Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Aku menutup pintu rumah dengan perlahan. Udara pagi memang segar, tapi tidak bisa menghapus fakta bahwa aku sedang mencintai suami adikku sendiri … dan mungkin yang lebih parah—aku belum benar-benar berhenti mencintainya dari dulu.

Matahari sudah tinggi ketika aku kembali ke rumah. Jaket tipisku tak cukup menahan panas Jakarta yang terasa semakin menusuk ke kulit. Tapi semua itu tak seberapa dibanding panas yang kurasa dalam dada, karena aku tahu ... siang ini Anin pulang.

Langkahku begitu pelan. Ada bagian dari diriku yang ingin menghindar dan menjauhi rumah ini, tapi entah kenapa kaki ini justru membawaku pulang lebih cepat. Dan seperti yang kuduga, suara tawa mereka sudah terdengar bahkan sebelum aku membuka pintu.

“Sayang! Aku pulang!” seru suara ceria itu.

Hatiku mencelos. Aku membeku beberapa detik di depan pintu, mendengarkan semua yang tak ingin kudengar.

“Kamu udah makan siang belum?” suara Raka menyambut lembut. “Aku masakin tahu kesukaan kamu.”

“Awww … kamu masih ingat, ya! Ya ampun, suamiku romantis banget!” Anin tertawa, suara manja dan penuh cinta.

Perlahan aku mendorong pintu dan masuk. Dan di sana mereka—di ruang tengah. Anin sudah melepas jilbabnya, rambutnya dicepol asal. Raka memeluk pinggangnya dari belakang sambil mencium pipinya.

Aku berdiri terpaku melihat pemandangan yang begitu menyakitkan.

“Kak Nay!” seru Anin, seakan baru menyadari kehadiranku. Ia melepaskan diri dari pelukan Raka dan langsung menghampiriku. “Kakak udah keliling pagi-pagi? Ih, nggak bilang-bilang ... tau gitu aku pulang lebih cepet. Aku bawa oleh-oleh dari rumah Mama, tuh … ada rendang favoritmu!”

Aku berusaha tersenyum. “Makasih.”

“Kak Raka nemenin kamu kan Kak di rumah?” lanjut Anin, tanpa curiga sedikit pun. “Dia nggak kemana-mana, kan, Kak?”

“Nggak. Di rumah aja,” jawab Raka sambil menghindari tatapanku.

Semuanya begitu biasa. Terlalu biasa. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa antara aku dan dia. Seolah kami cuma dua orang asing yang dipaksa saling diam.

“Aku seneng banget hari ini! Tadi Mama juga titip peluk buat kamu, Kak,” kata Anin sambil menggandeng tanganku. “Mama bilang kamu kurusan banget, Kak. Kamu lagi stres ya?”

“Enggak kok … cuma kecapekan aja,” jawabku cepat, menahan isak yang sudah menggantung di ujung tenggorokan.

"Yaudah, aku ke kamar bentar, ya, Kak ... mau ganti baju sekalian nyimpen ini." Anin berlari ke kamar membawa oleh-oleh.

Tinggallah aku dan Raka, berdiri canggung di tengah ruang tamu yang sempat jadi saksi bisu dari cinta yang tak pernah selesai. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu berbalik menuju kamar. Tapi sebelum itu, aku sempat melihat Raka menatapku. Matanya penuh luka. Tapi luka itu, tak sebanding dengan yang kurasakan.

Karena tidak ada yang lebih menyakitkan… daripada menyaksikan pria yang pernah kau cintai, kini mencintai perempuan yang memanggilmu "Kak". Dan yang lebih menyiksa—ketika pelukannya bukan lagi untukku … tapi untuk adikku sendiri.

Aroma sayur asem dan ayam goreng memenuhi dapur kecil itu. Panci mendidih, suara penggorengan berdenting ringan, dan suara tawa Anin mengisi ruang makan seperti musik yang tak ingin kudengar.

“Kak Nay, kamu harus cobain sambel buatan Kak Raka. Aku tadi iseng nyuruh dia masak. Eh, ternyata enak juga!” seru Anin sambil menyendokkan nasi ke piringku.

Aku tersenyum kecil. “Wah … hebat juga ya, Kak Raka sekarang udah bisa masak.”

“Cuma sambel, Nay. Itu juga dibantuin Anin nguleknya,” jawab Raka cepat, mencoba terdengar ringan.

Tapi aku tahu nada suaranya. Bergetar. Gugup. Ia bahkan tak berani menatapku sejak kami duduk bertiga di meja makan.

Anin justru semakin bersemangat. Ia duduk di sebelah Raka, terus-terusan merangkul lengannya. “Kak, kamu harus sering-sering makan bareng kita kayak gini ya. Aku tuh seneng banget bisa serumah bertiga. Kayak nostalgia zaman kecil ya, Kak? Bedanya, sekarang aku punya suami!” ujarnya sambil memeluk lengan Raka erat.

Raka tersedak kecil. Aku buru-buru menuangkan air ke gelasnya sambil berkata pelan, “Hati-hati, Rak.”

Ia menerima gelas dariku tanpa bicara. Matanya sekilas bertemu dengan mataku—dan seketika aku tahu, masih ada yang belum selesai di antara kami. Tapi kami memilih diam.

“Eh, by the way, Kak Nay, kamu udah kepikiran mau kerja lagi di mana?” tanya Anin sambil mengunyah.

Aku menggeleng. “Belum. Lagi pengen istirahat dulu. Lagi pula, aku cuma numpang sebentar di sini kok, Nin.”

“Sebentar? Kenapa? Lama aja, dong. Aku seneng banget kalo Kak Nay di rumah. Kamu tuh udah kayak sahabatku sendiri tau nggak,” katanya lalu menyandarkan kepala di bahu Raka. “Dan aku seneng bisa nunjukin kalau Kak Raka tuh suami yang perhatian, romantis, dan … yaaa, manja juga sih, dikit.”

Aku menahan napas. Mencoba tak memperhatikan cara Anin menyuapi Raka dengan sesendok ayam goreng. Mencoba tak mendengar gumaman manja mereka berdua.

Raka mencoba tersenyum, tapi tak ada binar di matanya. Mungkin ia sedang merasa bersalah. Mungkin juga dia sudah biasa berpura-pura. Tapi yang pasti—aku adalah satu-satunya orang di meja itu yang sedang berperang dengan dirinya sendiri.

“Kamu nggak makan sambelnya, Nay?” tanya Raka akhirnya, berusaha mencairkan suasana.

Aku menggeleng pelan. “Lagi nggak pengen makan pedas.”

Padahal dadaku sedang terbakar.

Anin tak menyadari apa pun. Ia tertawa, mencubit pipi Raka, lalu bercerita tentang betapa repotnya ia memilih gaun untuk dinner pernikahan nanti malam. Dan aku? Hanya bisa tersenyum. Ikut tertawa. Ikut berpura-pura.

Tapi di dalam hati, aku bertanya: sampai kapan aku harus bertahan di tengah kebahagiaan mereka yang menggoresku setiap hari?

***

Langit Jakarta masih menyimpan gerimis tipis ketika malam benar-benar jatuh. Rumah ini sunyi dari luar, tapi dalam hatiku riuh—penuh suara-suara yang berusaha kutenggelamkan sejak aku menginjakkan kaki di rumah ini.

Kupandangi langit-langit kamar dari balik selimut tipis. Lampu sudah kupadamkan sejak satu jam lalu, tapi mataku tak kunjung mau terpejam. Dari balik tembok yang memisahkan kamarku dan kamar pengantin baru, samar-samar terdengar tawa kecil.

“Kak Rakaaa … jangan gitu ihh, geli tahu!” Suara Anin kembali menggema. Riang, manja, seperti tak ada luka sedikit pun di hidupnya.

“Habisnya kamu lucu banget sih, kayak anak kecil tau.” Lalu terdengar suara ranjang berdecit. Aku menggenggam ujung selimutku erat-erat, berusaha menahan napas.

“Sini ah, peluk …”

Aku menutup telingaku. Tapi suara itu tetap menembus semua pertahanan.

Tawa kecil itu … berubah jadi desahan pelan. Rintihan lembut dari sisi tembok sana. Suara peraduan dua insan yang sah. Dan aku—yang hanya bisa mendengar dari balik dinding tipis—serasa dilempar kembali ke masa lalu. Masa di mana suara itu… milik kita.

Air mata mulai turun tanpa izin. Kupeluk diriku sendiri. Dalam gelap, aku menggigit bibir, membiarkan isakan tertahan di tenggorokan. Aku tidak boleh mengganggu mereka. Tidak boleh egois. Tapi malam ini… aku kalah.

Aku bangkit pelan, membuka pintu kamar dan melangkah ke luar. Hanya mengenakan cardigan tipis menutupi piyama, aku menuju teras rumah. Udara malam menggigit kulitku, tapi itu tak seberapa dibanding dinginnya hatiku malam ini.

Aku duduk di anak tangga depan rumah. Menengadah. Membiarkan gerimis yang belum berhenti itu jatuh membasahi wajahku—bersama air mata yang tak kunjung kering.

“Aku kuat,” bisikku pelan, mencoba meyakinkan diri sendiri.

Tapi suara-suara itu masih terdengar. Samar, namun cukup jelas untuk melukai. Malam ini, suara kebahagiaan mereka adalah nyanyian paling menyakitkan yang pernah kudengar.

Dan aku sadar… Terkadang bukan jarak yang membuat cinta tak bisa bertahan. Tapi waktu yang salah. Takdir yang kejam. Dan tembok tipis yang membuatmu tahu… betapa dekatnya cinta yang sudah bukan milikmu lagi.

***

Cahaya pagi menyusup perlahan ke sela-sela tirai. Embun masih menempel di dedaunan. Dunia mulai hidup lagi … tapi aku tidak. Aku masih berada di teras. Masih di posisi semalam. Punggungku kaku, tubuhku menggigil karena angin dini hari yang menyelinap tanpa permisi. Aku tidak ingat kapan tertidur—hanya ingat aku tidak sanggup kembali ke dalam rumah, ke kamar yang terlalu dekat dengan luka yang belum sembuh.

“Nayla?”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel