Bab 5
Di dalam tenda, Gina duduk bersandar pada sleeping bag yang masih setengah tergulung. Tangan kirinya memainkan ujung tali hoodie, sementara pikirannya terus terpaku pada suara gitar dan nyanyian yang datang dari kejauhan. Ia tahu lagu itu. Bukan lagu terkenal, tapi semacam lagu underground yang hanya dikenal oleh lingkaran sempit pecinta skena. Lagu yang biasanya hanya dibawakan di gigs kecil, dengan penonton setia yang tahu betul rasa di balik liriknya.
Tanpa sadar, bibir Gina ikut menyanyikan bait terakhirnya…
"Kabari ku lagi lewat angin…
berhembus keras, hempaskan ku…
membunuhku…”
Suara pelannya cukup terdengar di dalam tenda. Dan Yuna, yang sedang menyortir botol minum dan cemilan di pojok tenda, menoleh cepat.
“Lo… lo nyanyi?” tanya Yuna sambil mengerutkan kening.
Gina reflek menutup mulutnya sendiri, lalu terkekeh kecil.
“Eh iya, sorry… reflek.”
Yuna mengamati Gina beberapa detik, lalu senyum menyudut.
“Lo hafal lagu itu?”
“Iya, lagu itu jarang banget orang tahu. Gue kira cuma gue yang suka,” jawab Gina sambil membetulkan posisi duduk.
Kemudian dia menoleh ke arah luar tenda, arah di mana suara gitar barusan berasal, dan bergumam sambil tersenyum kecil:
“Eh… suara Ncex itu bagus, lo.”
Yuna melirik Gina tajam, lalu pura-pura batuk.
“Ih gila. Lo tuh udah mulai bahaya.”
“Kenapa?” tanya Gina polos.
“Karena biasanya kalau udah suka sama suara orang, itu tandanya hati lo udah ikut nyangkut.”
Gina tertawa, tapi tak membantah. Tatapannya tetap tertuju pada luar tenda. Dan dalam diamnya, ia tahu—perasaan itu... mulai tumbuh. Perlahan, tapi pasti.
Pagi itu kabut belum sepenuhnya menghilang, tapi rombongan sudah bersiap melanjutkan perjalanan menuju puncak. Udara dingin masih menggigit kulit, namun semangat para pendaki justru menghangatkan suasana. Setelah sarapan ringan dan pengecekan logistik, rombongan kembali berjalan menembus jalur yang semakin curam dan sempit.
Langkah demi langkah menapak tanah lembab, suara dedaunan basah terinjak terdengar di antara hembusan napas yang mulai teratur. Di tengah rombongan, Gina sengaja menyelaraskan langkahnya dengan Ncek, yang seperti biasa berjalan tenang di depan, mengamati jalur dengan serius tapi santai.
Beberapa saat mereka hanya diam, sampai akhirnya Gina membuka pembicaraan dengan nada ringan:
"Lu juga anak skena, kan?"
Ncek menoleh sedikit, menatap Gina sekilas sebelum kembali memandang ke depan. Ia mengangkat alis pelan.
"Kok nanya gitu?"
"Soalnya... dari gaya lo, dari lagu yang lo mainin semalam, dari aura lo juga," jawab Gina sambil tersenyum tipis.
"Itu bukan aura anak kampus biasa, Ncek."
Ncek menghela napas kecil, lalu mengangguk.
"Dulu iya. Anak gigs banget malah. Sering ngisi di panggung-panggung kecil, event lokal, kadang bantuin komunitas juga."
"Sekarang?" tanya Gina, nadanya lebih pelan.
"Sekarang… lebih sering nyepi. Tapi musik masih jalan, masih jadi tempat gue pulang kalau lagi muak sama dunia," ucap Ncek tanpa menoleh, tapi suaranya dalam, terasa jujur.
Gina mengangguk pelan.
"Gue juga dulu sering ikut gigs di Bandung, kadang jadi panitia, kadang cuma jadi penonton barisan depan yang paling ribut. Tapi sekarang... ya, lagi adaptasi di tempat baru."
Ncek akhirnya menoleh, kali ini menatap mata Gina lebih lama.
"Kayaknya lo nggak perlu adaptasi lama. Lo udah cocok dari awal."
Gina tersenyum, lalu menunduk sedikit, menyembunyikan rona di pipinya.
"Apa karena gue tahu lagu semalam itu?"
"Karena... lo nyanyiinnya dengan rasa," jawab Ncek singkat.
Lalu mereka kembali berjalan, diam lagi, tapi tidak terasa canggung.
Langkah mereka masih terus menapaki jalur menanjak yang mulai dihiasi embun di dedaunan, tapi suasana hati keduanya terasa lebih ringan sejak obrolan tadi. Gina menoleh ke arah Ncek, senyumnya kecil tapi tulus, seperti sedang menyusun keberanian.
"Eh, nanti ajakin gue nonton gigs di sini dong," ucapnya sambil memainkan tali tas yang menjuntai di pinggangnya.
"Penasaran juga sama anak-anak skena Banjarmasin, katanya keras-keras."
Ncek menoleh singkat, lalu menyunggingkan senyum tipis.
"Ya, boleh sih. Minggu depan gimana? Biasanya hari Sabtu ada event kecil di coffee shop pojokan Kampung Musik."
Gina tampak antusias.
"Serius lo? Wah seru tuh! Gue udah lama nggak ngerasain moshpit."
Ncek tertawa pelan.
"Di sana moshpit-nya nggak seganas Bandung, tapi crowd-nya solid. Lagian kalau lo datang, fix bakal banyak yang nengok. Anak baru, cantik, bawa aura Nike Ardilla pula."
Gina nyengir, pura-pura sewot.
"Ih, gombal ya lo sekarang?"
"Nggak gombal. Realita," jawab Ncek santai.
Gina diam sebentar, matanya menatap jalur di depan, tapi bibirnya masih menyunggingkan senyum.
"Oke, deal. Tapi lo yang traktir minum."
"Deal. Tapi jangan nyari Amer ya, gue udah tobat," jawab Ncek sambil nyengir lebar.
Mereka tertawa kecil bersama. Di tengah kabut, di antara suara langkah rombongan yang mulai menjauh ke depan, obrolan itu terasa sederhana—tapi cukup untuk membuka jendela baru dalam hidup mereka yang selama ini penuh dinding.
Semakin tinggi mereka mendaki, jalur mulai menyempit dan ditumbuhi semak yang lebih rapat. Kabut menggantung lebih tebal, dan udara menusuk tulang dengan dingin yang makin terasa menggigit. Pepohonan mulai jarang, menandakan ketinggian mereka sudah mendekati batas vegetasi. Angin berhembus lebih kencang, membawa serta uap dingin dari lembah-lembah yang tersembunyi di bawah sana.
Gina, yang dari awal tampak bersemangat, mulai menunjukkan perubahan. Langkahnya melambat, dan tangannya kini tak lepas dari lengan jaket yang ia rapatkan erat-erat. Ujung hidungnya memerah, dan napasnya terlihat mengepul setiap kali ia mengembuskan udara.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Ncek, memperhatikan gelagat Gina yang mulai kaku.
Gina mengangguk, tapi jelas terlihat dia mulai menggigil.
“Gue… gue nggak nyangka bakal sedingin ini. Kayak… nyedot AC tiga PK langsung.”
Ncek tersenyum kecil, lalu berhenti sejenak dan membuka ranselnya. Ia mengeluarkan sebuah buff tebal dan sarung tangan tambahan yang masih bersih.
“Sini, pake ini dulu. Buff-nya tarik sampai nutup leher sama dagu. Sarung tangan ini bisa bantu ngurangin dinginnya.”
Gina menerimanya dengan ragu.
“Tapi ini punya lo—”
“Tenang, gue masih ada satu lagi di dry bag. Gue udah biasa naik begini, lo belum. Lagian, kalau lo tumbang, siapa yang mau gue ajak ke gigs minggu depan?” ucap Ncek dengan senyum ringan.
Gina menatapnya sesaat, lalu tersenyum sambil mengenakan perlengkapan itu.
“Makasih ya, Ncek…”
“Santai. Gue cuma nggak mau lo turun nanti pakai jaket tebal plus flu, terus nyalahin gunung,” balasnya sambil melanjutkan langkah.
Gina berjalan sedikit lebih dekat ke arah Ncek kali ini, seakan merasa lebih aman.
Gina yang baru pertama kali mengalami suhu sedingin ini mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Napasnya tersengal, tangan dan kakinya mulai gemetar hebat, meskipun sudah memakai jaket tebal dan perlengkapan hangat dari Ncek.
Tiba-tiba, tubuh Gina mulai membeku, langkahnya terpincang-pincang dan wajahnya berubah pucat. Ia mulai kehilangan kesadaran perlahan, bibirnya membiru, dan tubuhnya kaku.
Yuna, yang berjalan di belakang, langsung menyadari perubahan serius itu. Jantungnya berdegup kencang, ia segera berlari mendekati Gina sambil panik.
“Gina! Gina! Bangun, lo kenapa?!” teriak Yuna dengan suara gemetar, sambil mencoba menggetarkan bahu Gina.
Namun, tubuh Gina semakin lemas dan mulai menggigil hebat — tanda-tanda klasik hipotermia yang sudah mulai parah.
Yuna segera memeriksa suhu tubuh Gina yang dingin sekali, kemudian dengan suara bergetar ia berteriak, “Ncek! Bantuin gue, cepat! Gina kena hipotermia!”
Ncek yang berada tak jauh dari situ segera berlari menghampiri, melihat Gina yang sudah hampir tak sadarkan diri. Tanpa membuang waktu, ia membuka jaketnya dan membungkus Gina dengan cepat, mencoba menghangatkannya sambil berusaha menenangkan Yuna.
“Tenang, kita harus cepat turun dan cari tempat yang lebih hangat!” kata Ncek dengan tegas, matanya penuh fokus.
Yuna menatap Ncek dengan wajah setengah khawatir, setengah kesal.
“Tapi lu gak sampai puncak dong?” ucap Yuna sambil mengerutkan kening.
Ncek menghela napas, matanya tetap fokus pada Gina yang mulai lemas di pelukannya.
“Ya gue nggak papa. Lagian gue juga udah sering sampai puncak,” jawabnya tenang tapi tegas.
Yuna mengangguk, lalu tersenyum samar sambil berkata,
“Ya, udah kalo gitu. Gue jagain teman gue ya. Bener ya, barang bagus lo itu.”
Ncek hanya mengangguk, lalu memanggul Gina dengan hati-hati di pundaknya. Perlahan tapi pasti, langkahnya mulai menurun menembus kabut dan dingin yang masih menggigit.
Dalam keheningan malam itu, yang terdengar hanya suara langkah kaki berat Ncek dan detak jantung yang berusaha tetap kuat, membawa Gina menjauh dari puncak yang tak jadi mereka raih malam ini.
