Bab 2
Aku menahan senyum getir. "Kamu pikir aku baik-baik aja ngeliat mantan tunanganku menikahi adikku sendiri? Ah salah ... kita bahkan belum membatalkan pertunangan itu kna?" ujarku meralat perkataanku.
Langit perlahan mulai gelap, menyisakkan awan kelabu seperti hatiku saat ini. Aku melangkah pergi tanpa menoleh lagi, membiarkan luka ini kembali menyerang badanku. Air mata menetes diam-diam. Aku tidak datang untuk membuat keributan di acra yang seharusny bhagia ini. Aku datang karena tak punya pilihan lain termasuk untuk menolaknya. Karena setelah kehilangan pekerjaan, kehilangan tunangan, dan kehilangan arah… satu-satunya tempat yang bisa kusebut rumah hanyalah adikku. Dan kini, rumah itu pun bukan lagi milikku sepenuhnya ... melainkan milik seseorang yang masih menyimpan separuh hatiku padanya.
Ini baru awal. Dan aku belum tahu bagaimana caranya untuk tetap bertahan … ketika setiap hari aku harus menyaksikan cinta lamaku … menjadi milik perempuan yang kupeluk sejak kecil. Tuhan, jangan biarkan aku mencintainya lagi. Tapi … bagaimana jika ternyata aku tak pernah bisa berhenti mencintainya?
***
Rumah Anin malam ini masih dipenuhi karangan bunga ucapan selamat dan sisa-sisa pesta yang belum dibereskan. Lampu gantung di ruang tengah menyala temaram, menyisakan suasana hangat—atau lebih tepatnya, hangat yang menyesakkan. Aku menginap malam itu di kamar tamu rumah Anin dan Raka. Bukan karena aku ingin—tapi karena aku tak punya pilihan lain. Hotel terlalu mahal, rumah kontrakan lama sudah lama kulepas, dan mama menyuruhku tinggal di sini sampai aku bisa berdiri sendiri lagi.
“Nayla, kamu bantuin Anin dulu, ya. Dia masih belum terbiasa ngurus rumah. Lagipula kamu belum dapet kerja lagi, daripada nganggur,” kata Mama dengan nada ringan saat kami tengah membereskan barang di gedung.
“Tapi Ma …” suaraku tercekat.
“Nggak ada tapi-tapian. Kalian kan keluarga.”
Keluarga.
Satu kata itu terdengar begitu menyayat telingaku. Bagaimana mungkin aku tinggal serumah dengan adik kandungku yang baru menikahi pria yang dulu ingin menikahiku?
Aku berdiri di depan cermin, menatap pantulan wajahku. Mata sembab, pipi tirus, dan sorot yang tak kukenal. Aku bukan Nayla yang dulu. Bukan Nayla yang kuat, penuh semangat, yang dulu Raka kenal dan cintai ... sekarang, aku adalah Nayla yang lemah, pesimis, dan tak memiliki tujuan hidup. Dari kamar ini, aku bisa mencium aroma parfum Raka yang masih tertinggal di koridor. Aku tahu aroma itu. Aku mengenalnya lebih dari siapa pun.
Lama aku memndangi wajahku sendiri, ketukan di pintumembuyarkan lamunanku. “Kak Nay, aku boleh masuk, nggak?” Suara Anin. Lembut dan polos seperti biasa.
Aku buru-buru menyeka air mata, lalu bergegas membuka pintu sambil memaksakan senyum. “Masuk aja, Nin ... ini kan rumah kamu,” sarkasku pada diriku sendiri.
Anin duduk di tepi ranjang, masih mengenakan daster satin berwarna salem yang membuatnya semakin terlihat menggairahkan. Wajahnya bahagia, begitu bersinar, layaknya seorang pengantin yang baru saja mendapatkan cinta seutuhnya.
Dia memelukku tiba-tiba. “Makasih ya kamu udah dateng, Kak. Aku kira Kakak bakal ngilang lagi kayak dulu.”
Aku tercekat. Kalimat itu seperti pisau kecil yang menggores luka yang belum sembuh. Aku tidak menjawab.
“Aku seneng banget pas liat Kakak dateng. Kak Raka juga … tadi kaget sih pas lihat Kakak. Tapi dia juga senang pas tau Kakak dateng. Dulu kalian kan deket ya? Sahabatan, kan, katanya …”
Sahabat? Oh, Anin. Kalau saja kau tahu apa yang sudah terjadi di antara kami.
Aku hanya mengangguk kecil. Aku tidak bisa merusak malam pengantin adikku ini. Biarlah luka ini hanya aku yang merasakannya.
“Oh iya, Kak. Malam ini aku mau nginep di rumah Mama dulu, jadi Kakak bisa lebih nyaman istirahat di sini. Nanti Kak Raka juga keluar sebentar, katanya ada urusan kerja, sih. Makanya aku mutusin buat sama mama, kamu nggak papa kan, Kak?"
Aku ingin menjerit menolak, bagaimana bisa ia meninggalkan suaminya di malam pertama mereka? Aku menatap wajah adikku yang begitu tulus, ia memang sangat manja kepada mama dan tak pernah berjauhan sedikitpun. Tak ada kecurigaan dari tatapannya, tak ada rasa bersalah yang menghantuinya. Dia begitu polos, benar-benar mencintai suaminya, dan bahkan tak sadar betapa runtuhnya diriku sejak tadi. Kenapa dunia seolah menyusunnya dengan rapi—membuat aku dan Raka tetap bertemu, sendirian, di bawah atap yang sama?
“Oke, kamu jaga diri ya, Nin,” jawabku pelan.
“Kak, jaga Kak Raka juga ya, hehe,” candanya sambil mencubit lenganku ringan. “Dia masih kagok tinggal di rumah baru ini, Kak. Biar Kak Nay yang temani di sini dulu, ya?” pintanya lagi.
Aku hanya mengangguk—karena kalau aku bicara lagi, suara ini mungkin akan bergetar.
Setelah Anin pergi, aku menghempaskan badanku di ranjang yang terasa tak nyaman aku mencoba memejamkan mata tapi tak bisa tidur, sunyi pun mulai menyergap ruangan ini. Hanya ada dua orang di rumah itu sekarang: aku dan … dia. Kuputar-putar tubuhku di kasur. Gelisah. Penuh sesak.
Suara gelas beradu pelan di dapur membuatku kembali tersadar. Aku keluar kamar dan melihat Raka sedang menuang air putih ke gelas. Ia mengenakan kaus putih dan celana panjang santai. Aura formalnya sudah hilang, diganti dengan suasana yang—seharusnya—milik seorang suami dalam rumah tangga yang baru dimulai.
Dia menoleh, lalu terdiam untuk sesaat. Lalu membuka mulut, pelan, seperti takut merusak keheningan malam. “Air putih?” tawarnya pelan.
Aku mengangguk. Ia menyerahkan gelas padaku, dan saat jari kami bersentuhan—hanya sepersekian detik—semua kenangan bertahun-tahun lalu menyeruak begitu saja.
Aku mengambil gelas itu cepat-cepat. “Makasih.”
“Kamu … nyaman tinggal di sini?” tanyanya akhirnya. Suaranya berat, dalam.
“Sebisa mungkin,” jawabku dengan jujur.
Kami duduk di ruang tengah, berjarak. TV menyala tanpa suara. Tapi justru sunyi itu yang menggelegar.
“Nayla.”
Aku mengangguk, mencoba tenang. Tapi tubuhku seolah tak mendengar. Lututku lemas, dan suara hatiku sudah mulai menjerit.
“Kenapa kamu nggak pernah balas pesanku waktu itu?” tanyanya pelan.
Aku memejamkan mataku menghalau air mata yang siap turun kapan saja. “Karena aku takut kalo hatiku makin sakit.”
“Padahal aku selalu nungguin kamu. Setiap hari. Aku pikir kita bisa berjuang sama-sama ... dan kalopun kamu butuh bantuan dariku, aku pasti bakal bantu kamu, Nay.”
Aku menatapnya dengan getir. “Dan sekarang kamu udah menikah dengan adikku. Itu bukan perjuangan, Raka. Itu sebuah pengkhianatan ... kamu adik tiriku, sekarang.”
Dia terdiam. Tak ada pembelaan apapun. Hanya tatapan yang penuh dengan banyak luka. Luka yang sama seperti yang aku bawa. “Kalau aku tahu kamu masih hidup ... masih di sini … mungkin semua bakal beda ... aku bakal nolak perjodohan sama Anin.”
“Tapi nyatanya kamu enggak nolak, kan? Kamu milik Anin sekarang. Itu fakta yang harus kamu ingat.” Suaraku nyaris tak terdengar.
Lalu hening. Tapi dalam hening itu, aku tahu, ada sesuatu yang belum selesai di antara kami. Sesuatu yang masih terbakar, meski sudah tertimbun abu bertahun-tahun.
“Aku nggak tahu kalo akhirnya bakal kayak gini, Nay. Waktu Anin cerita dia dekat sama seseorang … aku nggak nyangka kalo itu kamu ... aku pikir kamu juga ngilang dari keluarga kamu.”
“Kamu mencintainya?” tanyaku tiba-tiba dengan menatap wajahnya dalam.
Pertanyaan itu menggantung di udara. Raka menundukkan kepalanya. “Aku masih nyoba.”
Hati ini seperti dipukul dengan beban yang begitu berat. Tapi aku tidak ingin dia tahu betapa sesaknya dada ini.
“Dan kamu? Apa kamu masih …” suaranya lirih.
Aku berdiri dengan cepat. “Aku cuma pengen tidur nyenyak malam ini, Raka. Besok kita pura-pura lupa kalo pernah saling memiliki, bisa?”
Aku berjalan ke arah kamar sebelum air mata itu jatuh. Tapi langkahku tertahan saat kudengar suaranya kembali memecahkan keheningan, “Aku nggak pernah lupa, Nayla. Sekeras apa pun aku nyoba buat ngelupain kamu ... semua terasa sia-sia.”
Aku menutup pintu kamar perlahan, menahan napas seperti sedang menahan seluruh dunia agar tidak runtuh. Di balik pintu ini, aku menangis. Di balik dinding ini, ada pria yang dulu ingin kunikahi—dan kini menjadi suami adikku. Dan entah bagaimana… besok pagi aku harus menyapa mereka seperti tidak terjadi apa-apa.
***
Sinar matahari menyelinap masuk dari celah gorden ruang tamu, menyiram ruangan dengan kehangatan yang tak sepadan dengan suasana hati di dalamnya. Suara burung terdengar dari luar jendela, tapi rumah ini… terlalu tenang. Terlalu sunyi untuk pagi setelah sebuah pesta pernikahan.
Aku bangun lebih awal, mungkin karena semalaman tidurku tak pernah benar-benar nyenyak. Dada ini masih sesak, dan udara pagi tak membantu sama sekali. Aku berjalan menuju dapur, mengenakan cardigan tipis di atas piyama. Begitu membuka kulkas, aku mendapati segelas susu dan sisa roti tawar. Aku sibuk sendiri, mengoleskan mentega ke roti, hingga suara langkah kaki membuatku menoleh.
Raka berdiri di ambang dapur, mengenakan kaus tidur dan celana kain. Rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya masih menyimpan sisa kantuk.
“Pagi,” ucapnya singkat.
Aku mengangguk pelan. “Pagi.”
Dia mengambil gelas dari rak dan mengisi air dari dispenser. Tidak ada obrolan basa-basi, tidak ada percakapan hangat khas pagi hari. Hanya dua orang dengan masa lalu yang terlalu dalam, berdiri dalam dapur kecil yang terlalu sempit untuk jarak hati mereka.
“Kamu tidur di kamar tamu, ya?” tanyanya kemudian.
“Iya. Harusnya aku izin dulu ya ke kamu, ini rumah kamu dan Anin,” sahutku sambil berusaha tersenyum tipis. “Tapi tenang aja, aku nggak bakal lama numpang di sini.”
Raka menatapku, lama. Lalu berkata pelan, “Nayla, kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau. Aku ... kami nggak keberatan.”
“Jangan sok baik, Rak,” bisikku. “Kita tahu hubungan ini bakal semakin rumit kalo kita terus-terusan berada di lingkungan yang sama. Anin belum tahu apa pun tentang kita di masa lalu. Dan aku nggak mau jadi alasan kalau nanti rumah tangga kalian goyah.”
“Kamu pikir aku nggak mikirin itu setiap hari pas tau kamu mau datang?” Raka membalas dengan suara serak. “Tapi aku juga manusia, Nay. Aku juga bingung. Aku juga masih—”
“Berhenti,” potongku, menatap matanya. “Kita nggak boleh terus-terusan kayak gini.”
Hening menggantung di antara kami.
“Anin sayang sama kamu,” tambahku lebih pelan. “Dan dia pantas dapetin cinta yang penuh, bukan sisa-sisa masa lalu yang belum kelar.”
Raka hanya menunduk, ia tak menjawab apapun.
Aku meletakkan roti yang belum sempat kumakan, lalu menarik napas panjang.
“Aku mau keluar bentar, cari udara segar,” kataku sambil mengambil jaket.
Saat aku membuka pintu depan, suara notifikasi HP Raka terdengar dari meja. Aku sempat melirik dan membaca sekilas dari layarnya yang menyala:
Anindya: 'Sayang, aku pulang siang ini. Kangen kamu. Sarapan yang banyak ya. Muach!'
