
Ringkasan
Andra hampir terkena serangan jantung kala gadis bernama Adelina menyatakan perasaan padanya. Padahal dia baru saja mendapat banyak tonjokan dari si Penguasa Sekolah bernama Dhanu Satya, tetapi gadis itu mengaku bahwa dirinya tampan dan langsung mengajaknya berpacaran! Adel memang baru pertama kali merasakan namanya jatuh cinta. Tapi tidak disangka bahwa perasaannya mampu mengontrol sekaligus mengorek identitas Abiandra. Dan menjerumuskan dirinya ke dalam sisi kelam seorang Abiandra begitu datang orang ketiga yang mengaku berasal dari masa lalu lelaki itu. Di mana masa lalu tersebut membahayakan keselamatan hidupnya.
[1] Nerd And Innocent
BUGH
Lelaki itu terjerembab setelah mendapat bogem mentah di tulang pipi kirinya. Terdengar suara tawa meremehkan dari segerombol siswa yang mengelilingi, melihat dirinya tak berdaya melawan satu dari mereka yang merupakan penguasa kelompok tersebut.
“Emang dasar cowok lemah. Baru gue kasih bogeman kecil aja udah layu!”
Dhanu Satya, lelaki bertubuh kekar disertai wajah sangar tersebut baru saja mengamuk karena lelaki tak berdaya itu sudah menabraknya sehingga menumpahkan minuman yang dibawanya dan mengenai seragamnya. Saking geramnya, dia bersama anak-anak buahnya itu langsung menyeret si lelaki malang ke belakang gedung sekolah yang sepi lalu menghajarnya hingga seperti sekarang.
Dengan napas sedikit terengah karena sudah mengeluarkan banyak tenaga untuk memukul, Dhanu membungkuk demi menarik lelaki itu agar terbangun. Mencengkeram kerah kemeja putih namun sudah lusuh milik lelaki itu hingga sang empu merintih tertahan akibat caranya yang sangat kasar.
“Ganti kacamata culun lo itu! Kayaknya minus lo makin nambah sampai nggak bisa lihat gedenya gue!” kemudian Dhanu menghempaskan tubuh lelaki itu kembali. Menendang kakinya sebelum melangkah meninggalkannya tergeletak di depan gudang sekolah. Diikuti oleh para anak buahnya yang memandang remeh si lelaki malang.
Sambil memegangi perutnya yang menjadi korban tonjokan juga tendangan, lelaki culun bernama Abiandra itu berusaha untuk mendudukkan diri. Mengerang tertahan menahan rasa sakit yang mendera hampir di sekujur tubuhnya. Lalu mencari-cari kacamatanya yang ternyata tergeletak tidak jauh.
Abiandra meringis pelan melihat kacamatanya sudah retak. “Sialan,” adalah desisan yang keluar dari mulutnya. Dia sandarkan tubuhnya pada dinding gedung sekolah ini.
Abiandra Janitra, biasa dipanggil Andra, adalah siswa yang tidak seberuntung siswa lainnya. Hari-harinya tidak pernah jauh dari teror seorang Dhanu Satya yang mengaku-ngaku sang penguasa dan kerap kali melakukan aksi penindasan pada siswa kutu buku di matanya seperti Andra. Hanya karena mengenakan kacamata tebal dan cara berpakaian yang rapi sudah dimasukkan kategori culun oleh Dhanu dan antek-anteknya itu.
Andra meringis merasakan nyeri di sekujur tubuh. Kondisi belakang gedung yang dihiasi rumput-rumput kurang terawat ini sudah menjadi teman sunyinya, pun juga saksi tiap kali Dhanu mulai menindasnya seperti tadi. Dia mengatur napasnya yang terengah sambil memejamkan mata. Bel masuk setelah istirahat menggema. Dalam keadaan mengenaskan seperti ini, dia tidak mungkin mengikuti pelajaran selanjutnya. Bukannya mendapat simpati, yang ada dia menjadi bahan tertawaan satu kelas nanti.
Aah, kenapa kehidupan sekolah barunya sangat menyedihkan seperti ini? Sudah berapa lama Andra bertahan? Sandungan kaki, toyoran kepala, senggolan tiba-tiba, ejekan dan umpatan kasar, semua sudah dia dapatkan sejak menginjakkan kaki di sekolah ini tiga bulan lalu. Selama itu pula Andra harus menggali dalam kesabarannya.
“Aduh!”
Andra tak mampu menahan rintihannya begitu merasakan sesuatu menempel di tulang pipinya yang membiru. Matanya terbelalak lalu terpaku begitu mendapati seseorang sudah berjongkok di hadapannya. Menatap dirinya dengan raut bersalah.
“Maaf. Gue terlalu nekan, ya?”
Andra mengerjap kaget. Sejak kapan gadis ini datang bahkan dia tidak mendengar suara langkah kaki yang mendekatinya?
Merasakan sesuatu yang dingin itu bergerak di pipinya, kesadarannya kembali dan segera menepis tangan yang ternyata memegang sebungkus es batu itu. Menatap datar gadis bernama Adelina Agatha, siswi dari kelas yang sama dengannya.
“Ngapain lo di sini? Nggak denger bel masuk udah bunyi dari tadi?” Andra mengeluarkan jurus ketusnya.
“Dari tadi gue sibuk nyari ini, sih, jadi nggak dengar,” jawab gadis yang akrab dipanggil Adel itu.
Andra berdecih tak percaya. Untuk apa dia sibuk mencari es batu sampai tidak mendengar bel masuk yang selalu berdering memekakkan telinga?
“Lo harus dikompres pake ini,” tukas Adel seraya kembali menempelkan es batu di pipi Andra yang lebam. Mungkin karena dirinya kurang berhati-hati lelaki itu kembali meringis kesakitan dan menepis tangannya lagi.
“Nggak perlu! Mending lo balik ke kelas, sana!” Andra mengusir. Nada bicaranya memang sudah berubah dingin dan tidak bersahabat.
“Nggak mau!”
Ah, Andra hampir melupakan fakta yang satu ini. Gadis di hadapannya ini selalu merecoki urusannya dan berlaga sok baik padanya. Gadis ini, Adelina Agatha, selalu mendekatinya setelah gerombolan Dhanu CS mengganggunya. Bersikap seolah ingin menghiburnya dan menjadi teman yang baik untuknya. Padahal semua siswi tidak ada yang mau mendekatinya, sekadar mengajaknya berbicara pun tidak sudi. Seolah yang sudah dianiaya Dhanu itu merupakan orang yang perlu dijauhi alias diasingkan.
“Nggak ngerti apa, kalau gue mau sendiri? Pergi, sana!”
Adel justru menggelengkan kepala.
“Pergi, nggak?”
“Enggak!”
“Ini cewek...” Andra berdecak, mulai sebal.
“Gue nggak mungkin ninggalin lo yang lagi kayak gini.”
Andra tertegun diam-diam. Dia tidak salah dengar, bukan? Gadis ini mengkhawatirkannya?
Adel hendak mengompres lagi lebam di wajah Andra kala lelaki itu lebih cepat menepis tangannya lagi. Anehnya, gadis itu hanya mengerjap polos bercampur binar khawatir mengintip di iris kecoklatannya. Ada sedikit perasaan asing lewat di benak Andra ketika melihat sorot mata tersebut. Makanya dia segera memalingkan wajah.
“Nggak usah sok peduli sama gue.”
“Kalau gue beneran peduli, gimana?”
“Gue nggak butuh belas kasih lo itu. Pergi, sana!”
Adel cemberut seketika. Bibir mungilnya itu melengkung ke bawah, sangat mirip dengan emoticon sedang bersedih. “Tapi gue 'kan beneran peduli sama lo.”
Andra mendengus sinis. Sejenak dirinya merutuki perbuatannya yang sudah berani menganggap ekspresi itu cukup menggemaskan di matanya. Mana mungkin Andra tertarik dengan wajah ekspresif milik Adelina? Gadis ini hanyalah pengganggu.
“Gue nggak butuh dan jangan ganggu gue!”
Mendengar gertakan khas Andra keluar, Adel justru merengut masam sambil menggeleng keras.
“Nggak mau!”
Andra melotot tidak percaya melihat Adel kini menjatuhkan diri dan terduduk begitu saja. Sebelum kesabarannya habis, Andra menghentak kasar napasnya dan memilih mengalah.
“Kalau gitu gue aja yang pergi,” keputusan final Andra sambil mencoba bangkit.
Tapi Adel tidak membiarkannya untuk pergi. Dia langsung menarik tangan Andra, “Jangan banyak gerak! Lo 'kan masih—”
Tubuh Andra hilang keseimbangan dan nyaris terjatuh jika tangan-tangannya tidak segera menumpu beban beratnya. Menyadari setelahnya bahwa posisi Andra sudah mengungkung di hadapan Adel dan hampir menimpa gadis itu. Andra terpaksa melihat mata jernih itu mengerjap beberapa kali dalam jarak yang cukup dekat.
“Kacamata lo mana?” Adel bertanya sambil memiringkan kepala.
Menyadarkan Andra untuk kembali memasang raut datarnya. “Bukan urusan lo.”
Andra hampir menyingkir, tapi Adel menarik lelaki itu kembali hingga kini jarak mereka semakin dekat. Andra sudah bersiap menyembur kekesalannya jika Adel tidak bersuara lebih dulu.
“Ternyata lo ganteng, ya.”
“Hah?!” Andra hampir terjungkal mendengarnya. Nih cewek buta, ya? Muka babak belur begini dibilang ganteng?! Waras atau enggak, sih?
“Gue suka.”
Andra melotot mendengar ucapan Adel. “A-apa lo bilang?” berharap telinganya memang sedang bermasalah.
Adel malah mengulas senyum lebar, sumringah dan lugu. Begitu saja dia mengatakan, “Gue suka sama lo, Andra! Ayo kita pacaran!"
Apa-apaan nih cewek?!
