Pustaka
Bahasa Indonesia

Nafsu Panas di Ranjang Iparku

40.0K · Ongoing
seduhansenja
38
Bab
1.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Aku kakaknya. Tapi aku juga mengandung anak dari iparku. Nayla kembali ke rumah adiknya setelah hidupnya hancur, ia tak menyangka jika pria yang menyambutnya adalah Raka—mantan terindah sekaligus suami adiknya sendiri. Cinta lama yang seharusnya mati, justru kembali hidup … dalam cara paling terlarang. "Kamu pikir aku bisa tidur nyenyak tiap malam kalo terus-terusan lihat kamu jalan mondar-mandir di rumah ini pakai daster tipis kayak gitu?" bisik Raka, suaranya serak menahan napas. Nayla memejamkan matanya. "Jangan, Raka … ini salah." "Tapi rasanya benar," tahan Raka menahan gejolak di dalam dadanya. Jemarinya menyentuh perut Nayla perlahan. "Sekarang kita punya dosa … dia yang lagi nendang-nendang dari dalam rahimmu."Aku kakaknya. Tapi aku juga mengandung anak dari iparku. Nayla kembali ke rumah adiknya setelah hidupnya hancur, ia tak menyangka jika pria yang menyambutnya adalah Raka—mantan terindah sekaligus suami adiknya sendiri. Cinta lama yang seharusnya mati, justru kembali hidup … dalam cara paling terlarang. "Kamu pikir aku bisa tidur nyenyak tiap malam kalo terus-terusan lihat kamu jalan mondar-mandir di rumah ini pakai daster tipis kayak gitu?" bisik Raka, suaranya serak menahan napas. Nayla memejamkan matanya. "Jangan, Raka … ini salah." "Tapi rasanya benar," tahan Raka menahan gejolak di dalam dadanya. Jemarinya menyentuh perut Nayla perlahan. "Sekarang kita punya dosa … dia yang lagi nendang-nendang dari dalam rahimmu."

RomansaBillionaireDewasaMenantuKeluargaPernikahanMenyedihkanCinta PertamaDramaMetropolitan

Bab 1

Jakarta tak pernah benar-benar berubah sejak kutinggal beberapa tahun silam, hanya saja saat ini aku datang sebagai orang yang berbeda. Dulu aku pulang dengan membawa begitu banyak harapan, sekarang aku datang dengan hati koyak dan hidup yang berantakan.

Kupandangi jendela mobil dari balik kaca yang sedikit berembun. Rintik hujan menyentuh kaca seperti mengetuk-ngetuk pikiranku yang belum siap kembali. Gedung-gedung tinggi masih berdiri megah, kendaraan masih berlomba-lomba di jalanan, dan aku … hanya ingin menghilang untuk sesaat.

"Sudah sampai, Mbak," ucap sopir taksi online yang membuyarkan lamunanku.

Aku mengangguk lemah. Mengambil koper dan tas ranselku, lalu melangkah ke luar. Tujuanku bukan rumah, tapi sebuah gedung mewah yang didekorasi penuh bunga dan lampu-lampu kristal.

Hari ini, adikku, Anindya, menikah.

Dan aku datang … untuk menghadiri pesta pernikahan yang seharusnya membuatku bahagia. Tapi bagaimana bisa, jika pengantin prianya adalah masa laluku yang masih kucintai sampai saat ini?

Pintu gedung terbuka dengan lebar, seorang petugas segera menghampiriku dan membawa koperku untuk disimpan. Musik lembut menyambut, aroma bunga mawar putih tercium dengan samar dan menghiasi seluruh ruangan tak cukup untuk menutupi kegugupan yang merayap dalam dadaku. Aku berjalan pelan, berusaha tetap tegar di balik dress sederhana yang kupakai. Semua orang tampak bahagia, tertawa, memberikan selamat kepada kedua mempelai. Tapi tidak aku.

Di atas pelaminan itu, Anin tersenyum dengan lebar, ia begitu bahagia menyambut para tamu yang datang silih berganti memberinya selamat. Gaun putihnya menjuntai anggun, seperti putri di negeri dongeng. Dan di sampingnya … berdiri pria yang dulu pernah berjanji akan menikahiku dan mencintaiku seumur hidupnya.

Raka. Pria yang pernah mencintai aku. Pria yang pernah kupeluk dalam doa. Yang kutunggu dalam luka. Yang kucintai diam-diam bahkan saat ia menghilang tanpa jejak.

Kini, ia kembali.

Bukan untukku.

Tapi… untuk adikku.

Adikku sendiri. Anindya.

Aku menahan napas yang begitu menyesakkan. Jantungku berdetak begitu kencang seolah ingin melompat keluar. Raka berdiri tegap dengan jas hitamnya, tampan seperti biasa, dan saat matanya menemukan sosokku di antara kerumunan—aku tahu dia juga terkejut.

Seketika dunia terasa berputar begitu cepat. Bagaimana bisa hidup mempermainkan kita sekejam ini? Aku adalah Annayla. Si kakak yang terlambat pulang. Si kakak yang kehilangan segalanya. Dan kini, berdiri di pernikahan adikku, menyaksikan mantan kekasihku mengikat janji suci … dengan darah dagingku sendiri.

Musik orkestra perlahan mengalun, denting gelas dan riuh tamu bergema memenuhi aula pesta. Aku berdiri di antara tamu undangan, mencoba menelan semua kepahitan yang tersaji di hadapanku. Senyum palsu menjadi satu-satunya pelindung wajahku, tapi di dalam, dadaku seperti disayat pisau yang tumpul—lambat, tapi menyakitkan.

Lalu seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan melihat Mama dengan wajah cemas tapi mencoba tetap tersenyum.

“Nay, kamu nggak apa-apa, kan?” tanyanya pelan.

Aku mengangguk dan mencium kedua pipinya. “Aku nggak papa, kok, Ma.”

Padahal aku ingin memeluk mama dan menangis sejadi-jadinya di pundaknya, menceritakan bahwa pria yang duduk di pelaminan itu dulu pernah mengikat cincin di jariku.

“Sekarang, mari kita dengarkan sedikit sambutan dari keluarga mempelai wanita—dari kakak tercinta, Mbak Annayla!” lamunanku buyar ketika tiba-tiba MC memintaku untuk memberikan sambutan. Suasana langsung hening. Jantungku seperti berhenti berdetak. Semua mata tertuju padaku. Termasuk Raka… dan Anin.

Mataku membelalak tak percaya, ini tak ada dalam perjanjian yang diminta Anin beberapa waktu yang lalu. Aku menoleh ke arah mama, berharap ini hanya candaan buruk. Tapi Mama menggenggam tanganku dan berbisik, “Kamu bisa, Nay, ucapan singkat dan selamat untuk adikmu.”

Langkahku terasa berat. Seperti dipaksa melangkah ke atas panggung eksekusi tanpa mengetahui kesalahanku. Mikrofon di tanganku terasa dingin, aku menghela nafas panjang ... berusaha mengatur nada suara agar tak bergetar.

“Halo semuanya ...” suaraku bergetar, tapi kuusahakan tetap tersenyum. “Terima kasih sudah hadir di hari yang istimewa untuk keluarga kami ini. Hari di mana adik perempuan saya … mendapatkan cinta sejatinya.”

Aku menatap Raka dan Anin secara bergantian. Tatapan kami bertemu sekilas. Tapi cepat-cepat kuhindari. “Anin … sejak kecil dia adalah gadis yang selalu ceria, polos, dan penuh cinta. Aku tahu, siapa pun yang bersamanya akan merasa dicintai dan dibutuhkan. Dan sekarang … dia punya seseorang untuk itu.”

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan ucapanku. “Aku doakan semoga kalian bahagia. Anin … jaga suamimu baik-baik. Dia … berharga.”

Ada jeda panjang setelah itu, para tamu riuh dengan tepukan tangan. Anin tersenyum manis dari pelaminan sementara Raka … hanya diam menunduk. Dan aku turun panggung dengan kaki gemetar. Dunia seakan terbalik. Ini bukan pernikahan biasa. Ini seperti mimpi buruk yang kujalani dalam keadaan sadar. Aku bahkan tak tahu bagaimana bisa tetap berdiri… sementara hatiku sudah hancur berkeping-keping.

Belum sempat aku benar-benar mengatur napasku usai turun dari panggung, suara lembut Anin memanggilku dari pelaminan.

“Kak Nay! Sini dong, foto bareng sama kita!” serunya sambil melambai-lambai dengan semangat khas Anin yang dari kecil tak pernah berubah—penuh keceriaan.

Sejenak aku ingin pura-pura tak mendengar melanjutkan langkahku dan pergi dari tempat ini dengan segera. Tapi semua mata sudah menatapku, bahkan fotografer keluarga sudah bersiap dengan kameranya. Mau tak mau, aku tersenyum—lagi-lagi palsu—dan melangkah menuju pelaminan. Raka menatapku. Matanya terbelalak. Nafasnya tertahan. Kami saling memandang. Hening. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Tapi hatiku menjerit sekuat-kuatnya.

“Raka?” suaraku lirih.

Ia menelan ludahnya. “Nayla…”

Anin tidak menyadari apa pun. Ia menggenggam tangan Raka dan tersenyum padaku. “Cantik nggak, Kak? Kak Raka cocok banget kan sama aku?”

“Kak?” ulangnya ketika aku hanya terdiam.

Aku tersenyum. Entah darimana senyum itu berasal. Barangkali dari sisa-sisa harga diriku yang coba kubangun di atas puing-puing luka. “Cocok banget,” kataku pelan.

Lalu menatap Raka, tepat di matanya. “Selamat ya, Raka … udah menikahi wanita yang paling kamu cintai.”

Raka menggertakkan rahangnya. Pandangannya tak pernah lepas dariku. Ada kesedihan. Ada penyesalan. Tapi semua itu tak ada artinya sekarang. “Aku nggak tahu kalau dia adikmu,” bisiknya. “Aku baru sadar pas undangan dikirim ke rumah. Pas aku lihat nama panjangmu—aku hancur, Nayla.”

Aku tertawa kecil. Datar. “Dan kamu tetap menikahinya.”

Gaun panjang Anin menjuntai di lantai. Ia terlihat sangat bahagia bahkan tak menyadari bisikan singkatku, memelukku erat saat aku sampai di pelaminan. “Makasih ya, Kak, kamu udah mau datang. Aku kira Kakak nggak bakal nyempetin dateng ke nikahan aku,” katanya sambil memelukku erat.

Pelukannya hangat, tulus, tapi seperti pisau yang perlahan menancap di dada. Aku membalas pelukannya, menahan air mata yang ingin jatuh.

“Aku selalu nyempetin waktu kalo buat kamu,” jawabku nyaris berbisik.

Raka berdiri di sebelahnya. Ia hanya menatapku singkat, lalu mengalihkan pandangan lagi. Tapi aku tahu, ada ribuan kata yang tak bisa diucapkan lewat mulutnya—dan matanya yang gelisah bicara terlalu banyak.

“Sini, berdiri di tengah ya, Kak,” ucap Anin ceria sambil menarik tanganku berdiri di antara dia dan Raka.

Klik.

Flash kamera menyala.

Aku berdiri di antara mereka, mantan kekasihku dan adik perempuanku sendiri, dalam sebuah bingkai yang tampak sempurna di luar… tapi penuh luka dalam diam.

Klik. Klik.

Anin menggenggam tangan Raka erat, memperlihatkan cincin mereka dengan penuh bahagia. Raka menoleh ke arahku sekilas—sorot matanya penuh sesal, atau mungkin kebingungan. Aku tak tahu lagi.

Dan saat fotografer bilang, “Senyum, ya!” aku memaksakan senyum seindah mungkin. Dalam hati, aku berbisik lirih, “Tuhan, izinkan aku bertahan satu hari lagi tanpa meledak.”

Foto terakhir pun diambil dengan sempurna, aku dan Raka sama-sama mencium pipi Anin yang berada di tengah kami. Aku segera mundur dari pelaminan, alasan klise seperti ingin ke toilet jadi penyelamat agar aku bisa kabur sejenak. Dan saat itu, aku sadar—mulai hari ini, aku harus tinggal di rumah yang di dalamnya ada cinta lamaku… bersama perempuan yang memanggilku “kakak.”

---

Beberapa jam kemudian setelah pesta usai dan tamu undangan mulai meninggalkan gedung pernikahan. Aku berdiri sendirian di taman belakang gedung, mencoba menenangkan hati. Lalu suara itu datang lagi.

"Nayla."

Aku menoleh ke arahnya. Raka berdiri beberapa meter dariku. Dasinya sudah longgar, sorot matanya tak lagi setenang tadi. "Kamu di sini … aku nggak tahu harus ngomong apa sama kamu."

"Nggak usah ngomong apa-apa," jawabku pelan. "Kalian udah menikah. Itu yang terpenting buat kamu ingat."

"Tapi kamu pergi ninggalin aku, Nay. Tanpa penjelasan sedikitpun, aku kesana kemari nyariin kamu. Aku nungguin kamu pulang buat meluk aku. Aku tanya semua temen-temen kamu, tapi nggak ada yang mau ngasih tau aku satupun. Aku masih ..."

Aku memotong ucapannya dengan cepat. "Masih apa, Raka? Cinta? Tapi sekarang kamu suami Anin ... dan cinta itu udah nggak ada artinya bagiku."

Dia terdiam. Nafasnya terdengar berat. "Kamu baik-baik aja?"