Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Suara itu selalu membuat jantungku menciut. Aku menoleh pelan. Raka. Ia berdiri di ambang pintu, mengenakan kaus putih dan celana training. Rambutnya acak-acakan, jelas baru bangun tidur. Matanya memandangku dengan sorot campur aduk, terkejut, khawatir… dan sesuatu yang tak bisa kujelaskan.

“Kamu semalaman tidur di sini?” tanyanya, berjalan pelan menghampiriku.

Aku buru-buru mengusap pipi, menghapus sisa air mata yang mungkin masih tertinggal. “Angin pagi bagus buat mikirin masa depan,” kataku, mencoba tersenyum.

“Bukan malah masuk angin, ya?” Ia berjongkok di hadapanku, memperhatikan wajahku dengan seksama. “Kenapa nggak tidur di kamar aja?” tanyanya dengan suara yang lembut, sama seperti dulu. Ingin sekali aku menghamburkan tubuhku padanya, mencari kehangatan setelah semalaman aku merasa dingin yang menggebu.

Aku mengalihkan pandangan, menatap langit yang mulai menguning. “Nggak papa ... lagi pengen di sini aja.”

Ia menghela napas. “Nayla…”

“Stop, Rak.” Aku berdiri pelan. “Kita nggak perlu ngobrol tentang hal ini terus menerus. Kamu udah sah jadi suami Anin dan aku cuma orang asing yang numpang tinggal di rumah kalian. Nggak usah bikin hubungan kita bertiga semakin rumit.”

Aku berjalan masuk, melewatinya yang masih terpaku. Tapi langkahku tertahan saat kudengar ia berkata lirih. “Aku nggak tidur sama Anin semalam.”

Aku menoleh, pelan. “Tapi kamu tetap suaminya, Raka, dan kamu berhal buat tidur sama dia, sedangkan aku tetap kakaknya. Kita udah nggak punya tempat yang sama buat saling noleh ke belakang ... kamu cukup bangun keluarga kecilmu biar isterimu itu bisa bahagia ...,” ujarku dengan menggebu-gebu, "satu lagi ... nggak usha mikirin perasaan aku, aku bisa bahagia dengan diriku sendiri," tambahku sebelum melanjutkan langkah menuju dapur untuk sekedar memasak sarapan

Ia terdiam. Aku tahu perasaan itu benar. Tapi mengatakannya tetap menyakitkan.

“Selamat pagi!” seru Anin riang. “Wah, harumnyaaa! Ada yang masakin sarapan, nih?” Ia memelukku dari belakang, pelukannya hangat seperti biasa. Tapi aku tak sanggup membalas. Bukan karena benci… tapi karena terlalu sakit untuk membayangkan badan kecilnya berada di rengkuhan tunanganku.

Beberapa detik kemudian, Raka masuk ke dapur. Rambutnya sudah sedikit rapi, wajahnya biasa saja—tapi matanya menatapku sesaat sebelum berpaling ke Anin.

“Pagi,” sapanya datar.

“Pagi, suamiku!” Anin langsung menghampiri dan mencium pipinya. “Kak Nayla bikinin kita sarapan nih! Sayang banget sama kita, ya nggak?”

Raka menatapku sekilas. “Iya … Sayang.”

Aku menundukkan kepala. Membalikkan badan, dan pura-pura sibuk mencuci piring padahal air mataku sudah jatuh tanpa suara. Suara tawa mereka, kemesraan kecil yang terus-menerus hadir di hadapanku, adalah siksaan halus yang perlahan membunuhku dari dalam.

Dan aku hanya bisa bertahan … setiap harinya… dengan pura-pura tidak merasa apa-apa. Sarapan pagi ini di sini dengan celotehan manja yang hanya ditanggapi sesekali oleh Raka. Ia tampak canggung dan beberapa kali menoleh ke arahku sebelum menjawab celotehan isteri kecilnya itu.

“Sayang, aku berangkat dulu, ya.” Suara Raka dari ruang tamu terdengar jelas sampai ke dapur. Tanganku yang sedang menyeka meja makan seketika berhenti. Hatiku ikut tercekat. Aku tahu dia tidak sedang bicara padaku.

“Yaaaah, kok cepet banget, sih! Nggak bisa telat dikit gitu?” sahut Anin manja, suaranya terdengar menggoda.

Aku bisa membayangkan dia tengah duduk bersila di sofa dengan piyama lucu yang baru dibelinya minggu lalu, rambut dikuncir setengah asal, dan senyum lebar yang selalu berhasil meluluhkan hati siapa pun—termasuk Raka, mungkin.

Dari celah pintu dapur yang terbuka sedikit, aku melirik ke arah mereka. Raka sedang mengenakan jas kerjanya. Dasinya sudah rapi, rambutnya ditata seperti biasa, maskulin dan berwibawa. Tapi ada sorot lelah yang tertahan di balik matanya. Atau mungkin itu hanya khayalanku?

Anin berdiri, merangkul lengan Raka sambil mencium pipinya cepat. “Hati-hati di jalan, ya. Jangan godain mbak-mbak kantor.”

“Yang ada aku yang digodain sama mereka,” jawab Raka sambil tersenyum tipis. “Udah, kamu juga jangan lupa makan, ya. Jangan kelamaan nonton drakor.”

“Siap, Pak Suami.” Anin cekikikan, lalu tiba-tiba melirik ke dapur. “Kak Nayla, tadi Kakak kan masak nasi goreng ya? Kak Raka suka banget, tuh!”

Aku memaksa tersenyum sambil keluar membawa gelas. “Iya, aku liat ada nasi sisa, sayang aja kalo harus dibuang.”

Mata Raka menatapku sesaat. Tatapan itu cepat berlalu, digantikan senyum tipis yang menggantung canggung. “Thanks, Nayla.” Suaranya pelan, seperti takut Anin mendengarnya terlalu jelas.

Aku hanya mengangguk pelan. “Hati-hati di jalan.”

Dan seperti biasa, hanya aku yang berkata begitu… dengan perasaan yang seharusnya sudah mati, tapi masih saja hidup dalam bayang-bayang masa lalu.

Pintu depan tertutup. Raka telah pergi.

Setelah itu, rumah kembali terasa sunyi. Anin kembali ke kamarnya dengan handphone di tangan, entah sibuk dengan drama Korea atau chatting di grup arisan online-nya. Aku, seperti biasanya, mengambil sapu dan mulai membersihkan rumah.

Menyapu ruang tamu yang tadi jadi tempat mereka bercanda. Menyeka meja makan tempat mereka sarapan bersama. Menata bantal-bantal sofa yang tadi digunakan Anin untuk rebahan manja di pelukan pria yang dulu berjanji akan membangun masa depan denganku.

Setiap sudut rumah ini menyimpan cerita. Tapi hanya aku yang mengenang rasa sakitnya … seorang diri.

Ketika aku masuk ke kamar mandi untuk mengambil alat pel, aku sempat menatap pantulan diriku di cermin. Rambutku acak-acakan. Mataku sembab. Tapi aku tetap berdiri. Tetap bernafas. Tetap hidup. Aku Nayla. Perempuan yang meninggalkan dia tanpa penjelasan, lalu dipaksa menyaksikan cinta lamanya bahagia dengan adik kandungnya sendiri. Dan aku masih di sini… menjadi saksi bisu dari bahagia yang bukan milikku.

Beberapa jam kemudian, saat makan siang tiba, Anin duduk di sampingku, rautnya tampak cemas, sementara Raka masih sibuk dengan pekerjaannya di kantor, dan aku bisa merasakan ketegangan yang ada di udara. Anin menatapku dengan mata yang penuh harap, seakan menunggu aku untuk berbicara.

“Kak,” suara Anin pecah. Aku tahu dia ingin berbicara tentang sesuatu yang sudah lama mengganjal di hatinya. “Aku pengen curhat sama kamu.”

Aku menatapnya dengan lelah. “Ada apa, Nin?”

Anin menarik napas panjang, wajahnya tampak bingung. “Gini, Kak. Aku nggak ngerti kenapa semuanya kayak aneh. Kak Raka … dia udah nggak kayak dulu lagi. Dulu, dia perhatian banget sama aku, Kak, setiap saat. Tapi pas kita mutusin mau nikah, kok dia malah semakin jauh dari aku, ya? Kayak ngehindar gitu ... Kadang aku ngerasa dia udah nggak peduli sama aku.”

Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba untuk tidak terlihat terluka di depannya. Aku tahu persis apa yang dia rasakan, dan lebih dari itu, aku tahu alasan di balik perubahan sikap Raka. Dia tidak lagi peduli karena… dia lebih memilih adiknya.

Aku menahan napas sebelum menjawabnya. “Nin, mungkin itu cum perasaan kamu aja. Pernikahan itu emang nggak selalu berjalan mulus apalagi kalian dijodohin kan? Kadang-kadang, ada fase di mana kita ngerasa agak jauh satu sama lain. Tapi itu bukan berarti Raka nggak sayang kamu kok ... kalian cuma butuh penyesuaian aja”

Anin menggelengkan kepalanya, ekspresinya menunjukkan kebingungannya. “Aku nggak tahu, Kak. Aku ngerasa dia udah berubah. Bahkan dia lebih sering keluar rumah dan nggak pernah ngajak ngobrol aku lagi. Aku khawatir kalau dia … kalau dia mulai nggak cinta lagi sama aku.”

Aku terdiam, memikirkan kata-kata yang akan keluar dari mulutku selanjutnya. Bagaimana bisa aku memberitahunya bahwa masalah sebenarnya jauh lebih rumit daripada yang dia bayangkan? Raka… masih ada sesuatu yang tertinggal di hati pria itu. Sesuatu yang tak bisa dihilangkan begitu saja.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel