Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

[5] But I Can’t

ABHIMATA mendengus jerah melihat lelaki di hadapannya itu hanya mengaduk-aduk makanan tanpa minat. Membuat mood kenikmatannya berkurang karena tingkah adiknya itu yang sungguh mengganggu.

“Lo kenapa lagi, sih? Nasi goreng buatan gue nggak enak? Kurang apa emangnya? Kurang asin?”

Andra yang hanya mengaduk-aduk isi piringnya itu menjawab dengan gelengan pelan. Dari dulu nasi goreng buatan kakaknya ini cukup nikmat meski tidak senikmat buatan restoran, apalagi memang makanan inilah yang merupakan menu andalan sang kakak. Tentunya bukan hal itu yang tengah mengganggu pikirannya.

Bhima meletakkan sendoknya, berdecak heran. “Nih ya, gue lihat seharian ini lo bengong terus. Mikirin apaan, sih? Mikirin tongkat kesayangan lo itu? Kagak gue bakar, elah. Nggak usah dipikirin terus!”

Andra menatap Bhima sekilas, mendengus cepat. Dan Bhima tahu maksudnya.

“Terus lo kenapa, sih?”

“Bawel lo, Kak.” Andra menyantap makanannya cuek. Mengunyahnya perlahan. Tanpa selera.

“Masih mending gue bawel daripada mati.”

Dan jawaban Bhima yang tak kalah cueknya seketika mengeraskan rahang Andra. Bhima tahu arti dari reaksi itu, terlebih tatapan mata Andra yang ikut berubah. Tapi Bhima tidak terpengaruh soal itu.

“Nggak usah bahas itu, bisa?”

“Bahas apaan, ya?” Bhima pura-pura polos.

Andra hampir saja membanting sendok di tangannya dan memilih untuk bangkit jika Bhima tidak menahan.

“Gue ngerti kalau lo lagi dalam masa tobat, tapi bukan berarti Bunda pengen lo nyiksa diri lo sendiri terus-terusan, kali!”

Andra tidak menggubris Bhima dan memilih untuk menyantap makanannya lagi. Hal itu sudah sering diutarakan Bhima tapi bukan itu yang tengah ia permasalahkan saat ini.

“Kayaknya gue udah bikin cewek nangis gara-gara tingkah gue sendiri.”

“Hah?!” Bhima hampir menjatuhkan sendoknya ketika mendengar gumaman yang masih terlalu jelas di telinga. Mulutnya menganga lebar sejenak sebelum mengerjap tanpa dosa. “Bukannya dari dulu lo suka gitu? Ngapain masih mikirin kebrengsekan lo yang satu itu?”

“Sialan lo!” Andra jelas tersinggung mendengar balasan Bhima. Kenapa pria di hadapannya ini selalu menyangkutpautkan sesuatu dengan masa lalunya, sih?

“Tunggu, deh!” Bhima menyadari sesuatu. “Lo 'kan ditindas di sekolah? Masa iya lo berurusan sama cewek? Nggak mungkin banget ada cewek yang mau ngejar-ngejar lo.”

“Gue juga nggak ngerti kenapa tuh cewek ngejar-ngejar gue.”

Tuh cewek? Berarti, ada satu gadis yang menyadari keberadaan adiknya ini, bukan?

Bhima berdecak kagum. “Kayaknya tuh cewek punya indera yang tajam sampai bisa lihat keberadaan lo,” ujarnya terdengar berlebihan. Dia hampir menyemburkan tawa kala melihat wajah adiknya berubah masam. “Terus ngapain lo pikirin?”

Andra hanya kembali menyantap makanannya. Tidak berniat untuk menjawab pertanyaan sang kakak. Karena dia sendiri tidak mengerti kenapa dia begitu memikirkannya.

“Jangan bilang—“ Bhima memandang curiga, tubuh tegapnya bergerak maju hingga benar-benar menempel dengan sisi meja, kemudian berkata pelan, “Lo yang nggak pernah peduli sekarang malah merasa bersalah sama tuh cewek?”

Andra menghentikan kunyahan di dalam mulutnya, membuat sebelah pipinya mengembung akibat makanannya yang belum tertelan. Tidak segera menjawab membuat Bhima menjentikkan jari seolah baru saja mendapatkan ide cemerlang.

“Gue tau! Lo pasti tertarik juga sama tuh cewek! Iya, 'kan?!”

Andra segera menyambar gelas minumnya, menenggak isinya demi melancarkan makanannya yang tertelan tiba-tiba akibat kata-kata Bhima. Napasnya tersengal hingga Bhima yang menyaksikan tingkahnya langsung menyemburkan tawa.

Jika seorang Abhimata tertawa, itu menandakan bahwa ada sesuatu yang sangat konyol dan menggelikan. Bukankah itu berarti Andra tampak sangat konyol dan menggelikan saat ini?

“Ya elah, Ndra, kayak gini aja lo nggak ngerti. Lo ini nggak peka atau terlalu bego? Hahahaha!” Bhima kembali tertawa melihat wajah adiknya semakin tertekuk.

“Berisik lo, Kak! Gue nggak kayak gitu, kali!”

“Andra, dari tingkah lo yang aneh dari tadi juga udah ketahuan!” Bhima berjuang menghentikan tawanya demi melanjutkan ucapannya, “Coba lo ingat-ingat lagi. Dulu, lo sering dikejar-kejar banyak cewek genit tapi lo cuekin. Lo bahkan berani pake cara kasar buat ngusir mereka yang berani nyentuh lo sampai bikin mereka nangis. Terus apa yang lo lakuin saat itu? Nggak ada, 'kan?”

“Bisa nggak sih, lo nggak ungkit-ungkit masa lalu?” Andra mulai frustasi mendengarnya.

“Terus sekarang! Lo merasa bersalah karena udah bikin anak cewek nangis lagi?” Bhima tidak menghiraukan protesan Andra. Ia malah berdecak takjub. “Lo sadar, nggak? Ini pertama kalinya lo kelihatan frustasi, kayak orang bego seharian ini, cuma gara-gara udah bikin seorang cewek nangis. Unbelievable!”

Andra tercenung mencerna tiap kata yang terlontar dari mulut Bhima. Kedua matanya menerawang menyorot kakaknya yang kini sudah kembali melanjutkan makan malamnya. Seolah wajah sang kakak adalah tempat yang tepat untuk mencari sebuah jawaban.

Tidak, dia tidak mungkin seperti itu. Mana mungkin Andra merasa bersalah pada Adel? Apalagi ikut tertarik pada Adel?

Benar-benar mustahil!

Tapi Andra justru terlihat semakin tidak tenang hingga harus mengusap wajahnya yang tidak terbingkai kacamata seperti biasanya saat ini.

****

Lelaki itu berdiri tepat di seberang pintu gerbang SMA Cakrawala. Mata teduhnya yang begitu memikat mengawasi murid-murid yang menyerbu pintu masuk tersebut. Tak jarang banyak siswi Cakrawala yang tidak sengaja mendapatinya mulai mencuri-curi pandang seraya menggumam kagum meski sebenarnya wajah menawannya itu sedikit ter-cover topi hitam.

Hingga kemudian ia menangkap sosok yang tidak asing tengah berdiri di depan gerbang, bergerak gelisah dengan kepala dilongokkan memeriksa sepanjang bahu jalan, seperti tengah menunggu seseorang.

Bukankah itu gadis yang dilihatnya kemarin?

Gadis yang sudah menyerukan sebuah nama yang dia kenal di telinga. Dia sempat melihat bentuk wajah yang nampak manis itu. Ditambah dilihat dari cara gadis itu mendekati sosok yang membelakanginya kemarin, sepertinya gadis itu cukup mengenal dekat sosok yang tengah dicarinya.

Ia dibuat bingung begitu melihat gadis itu berlari masuk, berbelok menuju sisi tembok gerbang dan bersembunyi. Kemudian muncul lelaki berkacamata dengan rambut tersisir rapi, juga cara berpakaian yang sangat santun untuk level seorang murid sekolah.

Dia mengenal wajah di balik kacamata tebal itu. Tapi dia tidak menyangka bahwa, lelaki yang selama ini dicarinya sudah merubah total penampilannya sampai-sampai dia sendiri tidak mengenalnya kemarin.

Senyum miring muncul di bibir tipisnya seraya menurunkan lidah topi di kepala. Mengamati bagaimana lelaki itu masuk ke area SMA Cakrawala, diikuti oleh gadis yang sedari tadi bersembunyi di belakangnya.

“Ketemu juga lo, Abiandra.”

****

Ada yang hilang di sekitar Andra sekarang. Seperti dirinya tengah menjalani kehidupan sekolah tidak seperti biasa. Dia tidak mendengar ocehan nyaring dari belakang, merasakan ada yang mengekorinya, maupun sekadar pesan masuk di ponselnya. Dia tidak mendapatkan salam seperti biasa di depan sekolah. Dan dia tidak mendapati sosok yang selalu menghantuinya.

Adel tidak lagi mendekatinya. Gadis itu benar-benar diam, menjalani kehidupannya seperti biasa, seolah tidak pernah mengenal Andra. Adelina benar-benar menepati janjinya untuk tidak mengusik Andra lagi. Seharusnya Andra senang mendapatkan kenyataan ini. Tapi kenapa sekarang justru dirinya menunggu Adelina menghampirinya?

Kenapa Andra tidak senang melihat Adel diam saja di tempat duduknya?

Andra harus menelan rasa pahit mendapat kenyataan bahwa dia sendirian di kantin sekarang. Duduk mengasingkan diri, menyantap makanannya seorang diri. Dia bahkan kehilangan nafsu makannya. Dia merasa kosong. Hampa. Ada yang kurang dan dia tahu apa itu.

Dia kekurangan kehadiran Adelina.

“Weh, si Culun sendirian aja?”

Dhanu yang belakangan ini tidak mengusiknya, kini datang dan duduk di hadapannya, bersama antek-anteknya tentu saja. Andra kira mereka sudah bosan karena mendapat mangsa baru. Tapi ternyata, Andra memang tidak boleh merasa tenang sedikit saja di saat dirinya sedang dibuat linglung karena Adelina.

“Gue perhatiin dari kemarin lo sendirian aja. Mana si pahlawan manis alias pacar pelindung lo itu?” ejek Dhanu hingga teman-temannya tertawa.

Seperti biasa Andra memilih diam walaupun batinnya sudah tersinggung bukan main. Mereka pikir dirinya selemah itu hingga harus dilindungi oleh seorang gadis, Andra tentu tidak terima.

“Mana nih, suara lo? Kemarin 'kan lo berani ngomong sama gue!” seru Dhanu meremehkan. “Aah, benar juga. Mana pacar lo itu? Setidaknya tuh cewek bisa bikin si Culun ini mau ngomong sama—“

PLAK

Seketika kantin berubah histeris setelah suara tamparan itu mengalun nyaring. Wajah-wajah yang ada di sana terkejut bukan main melihat apa yang baru saja terjadi. Seorang Dhanu Satya baru saja ditampar dengan sebuah nampan. Apakah ada yang bisa membayangkan bagaimana rasanya ditampar dengan benda yang cukup keras itu?

Sakit sekali.

“Kurang ajar, lo!! Beraninya—“

PLAK

Satu dari teman Dhanu juga mendapatkan jatah tamparan nampan setelah berani bersuara.

Andra sendiri ikut terkejut melihat siapa yang sudah dengan beraninya melawan gerombolan Dhanu. Dan tidak menyangka bahwa orang itulah yang sudah menolongnya ... lagi.

“Kalau ada yang berani maju selangkah aja, lo semua bakalan rasain ini! Pergi, sana!!” Adel mengangkat nampan di pegangannya dengan berani, berdiri membelakangi Andra yang masih terkejut. Gadis itu melotot kala melihat Dhanu juga melotot padanya. Ia segera menodongkan nampannya. “Lo nggak denger yang gue bilang barusan? Budek, hah?! Pergi, lo!! Dasar bocah tengik nggak tau diri!!”

“Elo!!” Dhanu menunjuk Adel penuh murka. Wajahnya yang memerah berkat tamparan nampan semakin padam akibat emosi. “Dasar cewek sialan! Beraninya lo mukul gue, hah!!”

Adel langsung melindungi wajahnya dengan nampan di pegangannya begitu melihat Dhanu melayangkan kepalan tangan. Mungkin itu terlihat sia-sia mengingat bagaimana kerasnya kepalan tangan Dhanu hingga mampu membuat tubuh sekecil Adel bisa saja terpental beberapa meter ke belakang.

Hanya saja Adel tidak segera merasakan dorongan kuat dari kerasnya kepalan tangan Dhanu. Di waktu bersamaan ia mendengar suara gaduh dari belakang disertai pekikan tertahan dari sekitarnya. Membuat Adel segera mengintip apa yang tengah terjadi.

Matanya mengerjap kaget melihat tangan yang hampir menyentuh nampannya itu terhenti begitu saja. Dicengkeram erat oleh tangan lain. Membuat sang empu sedikit meringis karena begitu kuatnya cengkeraman itu.

Dan, tangan itu berasal tepat dari belakang Adel hingga ia segera menengok. Adel semakin terkejut melihat siapa yang sudah menyelamatkannya. Juga, menyaksikan raut wajah tegas itu sudah berubah drastis. Sepasang mata di balik bingkai tebal itu menyorot begitu tajam, bibirnya membentuk garis kerasa setara dengan rahang tegasnya. Bahkan ringisan Dhanu terdengar semakin jelas yang menandakan bahwa cengkeraman di tangannya semakin kuat.

Adel seperti melihat sosok Abiandra kala di belakang gedung sekolah beberapa hari lalu. Bahkan, lelaki itu terlihat lebih menyeramkan sekarang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel