasnya disertai senyum bersahabat. “Salam kenal, Adel,” tukasnya sebelum kemudian pergi.
Meninggalkan Adel yang mulai terbengong-bengong.
“Abian? Namanya mirip kayak Andra, ya. Apa cuma kebetulan?” sambil melanjutkan langkah-langkahnya, Adel kemudian mengedikkan bahu, menganggap itu bukanlah masalah penting.
Padahal, lelaki bernama Abiansyah itu kembali berbalik dan mengawasi kepergian Adel, disertai senyum yang semula terlihat ramah kini berubah asimetris.
“Adelina, ya...”
****
Di lokasi lain, Ferris yang tengah berkutat dengan komputer tampak tengah berpikir keras. Jadwal kerjanya masih beberapa jam lagi sedangkan ia sudah mendekam di ruangannya seorang diri. Hingga kemudian terdengar ketukan pintu yang berhasil menarik perhatiannya.
Pintu pun terbuka setelah dirinya menggumamkan izin, menampakkan seseorang yang kini melangkah masuk dengan membawa sesuatu untuk kemudian menyerahkan padanya.
“Ini daftar pasien yang lo pesan. Banyaknya pasien yang udah ditangani rumah sakit ini tahun lalu semua dirangkum di dalam sini. Tinggal diperiksa.”
Ferris menerima flashdisk pemberian pria berseragam sama seperti dirinya, mengamatinya sejenak sebelum menatap yang baru saja mengantarkan pesanannya tersebut. “Thanks, Dhika.”
“Kalau ada yang dibutuhin lagi, telpon gue aja, Ris,” saran Dhika seperti biasa. Bisa dikatakan bahwa dirinya merupakan salah satu pekerja yang memiliki akses bebas untuk masuk ke dalam situs informasi riwayat perjalanan rumah sakit ini.
Meski sebenarnya semua dokter dapat mengakses situs informasi tersebut, tetapi tidak semua data yang dapat mereka lihat karena sifatnya yang terjaga atau rahasia dan hanya dokter yang bersangkutan pada pasiennya yang mampu melihat data medis sang pasien. Berbeda dengan Dhika yang bisa dikatakan legal karena dia mengurus segala masukan data rumah sakit ini.
“Tapi itu mau diapain, sih? Kok, lo sampai butuh data semua pasien di tahun lalu gitu?” Dhika mengajukan keingintahuannya.
“Ada yang pengen gue pastiin. Nanti gue hubungin lo lagi kalau ada apa-apa,” jawab Ferris seadanya sambil melempar senyum pada temannya itu.
Dhika mengerti bahwa temannya itu tidak mau menjawab secara detil. Maka dari itu ia segera pamit undur diri dan membiarkan Ferris yang mulai menancapkan flashdisk tersebut pada komputer miliknya, membuka tampilan sebuah file yang berisi daftar nama-nama yang sudah menjadi pasien di sini dalam kurun waktu satu tahun belakangan ini. Mata coklatnya segera mengabsen nama-nama pasien yang tercantum di sana. Terkelompok pada setiap bulan disertai nama dokter yang menangani.
Hingga akhirnya, matanya berhenti pada satu nama yang memang tengah dicari. Nama yang ia rasa cukup familiar karena ... dia merasa pernah bertemu pasien bernama ini.
Segera Ferris meraih ponselnya, mencari kontak orang yang sempat datang kemari lalu menghubunginya.
“Dhik? Sibuk, nggak? Gue minta tolong lagi, bisa?” Ferris tampak mengangguk paham setelah mendengar balasan di seberang. “Gue butuh data medis pasien yang pernah dirawat di sini pas Bulan Mei tahun lalu. Dia pernah ditangani sama Dokter Spesialis Orthopedi namanya Dokter Andre.”
“Siapa nama pasiennya, Ris?”
“Abiandra.” Ferris menatap layar komputernya sekali lagi, memastikan, “Abiandra Janitra. Itu nama pasiennya.”
