Bab 4
Keesokan harinya, matahari belum sepenuhnya naik saat area basecamp sudah mulai sibuk. Suara roll call, tawa riuh, hingga gesekan peralatan mendaki terdengar di mana-mana. Para panitia berdiri di depan, mulai memanggil nama-nama untuk pembagian kelompok pendakian.
Di tengah keramaian itu, Ncek berdiri dengan santai di pojok area, menyender di pohon dengan tas carrier di sampingnya. Tidak seperti peserta lain yang datang dengan kelompok atau teman, dia selalu sendiri. Itu sudah jadi ciri khasnya sejak dulu—lone ranger, kata orang-orang.
Tenda kecilnya sudah dia siapkan sejak semalam, lengkap dengan logistik pribadi. Kompor portable, kopi sachet, bahkan senter kepala yang sudah dia modif sendiri. Semuanya dirancang agar dia tak bergantung pada siapa pun.
Panitia mulai membacakan daftar:
“Kelompok 1: Anjar, Meta, Dika, Dini…”
“Kelompok 2: Ncek…”
Ncek mengangkat kepala sedikit, malas.
“…Gina, Yuna, dan Jefri.”
Alisnya sedikit terangkat. Dia menoleh ke arah kerumunan, tepat saat Gina juga menoleh dari kejauhan. Pandangan mereka bertemu sesaat. Tak ada senyum, tak ada sapaan—hanya kontak mata yang singkat… tapi cukup untuk membuat dada Ncek terasa aneh.
Sementara di sisi lain, Yuna merangkul lengan Gina sambil berbisik,
“Misi berhasil. Lo satu tim, Gin.”
Gina menarik napas panjang, lalu menghembuskan pelan.
"Sekarang tinggal gimana gue gak beku di jalan."
Yuna nyengir.
"Tenang, nanti juga leleh sendiri... asal jangan bekuin hati dia juga."
Dan matahari pagi itu mulai naik, menghangatkan tanah basah yang semalam diguyur embun. Pendakian belum dimulai, tapi langkah hati mereka... sudah mulai menanjak perlahan.
Pagi menjelang siang itu, para peserta mulai bersiap untuk berangkat. Carrier di punggung, tracking pole di tangan, dan suara cekikikan serta langkah kaki mulai mengisi jalur awal pendakian. Udara masih segar, aroma hutan mulai terasa, dan deru nafas mulai terdengar dari barisan belakang.
Ncek berjalan di posisi agak belakang, seperti biasa, santai, tidak banyak bicara. Di depannya, Yuna dan Gina berjalan berdampingan, saling bertukar cerita ringan—kadang tertawa, kadang hanya diam menikmati suara alam. Tapi setiap beberapa menit, Gina selalu melirik ke belakang… diam-diam mencuri pandang ke arah Ncek.
Sampai akhirnya, saat melewati jalur menanjak yang cukup curam dan peserta mulai melambat, Yuna sengaja memperlambat langkahnya, lalu menepuk bahu Gina, “Lo bareng dia duluan deh, gue mau pipis dulu, hehe.”
Gina nyaris protes, tapi Yuna sudah belok ke jalur semak ringan dengan senyum jail.
Gina yang kini sendirian melambatkan langkahnya, dan akhirnya… Ncek menyusul dari belakang.
Mereka kini berjalan berdampingan. Beberapa langkah sunyi, hanya suara sepatu menjejak tanah dan gesekan ranting.
Lalu, dengan suara pelan tapi jelas, Ncek membuka pembicaraan, “Ternyata lo ikut juga ya.”
Gina menoleh sekilas. Senyum tipis tersungging.
“Ternyata lo inget gue.”
Ncek menunduk sedikit, senyum geli di wajahnya.
“Susah dilupain, sih. Apalagi waktu itu lagi muter Bestiality.”
Gina tertawa pelan. Ada sesuatu dalam tawa itu yang membuat suasana langsung mencair.
Setelah hening sejenak, Ncek bertanya,
“Nama lo siapa, kalau boleh tau? Kan kemarin kita gak sempat kenalan.”
Gina menoleh ke samping, menatap langsung ke arah mata Ncek.
“Regina Putri. Panggil aja Gina.”
Ncek mengangguk pelan.
“Ncek. Tapi kayaknya lo udah tau, ya?”
Gina menyeringai,
“Iya, si Yuna cerewet banget soalnya.”
Mereka tertawa bersama. Dan untuk pertama kalinya, langkah Ncek terasa ringan dalam pendakian. Seolah dia tak lagi membawa beban di punggung—atau di hatinya.
Sementara Gina, untuk pertama kalinya sejak lama… merasa ingin membuka sedikit pintu yang selama ini selalu ia kunci rapat.
Di sepanjang jalur yang mulai menanjak, suasana pendakian semakin terasa. Langkah-langkah menjadi lebih pelan, napas teratur, dan suara-suara riuh mulai tergantikan dengan fokus masing-masing peserta menaklukkan tanjakan.
Gina berjalan di samping Ncek yang tampak berbeda saat berada di hutan. Sikapnya yang biasanya diam dan terlihat dingin, kini berubah. Ia lebih aktif berbicara, sesekali memberi arahan ringan, dan tampak begitu akrab dengan medan.
“Kalau nemu jalur bercabang kayak gini, mending ambil yang agak nanjak dikit tapi jelas bekas tapak kaki,” ucap Ncek sambil menunjuk satu arah.
“Kadang jalur datar yang kelihatan enak itu malah jebakan—bisa-bisa masuk jalur binatang atau jurang.”
Gina memperhatikan dengan serius.
“Lo sering naik gunung, ya?”
“Udah dari SMA. Dulu gabung mapala kampus juga, tapi ya… sekarang lebih sering jalan sendiri.”
Nada suaranya ringan, tapi mata Ncek tetap waspada, terus menilai jalur, kondisi tanah, dan rombongan di depan mereka.
“Lo tahu gak, ada aturan gak tertulis di gunung,” lanjut Ncek.
“Kayak gak buang sampah sembarangan, gak teriak-teriak sembarangan, dan yang paling penting: saling jaga. Di atas sini, lo gak cuma mikirin diri lo sendiri.”
Gina mengangguk pelan. Sorot matanya berubah, kini lebih dalam, seolah melihat sisi lain dari cowok yang sebelumnya hanya ia nilai dari jaket band dan pandangan kosong di café.
“Kalo soal buang sampah dan suara sih, gue tahu. Tapi soal saling jaga itu… menarik,” gumam Gina.
“Iya,” kata Ncek.
“Soalnya kadang yang bikin orang celaka di gunung bukan cuaca atau jalur—tapi karena dia ngerasa sendirian, gak ada yang peduli.”
Mereka diam sejenak.
Gina memandangi tanah di depan mereka, lalu menoleh lagi ke arah Ncek.
“Gue seneng bisa satu jalur sama lo.”
Ncek hanya tersenyum kecil. Tidak menjawab, tapi tatapannya mengatakan cukup banyak.
Angin gunung berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan. Di antara pohon-pohon tinggi dan jalur kecil penuh batu, dua orang yang saling asing itu perlahan mulai merasa... tidak terlalu asing lagi.
Setelah perjalanan panjang melewati jalur licin, tanjakan akar, dan kabut yang mulai turun tipis, rombongan akhirnya tiba di Pos 4. Suasana mulai hening, hanya terdengar suara napas lelah dan ritsleting carrier yang dibuka.
Pohon-pohon tinggi mengelilingi area pos itu, tanahnya agak landai dengan ruang cukup untuk beberapa tenda. Sebagian peserta langsung sibuk mencari spot terbaik, membentangkan flysheet, dan menyusun logistik mereka.
Ncek, seperti biasa, tak banyak bicara. Ia langsung berjalan agak menjauh dari kerumunan, menuju sisi yang sedikit menjorok ke bawah, agak tersembunyi di balik semak kecil dan pohon cemara gunung. Di sanalah dia mendirikan tendanya sendiri.
Dengan gerakan teratur, ia memasang pasak, menyusun rangka, lalu menarik flysheet agar tetap kencang. Semua dilakukannya dengan cekatan, seolah sudah ratusan kali dilakukan.
Dari kejauhan, Gina memperhatikannya. Ia duduk bersama Yuna dan Jefri yang sedang menyalakan kompor kecil untuk memasak air.
“Dia selalu sendiri gitu ya?” gumam Gina pelan.
Yuna yang mendengar, mengangguk tanpa menoleh.
“Dari dulu begitu. Kalo ada orang ribut, dia minggir. Kalo ada tenda rame-rame, dia milih bikin sendiri. Katanya, lebih tenang.”
Gina tetap memandangi tenda kecil Ncek yang kini sudah berdiri rapi. Di depan tenda itu, Ncek duduk sendiri, membuka bungkus mie instan dan mulai memasak air dengan kompor portabel. Tak ada musik, tak ada lampu berlebihan hanya suara api kecil dan desiran angin.
“Tenang, ya…” bisik Gina, entah untuk siapa.
Sementara di sisi lain, di balik pohon cemara itu, Ncek sesekali menoleh ke arah rombongan yang masih bercanda. Tatapannya terhenti pada sosok Gina. Lama. Tapi tak ada langkah untuk mendekat.
Malam mulai menebal. Kabut tipis menggantung di sela-sela pohon, sementara suhu udara perlahan turun menggigit kulit. Di antara desiran dedaunan dan suara tenda-tenda yang mulai sepi, terdengar petikan gitar yang halus namun dalam… berasal dari arah tenda paling pinggir. Tenda milik Ncek.
Ia duduk bersandar di batang pohon, gitar kecil di pangkuannya. Asap rokok mengepul dari jarinya, perlahan larut bersama kabut malam. Matanya menatap langit gelap yang tertutup awan, namun pikirannya entah di mana.
Lalu… ia mulai bernyanyi. Suaranya serak, tapi penuh rasa. Pelan, berat, dan menghantam pelan-pelan seperti luka lama yang tak pernah sembuh sepenuhnya.
"Asingkan ragaku dalam gelap,
hingga sesak dan terlelap…
Hindarkan jiwaku pada hari,
di mana kau akan mencari…
"Persetan denganmu, alasanmu,
kuambil naskah tak berlaku.
Kabari ku lagi lewat angin,
berhembus keras, hempaskan ku…
membunuh ku."
Lirik itu mengalir seperti darah dari luka yang tak terlihat. Masing-masing kata terasa seperti pengakuan. Bukan hanya lagu, tapi bagian dari dirinya yang tercecer. Entah untuk siapa, entah untuk apa. Tapi dia tahu, dia ingin seseorang mendengarnya… walau dari jauh.
Dan dari kejauhan, tepat di balik tenda yang hanya berjarak beberapa pohon, Gina duduk dengan headset di tangan. Tapi headset itu tak lagi terpakai. Ia diam, mematung, mendengarkan suara Ncek yang samar-samar sampai ke tempatnya.
Suara itu menyentuh sesuatu dalam dirinya. Liriknya keras, tapi jujur. Sakit, tapi indah. Dan untuk pertama kalinya, Gina melihat sisi lain dari sosok cowok pendiam itu—bukan hanya anak skena dengan jaket band, bukan hanya sosok misterius di cafe atau pendaki tangguh.
Tapi seorang manusia... yang sedang mencoba bicara, dengan caranya sendiri.
