[6] So Don’t Stop
MESKI sebenarnya Adel telah berkata bahwa dia akan berhenti, tetap saja ia menunggu kedatangan Andra di depan gerbang sekolah. Walaupun dia sendiri sudah tidak memiliki keberanian untuk menyapa juga mengirim pesan pada lelaki itu.
Pikiran dan perasaannya tidak sejalan. Adel tetap mengikuti lelaki itu meski dalam jarak yang lebih jauh dibandingkan dulu, dan Adel tidak dapat menampik bahwa dia senang hanya dengan sebatas itu.
Mungkin mereka mengatakan bahwa Abiandra tidaklah menarik sama sekali. Tapi Adel mampu melihat, betapa tegapnya punggung lelaki itu, begitu lebarnya pundak lelaki itu, dan begitu tegaknya tubuh lelaki itu. Dia menyukai cara Andra berjalan di depannya. Bagaimana melihat lelaki itu dari belakang, sudah berkali-kali membuat Adel berpikir untuk berlari menghampiri lalu memeluk punggung yang sungguh dikaguminya itu.
Sayangnya, Abiandra tidak suka padanya, tidak suka dengan perasaannya, juga tidak suka dengan kehadirannya. Lelaki itu pasti sudah sangat jengkel padanya karena sudah menambah beban yang selalu berurusan dengan Dhanu Satya. Dan seharusnya Adel tidak pernah ikut campur.
Tapi bukankah rasa suka itu tidak bisa ditahan apalagi dipaksakan untuk berhenti? Pun sampai ia memilih untuk berhenti mengejar lelaki itu, Adel tidak bisa menampik bahwa dia tidak bisa berhenti.
Karena menyukai begitu mudah, namun sulit untuk memudarkannya.
****
Adel sudah berusaha menjadi gadis acuh. Tidak mengejar, membawakan bekal, pun berurusan dengan Abiandra. Sejauh ini dirinya merasa bersyukur karena Andra tidak diganggu oleh komplotan penindas itu, dan dia merasa lega karena lelaki itu menjalankan aktivitas belajarnya dengan tenang seperti yang lainnya. Hanya kesendiriannya saja yang tidak berubah.
Adel tahu bahwa Andra tidak pernah memiliki teman di sini. Lelaki itu selalu sendiri di mana pun dia berada seperti di kantin saat ini. Seandainya Adel memang sudah tidak peduli dengan keselamatan paru-parunya, dia pasti akan memberanikan diri menghampiri Andra.
Sampai kemudian ia melihat lelaki itu kembali dikerubungi komplotan Dhanu, barulah emosinya bermunculan. Adel mengira bahwa Dhanu sudah bosan mengganggu Andra tapi ternyata lelaki angkuh itu kembali berulah. Bahkan dengan pengecutnya membawa kawanan. Melihat bagaimana Andra tampak diam saja membuat Adel panas sendiri. Maka dari itu tanpa berpikir panjang, Adel menyingkirkan makanannya dari atas nampan, membiarkannya tergeletak begitu saja di atas meja, kemudian dengan nyali dibesar-besarkan, Adel melangkah cepat mendekati gerombolan itu dengan nampan di tangannya.
Dia tidak bisa menahannya lagi. Sungguh.
“Mana pacar lo itu? Setidaknya tuh cewek bisa bikin si Culun ini mau ngomong sama—“
PLAK
Tanpa berpikir dua kali, Adel mengayunkan nampan di pegangannya dan menampar wajah sangar Dhanu. Meski perlakuannya sudah terbilang sangat kasar, Adel masih mengingat bagaimana parahnya Dhanu membuat Andra babak belur tempo lalu. Dia bahkan merasa tidak puas membuat wajah Dhanu hanya sekadar memerah dan berpikir untuk menampar wajah lelaki ini berkali-kali dengan nampannya!
“Kurang ajar, lo!! Beraninya—“
PLAK
Tak tanggung-tanggung Adel mengayunkan nampannya kembali, kini pada wajah teman Dhanu yang hendak membentaknya. Habis sudah kesabaran Adel melihat kelakuan mereka yang seenak jidat mengganggu kehidupan Andra.
“Kalau ada yang berani maju selangkah aja, lo semua bakalan rasain ini! Pergi, sana!!”
Adel membalas pelototan Dhanu. Lelaki itu sudah merah padam karena bekas tamparan juga murka. Biarkan saja dia dikatakan gadis mencari mati pada Dhanu. Justru dia yang akan membuat keadaan berbalik. Dhanu yang mencari mati padanya!
“Lo nggak dengar yang gue bilang barusan? Budek, hah?! Pergi, lo!! Dasar bocah tengik nggak tau diri!!” Adel masih mengangkat nampannya dengan berani. Menatap marah tiap-tiap wajah yang menahan amarah akibat perbuatannya.
“Elo!!” Dhanu menunjuk Adel bengis. Seketika membuat Adel merinding melihat bagaimana mata itu menggelap karena amarah. “Dasar cewek sialan! Beraninya lo mukul gue, hah!!”
Spontan Adel melindungi wajahnya dengan nampan dan langsung menyesal karena sudah membuat preman sekolah itu melayangkan tinju untuknya. Oh, habislah sudah dirinya. Setelah ini pasti akan muncul lebam besar di wajahnya sekaligus menjelekkan wajah manisnya.
Namun di waktu bersamaan, semua saksi tampak terkejut melihat Abiandra melesat menangkap tangan Dhanu tepat waktu. Membuat sang lawan terkejut bukan main melihat begitu gesitnya pergerakannya. Begitu mudahnya Andra mencengkeram hingga meremasnya sampai Dhanu meringis pelan.
Adel terkejut melihat Andra yang sudah berubah drastis tengah menatap tajam Dhanu penuh berani. Tidak pernah Adel sangka akan melihat lelaki itu berubah begitu menyeramkan seperti saat ini.
“Sialan! Lo udah berani—aaak!” Dhanu memekik tanpa sadar sebab cengkeraman itu bagai ingin meremukkan tangannya.
Melihat pemimpinnya kesakitan, lelaki bernama Agus itu merangsek maju. Adel yang kembali menjadikan nampan sebagai tamengnya kemudian memekik terkejut karena ada yang memutar tubuhnya hingga membentur tubuh Andra.
Hanya dalam hitungan detik tangan Andra beralih menangkap kepalan tangan Agus, dipelintirnya hingga si empu mengerang kesakitan bagai diperas kencang, lalu terhuyung jatuh berkat dorongan kasar dari Andra dan menabrak teman-teman yang lain.
“Brengsek! Lo udah berani ngelawan? Nantangin gue buat berantem, hah?!”
Mata tajam yang sudah menggelap itu menghunus tepat ke manik mata Dhanu. Preman sekolah itu seketika mengatup mulut karena saking tidak menyangka bahwa si culun yang sering ditindas olehnya bisa menguarkan aura mengintimidasi begitu kuat seperti saat ini.
Sedangkan Adel yang hampir mendongak demi melihat keadaan, harus urung sebab tangan besar itu lebih dulu merengkuh kepalanya dan menenggelamkannya ke dalam dekapan. Adel tidaklah bodoh bahwa Abiandra tengah mendekapnya saat ini!
“Lo nggak ada bedanya sama cowok cemen yang bisanya main keroyokan. Pengecut.”
Adel tahu itu adalah suara Andra. Tapi Adel tidak pernah tahu bahwa Andra bisa membuat bulu kuduknya meremang hanya melalui suaranya yang begitu mengintimidasi. Selanjutnya Adel butuh waktu mencerna sebab Andra sudah merebut nampan dari tangannya dan melemparnya begitu saja sebelum menariknya pergi dari sana.
Disaksikan oleh banyak pasang mata yang sudah bungkam sejak melihat seorang Abiandra tidak hanya membuat Dhanu Satya tercengang, namun juga membuat yang lain bergidik tanpa alasan.
...
Andra membawa Adel menuju belakang gedung sekolah. Entah ia harus merasa bangga atau menyesal karena sudah berani melakukan hal yang sebenarnya sangat dihindari. Dia tidak mampu berpikir panjang kala melihat gadis di gandengannya ini melawan Dhanu dan teman-temannya sendiri.
Satu gadis melawan lima laki-laki, bagaimana Andra bisa diam saja? Apalagi gadis itu adalah Adelina. Andra sudah tahu bagaimana nekatnya Adel hanya demi membelanya. Membayangkan Dhanu melayangkan tinju untuk Adel saja sudah cukup membuatnya geram bukan main hingga kini dia bersikeras untuk tidak menunjukkan wajah mengerasnya pada Adel.
Adel sendiri memilih untuk tidak bersuara selama Andra menyeretnya. Dia juga belum mampu menetralkan kinerja jantungnya yang masih saja berdetak cepat. Perlakuan Andra di kantin tadi terlalu membekas dalam bayang-bayangnya. Adel memang selalu membayangkan ingin memeluk punggung tegap Abiandra tapi tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan dipeluk oleh Abiandra!
Hingga mereka berdiri di belakang gedung pun, tidak ada yang bicara untuk beberapa waktu ke depan.
Sekeras mungkin Andra kembali membangun benteng pertahanan. Barulah berbalik menghadap Adel mencoba menguarkan raut datar andalannya pada gadis yang masih digandengnya.
"Elo tuh ya," namun Andra terpaksa menelan kembali suaranya begitu melihat dengan jelas, wajah Adel sudah merona yang seketika menghantam benak Andra oleh gemuruh asing.
Bagaimana bisa hanya dengan melihat semburat merah itu sudah berhasil memancing naluri yang tak pernah terbayangkan akan ada di dalam diri Andra? Andra bisa gila hanya karena ingin sekali menyentuh wajah Adelina saat ini!
Di waktu yang sama, Adel segera menarik diri. Menyadari perbuatannya sudah sangat jauh. Dia tidak seharusnya berada di dekat Andra dan dia tidak seharusnya menambah daftar masalah untuk Andra.
“Ma-maaf! Gue nggak seharusnya ikut campur lagi. Gue ... tadi, cuma mau nolong sedikit ... tapi malah makin runyam. Jadi, maaf. Gue nggak bakal ikut-ikutan lagi.”
Adel merutuki suaranya yang gagap. Dia hendak berbalik tatkala merasakan tangan itu kembali mencekal tangannya. Dan Adel tidak mengerti mengapa sentuhan kecil Andra menjadi sangat berdampak pada kinerja jantungnya.
“Kenapa lo nyerah gitu aja?”
“Y-ya?” Adel terpaksa menatap tidak mengerti lelaki di hadapannya.
“Kenapa lo berhenti ngikutin gue? Kenapa lo berhenti ngirim chat ke gue? Kenapa lo berhenti bawain bekal buat gue? Kenapa lo berhenti ngerecokin gue?”
Adel tergeragap mendapat serangan dadakan berupa pertanyaan beruntun Abiandra. Mulutnya terbuka hendak sekadar mengucap 'apa' namun ia merasa kelu seketika, kala lelaki ini kembali menghujaninya dengan pertanyaan lain.
“Kenapa lo berhenti ngejar-ngejar gue? Apa lo udah nggak suka sama gue? Segampang itu perasaan lo ilang buat gue?”
Bagaimana Adel bisa menjawab jika lelaki ini menatap penuh minat dirinya seperti ini? Adel merasa tengah dipojokkan, mengacaukan kinerja jantungnya hingga harus bermarathon.
“G-gue—“
“Gue bahkan belum memulai apa-apa. Lo belum bikin gue bener-bener natap lo dan bikin gue juga suka sama lo. Terus kenapa lo berhenti?”
Adel serasa mati kutu dengan pertanyaan menuntut dari Andra. Iris kecoklatannya melebar dan mulutnya sudah tak mampu ia katupkan. Jantungnya seperti berjungkir balik di tempatnya.
“Maksud lo ... apa?” pertanyaan bodoh, memang. Adelina memang lambat mencerna karena terlalu terkejut.
Maka dari itu ia hanya bisa kelabakan kala Andra tanpa aba-aba menarik pergelangan tangannya hingga jarak yang ada menghilang. Merasakan namanya tersengat listrik begitu tangan besar itu merengkuh pinggangnya, menjatuhkan tubuhnya dalam dekapan itu sekali lagi, memompa jantungnya kembali berdebar-debar kala sapuan halus itu hadir di sebelah telinganya, hingga tungkai kakinya terasa lemas akibat desiran aneh di sekujur tubuhnya.
“Gue nggak ijinin lo buat berhenti, Adelina. Lo harus buat gue juga suka sama lo!”
