Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[8] Challenge

DUA lelaki itu berdiri berhadapan menatap satu sama lain. Aura tidak mengenakkan mengelilingi mereka yang saling menghujani sorot tajam dengan cara masing-masing. Seolah tengah bersaing siapa yang lebih kuat dengan tajamnya mata mereka.

Meski tampak tenang, lelaki berparas menawan itu menyimpan segudang kemisteriusan di balik senyum terlewat manisnya. Berbeda sekali dengan lelaki yang kini membiarkan barang belanjaannya tergeletak begitu saja di permukaan bahu jalan.

“Ngapain lo di sini?”

“Kenapa? Gue rasa ini bukan daerah kekuasaan lo. Bahkan, gue nggak yakin kalau lo masih bisa ngelakuin hal itu,” lelaki itu menjawab penuh arti. Ia menyimpan kedua tangannya di balik saku jaket yang dikenakan. “Gue nyari lo ke mana-mana, tapi gini cara lo nyambut gue, Bi? Ah, gue lupa kalau lo sekarang udah dipanggil Andra, bukan Bian lagi. Iya, ‘kan?” lelaki itu tersenyum miring.

Andra merasakan sesuatu yang panas di dalam benaknya, hanya karena mendengar panggilan tersebut keluar dari mulut lelaki di hadapannya. “Ngapain lo nyari gue? Nggak puas ngerasain kepalan tangan gue yang terakhir kali?”

“Bukan kepalan tangan, Bi,” mata memikat itu seketika berubah, “tapi tongkat baseball kesayangan lo.”

Andra hampir melayangkan tinjunya mendengar kalimat meremehkan itu. Melihat senyum tak berdosanya, sudah cukup memanggil hasrat ingin menerjang yang harus Andra redam setengah mati.

“Lo berubah drastis, gue sampai pangling waktu itu. Gue penasaran kenapa lo rela ngerubah penampilan lama lo. Apa karena lo lagi suka sama cewek, jadi lo nggak mau tuh cewek tau,” lelaki itu melakukan jeda, menyeringai, “identitas lo yang sebenarnya. Gitu, Bi?”

“Nggak usah banyak bacot, Abiansyah.” Andra mengatakannya telak akan peringatan, mata tajamnya bermain hingga lelaki di hadapannya itu terpukau.

“Oh, masih ingat nama gue, ternyata? Gue merasa tersanjung lho, Bi.” Abiansyah terkekeh pelan. “Soalnya dari dulu lo selalu enggan nyebut nama gue. Kenapa? Karena nama gue sama kayak nama lo, ya?”

Andra merangsek maju, menambah intensitas aura gelap di sekeliling. Saling menjulangkan tubuh tinggi mereka, saling melempar tatapan menghunus dengan cara mereka sendiri.

“Gue peringatin lo buat jangan pernah ikut campur sama hidup gue. Baik lo maupun gue, udah nggak ada urusan lagi. Udah selesai!” Andra menekan kalimat terakhir hingga timbul desisan tajam, pun manik di balik kacamatanya mulai menggelap. “Jadi mendingan lo urus hidup lo sendiri!”

“Gimana kalau bagi gue ini belum selesai?” Abiansyah mengimbangi Andra dengan ikut mengeraskan rahang dan mendesis tajam, “Bahkan nggak ada istilah selesai!”

&&&

Sejak pertemuan tak terduga malam itu, Andra sudah dilanda kegundahan. Dia akui bahwa kemunculan kembali seorang Abiansyah telah memengaruhi ketenangannya. Dia sangat benci akan kenyataan bahwa ia harus bertemu lagi dengan lelaki itu.

Abiansyah. Lelaki yang sudah mengacaukan hidupnya, bahkan menghancurkan dunianya hingga berakhir dengan dirinya yang memilih untuk meninggalkan kehidupan yang dulu. Andra sudah bersumpah untuk tidak mengulanginya dengan membuka lembaran baru kehidupannya kini. Tapi seolah takdir selalu mempermainkannya, Andra harus kembali dipertemukan oleh lelaki yang sangat rentan memancing tabiat masa lalunya!

“Andra kenapa?”

Andra terhenyak di tempat duduknya. Sadar bahwa dirinya sudah melamun cukup lama karena seingatnya suasana kelas masih menyimak pelajaran Sejarah dari Ibu Susi. Tapi sekarang ternyata waktu istirahat sudah berjalan.

Adel yang mulai bertingkah kini tampak kebingungan. “Andra ngelamun, ya?”

Andra segera membereskan buku-buku catatannya dan mengabaikan pertanyaan Adel.

“Andra ngelamunin apa, hayo? Coba kasih tau, biar bisa kita lamunin bareng-bareng! Aduh!” Adel langsung memekik kesakitan begitu kening berponinya langsung menjadi sasaran sentilan tangan Andra.

“Dasar!” gerutu Andra sedikit jengkel. Mana ada orang mengajak temannya untuk melamunkan sesuatu bersama-sama? Gadis ini bodoh atau apa, sih? Bikin Andra gemas aja!

“Hiks ... Andra mukul Adel. Sakit...” Adel merengek seperti anak kecil, wajah manisnya terlihat lucu dengan bibir melengkung ke bawah seperti tengah menangis. Tangannya sudah mengusap-usap keningnya.

Seketika Andra merutuki perbuatannya. Adel pasti tidak terbiasa diperlakukan seperti itu dan seharusnya Andra bisa berhati-hati. Itu sama saja dia sudah melakukan kekerasan pada Adel. Makanya Andra segera memeriksa, menyingkap poni Adel lalu mengusap pelan dengan ibu jari.

Adel jelas tidak siap menghadapi kenyataan bahwa Andra sedang menyentuhnya lagi. Wajahnya langsung melongo tidak percaya melihat secara langsung bahwa Andra baru saja menghela napas gusar. Entah karena yang habis dilamunkannya atau karena merasa bersalah pada Adel. Tapi yang pasti kini Adel sedang merasakan benaknya berdesir-desir menyenangkan hanya karena Abiandra sedang memerhatikannya.

“Udah nggak sakit, 'kan?” Andra menyadarinya. Melihat semburat kemerahan mulai muncul di pipi Adel sudah cukup mengusik ketenangan nalurinya. Itulah mengapa Andra buru-buru melepas sentuhan kecilnya lalu berdeham pelan.

Mengontrol detak jantungnya yang tiba-tiba tidak wajar. Hanya karena melihat Adelina merona.

“Lo nggak ke kantin?”

“Eh?” Adel yang sempat menunduk demi menyembunyikan kuluman senyumnya, kembali mendongak dan langsung bertemu dengan mata yang semakin membuat debaran jantungnya menjadi-jadi. “Oh, itu ... gue 'kan bawa bekal! Jadi makan di sini aja!”

Duh, jantung, kompromi dikit sama Adel, ya. Adel jadi susah napas, ini!

Adel menunjukkan kotak bekal yang memang sudah dibawanya ke meja Andra, membuka tutupnya cepat-cepat. “Taraaaa! Gue bikin nasi goreng lagi, tapi yang ini udah dibikin bener-bener, kok! Apalagi telur dadar gulungnya. Jadi jangan khawatir bakalan nggak ada rasanya lagi.”

Celoteh Adel mengundang rasa tergelitik di dalam diri Andra. Menyusup rasa hangat mendengar gadis itu belajar keras untuk bisa memasak satu jenis makanan yang pernah Andra cibir beberapa hari lalu. Jika diingat-ingat lagi, Andra jadi merasa bersalah lagi.

“Nih, lo bisa cobain dulu!” Adel menyerahkan sesendok nasi goreng beserta potongan telur dadar gulung, memamerkan senyum polosnya pada Andra yang sedari tadi bungkam.

Hal tak terduga pun terjadi, Andra mencondongkan tubuhnya demi meraup sesendok nasi goreng itu langsung ke mulutnya, membiarkan Adel tetap memegangnya sehingga gadis itu seolah baru saja menyuapinya.

Duh, apa kabar jantung Adel? Hal ini jelas saja membuat debaran jantungnya kembali hilang kendali!

“Lumayan.”

Adel mengerjap kaget mendengar suara Andra. “A-apa?”

“Nasi gorengnya.” Andra mengedikkan dagu menunjuk isi kotak makan di depannya. “Kalau telur dadarnya, tinggal dikurangin lagi garamnya.”

Adel memandang kotak makannya. “J-jadi, telur dadarnya keasinan, ya?”

“Enggak. Cuma, gue nggak begitu suka asin,” ia berdeham sekali lagi, mulai salah tingkah. “Kalau buat orang lain itu sebenarnya udah pas, kok.”

“Tapi kalau buat lo itu keasinan.” Adel cemberut. “Gagal lagi deh, masakan Adel,” keluhnya sambil tertunduk lesu.

Tanpa gadis itu ketahui, sudut bibirnya tertarik samar hampir menciptakan senyum, namun ia berhasil mengontrolnya kembali dan berkata, “Tinggal bikin lagi besok.”

Andra menarik kotak bekal itu mendekat, merebut sendoknya dari tangan Adel lalu menyuap isinya ke dalam mulut. Tidak hanya nasi goreng, bahkan Andra juga menghabiskan telur dadar yang sempat dikomentarinya. Membiarkan Adel menyaksikannya dengan degup jantung semakin cepat merasakan hatinya membuncah kesenangan melihat lelaki itu mau memakan bekal buatannya.

“Andra, itu nggak apa-apa dimakan? ‘Kan telurnya masih asin.”

Andra menghentikan kunyahannya, memandang Adel, “Nggak bikin gue sakit perut, 'kan?”

Adel tak bisa menahan senyumnya melihat lelaki itu melanjutkan acara makannya. Begitu saja Adel menopang dagu di depan Andra, memamerkan cengiran polosnya hingga pipinya semakin merah merona.

Andra sendiri tidak menyangka hanya dengan menyantap makanan buatan Adel sudah cukup membuat batinnya lega bukan main melihat betapa senangnya gadis itu.

Bagaimana bisa Andra disukai oleh gadis terlalu polos seperti Adelina?

“Heh, Culun!”

Belum puas kesenangan keduanya terealisasi, kedatangan Dhanu Satya berhasil menarik perhatian penghuni kelas ini. Dengan raut sangarnya seperti menahan amarah, melangkah lebar-lebar mendatangi meja Andra yang terletak di bagian pojok belakang kelas ini. Adel langsung berdiri di samping Andra, mencoba menghalangi Dhanu.

“Mau ngapain lo?!” Adel dengan berani membentak Dhanu sembari berkacak pinggang.

“Gue nggak ada urusan sama lo. Minggir sebelum gue nyingkirin lo pake tangan gue sendiri!” desis Dhanu mengancam gadis itu.

Adel merasakan genggaman di pergelangan tangannya, menoleh ke belakang dan mendapati Andra lah pelakunya. Lelaki berkacamata itu sudah berdiri, menarik mundur Adel hingga kini giliran Andra yang memunggungi Adel.

Suasana kelas berubah hening. Beberapa murid yang memilih tinggal kini tampak tegang menyaksikan si preman sekolah kembali mendatangi si culun yang kini sudah mereka pandang berbeda. Semenjak kejadian di mana Andra menyelamatkan Adel di kantin, mereka menarik kesimpulan bahwa Andra tidak selemah yang selama ini diperlihatkan oleh lelaki itu sendiri.

Abiandra pasti memiliki sesuatu yang sengaja disembunyikan di balik penampilan culunnya.

“Heh, lo pikir lo udah jadi jagoan, hah? Ngaca lo!” Dhanu mendorong bahu Andra dengan kasar. “Jangan karena lo bisa melintir tangan anak buah gue, lo jadi besar kepala, ya!”

“Dia juga udah melintir tangan lo, ya!” celetuk Adel yang langsung dihadiahi pelototan tajam Dhanu.

“Lo berurusan sama gue, 'kan? Jadi cukup lihat gue aja,” teguran Andra seolah sebuah peringatan. Mata di balik kacamatanya mulai berubah karena melihat Dhanu sudah berani menggertak Adel. Dia merasakan sendiri bagaimana tangan Adel yang masih digenggamnya berubah tegang barusan.

“Nggak usah sok jadi pahlawan deh, lo! Baru bisa begitu aja udah belagu!” Dhanu mengambil satu langkah lagi demi mengintimidasi Andra yang lebih pendek beberapa senti dari dirinya. “Kecuali kalau lo jago adu jotos, gue anggap lo bukan pengecut!”

Seringai itu muncul di bibir Dhanu. Adel sangat tahu maksudnya. Jika sudah begitu, sudah merupakan isyarat bahwa Dhanu mulai membuka level tertingginya. Dan Andra tidak mungkin bisa meladeninya nanti!

“Gue tunggu lo di taman depan sekolah. Pulang sekolah. Kita lihat sepengecut apa lo nanti!”

Bagaikan ultimatum, ucapan Dhanu berhasil membuat seisi kelas terkesiap. Mereka juga tahu bahwa Dhanu sudah menjatuhkan tantangan klimaks untuk Andra. Karena begitu Dhanu hengkang dari situ, beberapa di antara mereka berlarian keluar yang sudah Adel bisa tebak bahwa tantangan Dhanu akan tersebar ke penjuru sekolah sebentar lagi.

“A-Andra ... lo, jangan ladenin omongan Dhanu, ya?”

Andra menengok Adel yang sudah tampak cemas. “Kalau nggak gue ladenin, dia bakal anggap gue pengecut. Lo pikir gue terima?”

Adel meneguk saliva. Jawaban Andra sudah cukup menjelaskan.

Bahwa Andra menerima tantangan Dhanu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel