
Ringkasan
"Anak Metal Jadi Mantu" Cinta mereka tumbuh di tengah hiruk-pikuk gigs dan asap angkringan—antara Gina, gadis kalangan atas, dan Ncek, pemuda sederhana pecinta musik metal. Saat status sosial, restu keluarga, dan intrik bisnis mulai mengusik hubungan mereka, pilihan jadi semakin sulit. Terlebih ketika masa lalu, dendam, dan keberanian untuk bertahan jadi taruhan. Mampukah cinta bertahan ketika seluruh dunia seolah menolaknya? Dan benarkah anak metal bisa jadi menantu idaman?
Bab 1
Ryandi Pratama, atau yang lebih dikenal dengan nama panggungnya, Ncheck Pratama, adalah sosok yang mencolok di antara teman-temannya. Seorang mahasiswa semester pertama yang tak bisa dipisahkan dari musik—khususnya underground metal. Bagi Ryandi, dentuman distorsi gitar, raungan vokal growl, dan hentakan double pedal bukan sekadar bunyi; itu adalah napasnya, identitasnya.
Setiap malam minggu, dia nyaris selalu hadir di panggung-panggung kecil yang dipadati penonton fanatik. Entah itu di basement kafe, gudang yang disulap jadi venue, atau sekadar taman kampus yang disulap jadi tempat gig dadakan—Ryandi selalu ada, entah sebagai penonton setia atau pentolan band yang sedang menggebrak.
Rambut gondrong yang sering diikat seadanya, jaket denim penuh patch band-band obscure, serta tatapan mata yang tajam tapi santai… semua itu jadi ciri khasnya. Suaranya berat, tenang, tapi punya energi yang bisa membuat siapa pun terdiam saat dia bicara tentang hal-hal yang dia cintai: musik, gunung, dan sedikit soal idealisme.
Di luar skena musik, dia juga dikenal aktif di organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Banyak yang kaget saat tahu cowok yang sangar di atas panggung ini juga adalah pendaki yang tangguh. Pendakian-pendakian ekstrem, pelatihan survival, dan eksplorasi gua sudah jadi bagian dari kehidupannya. Bahkan di beberapa kesempatan, dia sempat membawa gitar akustik ke pos pendakian hanya untuk sekadar jamming dengan kawan-kawan Mapala di bawah cahaya api unggun.
Dua tahun berlalu sejak hari itu—hari saat ayahnya menghembuskan napas terakhir. Hari ketika dunia Ryandi Pratama berhenti sebentar, lalu berjalan lagi dengan ritme yang tak pernah sama.
Sejak saat itu, Ryandi bukan lagi Ncheck yang dikenal penuh energi di atas panggung. Dia masih memainkan musik, ya, tapi tidak lagi dengan gairah yang sama. Sekarang, hanya sesekali dia tampil, di kafe-kafe kecil yang pengunjungnya tak pernah peduli siapa yang main, asalkan musiknya cukup keras untuk menenggelamkan suara hati yang sepi.
Kuliahnya terbengkalai. Semester demi semester hanya diisi dengan daftar hadir yang kosong dan tugas-tugas yang tak pernah dikumpulkan. Kampus pun seperti bayangan masa lalu—sesuatu yang dulu ia perjuangkan, tapi kini tak lagi terasa penting.
Rambut gondrongnya telah dipangkas. Kini hanya tersisa potongan pendek dengan gaya sedikit berantakan, khas anak screamo yang lebih sering diam daripada berteriak. Wajahnya lebih tirus, tatapannya kosong namun tajam, seperti menyimpan bara yang belum padam sepenuhnya.
Meski begitu, tubuhnya tetap terlatih. Kebiasaan mendaki, melatih stamina di alam liar, dan disiplin keras dari masa-masa Mapala masih melekat. Tapi sekarang, lebih sering dia terlihat duduk sendiri di pojokan kafe, satu tangan menggenggam rokok, tangan lainnya memainkan nada-nada minor di gitar akustik tuanya.
Teman-temannya dulu banyak. Sekarang? Hanya segelintir yang masih berusaha menghubungi. Tapi Ryandi bukan tipe yang senang ditanya-tanya. Dia lebih suka tenggelam dalam sunyi, dalam musik, atau dalam mata seorang wanita yang bisa mengerti diamnya.
Malam itu, saat hujan baru saja reda dan aroma tanah basah masih samar di udara, Ryandi melangkah ke bar kafe untuk memesan minuman. Lampu temaram membuat suasana semakin redup, seperti perasaannya yang tak pernah benar-benar pulih. Tapi justru dalam suram itulah dia melihatnya—seorang gadis yang entah bagaimana, tampak seperti serpihan masa lalu yang hidup kembali.
Gadis itu berdiri sendirian di dekat meja bar, membelakangi panggung kecil tempat Ryandi biasanya tampil. Rambutnya hitam legam, dipotong dengan gaya bob klasik yang mengingatkan Ryandi pada potret-potret lama Nike Ardilla. Gaya old school-nya begitu mencolok, tapi bukan yang dipaksakan atau dibuat-buat. Justru terlihat natural—jaket jeans belel dengan pin band thrash metal di dada kiri, kaos hitam bergambar tengkorak, dan celana jeans ketat yang tergerai di atas sepatu converse tinggi.
Dia tampak berbeda dari gadis-gadis yang biasanya datang ke acara musik seperti ini. Bukan tipe yang ingin diperhatikan, tapi malah sulit untuk diabaikan. Aura misteriusnya seperti magnet. Tatapannya tajam, tapi ada kelembutan tersembunyi di balik garis wajahnya yang halus. Sikapnya tenang, seolah dunia di sekelilingnya berjalan lebih lambat daripada langkahnya sendiri.
Dan di saat itulah, mata mereka bertemu.
Sekilas. Tapi cukup untuk membuat detak jantung Ryandi—yang sudah lama datar—berdegup sedikit lebih keras dari biasanya.
Gadis itu pun menatapnya sekilas—bukan tatapan acuh, melainkan seakan ada rasa penasaran yang sama, yang menggantung di udara di antara mereka. Sebuah momen singkat, tapi cukup dalam untuk meninggalkan gema di dada Ryandi.
Detik itu juga, ada dorongan dalam dirinya. Hasrat untuk menyapa. Untuk sekadar berkata, "Hai, kamu suka musik metal juga?" atau mungkin, "Aku sering main di sini." Tapi kata-kata itu hanya mengendap di tenggorokannya, tak pernah benar-benar keluar.
Karena di saat yang bersamaan, kenyataan menamparnya pelan.
Dia sadar... dirinya sekarang bukan siapa-siapa. Bukan lagi Ncheck Pratama yang dielu-elukan di panggung lokal. Bukan lagi mahasiswa dengan masa depan yang cerah. Sekarang dia hanya lelaki muda yang gagal kuliah, tinggal di kamar sewa kecil, bermain musik hanya untuk mengisi waktu, bukan lagi mengejar mimpi.
Apa yang bisa dia tawarkan pada gadis seperti itu? Yang aura lamanya memancarkan sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Yang berdiri dengan penuh percaya diri, seolah tahu tempatnya di dunia ini.
Jadi Ryandi hanya menatapnya dari jauh. Menyesap udara yang sedikit lebih berat malam itu, lalu menunduk pelan, memesan minumannya dengan suara lirih.
Dan gadis itu pun berlalu, meninggalkan wangi samar parfum vintage yang menyelinap dalam ingatan Ryandi lebih dalam dari yang ia duga.
Dua hari berlalu sejak malam itu. Malam saat sepasang mata dan seulas senyuman berhasil menyusup ke dalam ruang paling sunyi di hati Ryandi—ruang yang bahkan musik pun tak lagi bisa isi sepenuhnya.
Namun kini, senyuman itu hadir terus-menerus di pikirannya. Bukan yang lebar atau dibuat-buat, melainkan senyum ringan, nyaris tak terlihat… tapi cukup untuk menanamkan rasa yang belum bisa dia definisikan.
Malam ini, Ryandi duduk di depan jendela kamar sewanya yang selalu terbuka setengah. Lampu neon jalan memantulkan cahaya pucat ke dinding. Rokok menyala di antara jari-jarinya, asapnya naik pelan, berbaur dengan udara pengap kamar yang jarang dibereskan.
Dengan ponsel di tangan, dia menjelajahi Instagram dan Facebook seperti orang yang sedang mencari hantu—mencari jejak gadis itu. Padahal dia tak tahu apa-apa: tidak tahu nama, tidak tahu akun media sosial, bahkan tidak yakin gadis itu akan kembali ke kafe yang sama.
Dia hanya mengetik kata-kata acak di kolom pencarian: tagar #metalhead, lokasi kafe tempat mereka bertemu, mencari komentar atau foto yang mungkin saja memuat wajah itu. Setiap profil yang terlihat sedikit mirip langsung dibuka, dilihat satu per satu, hanya untuk berakhir kecewa.
Waktu bergulir, rokok habis. Tapi pikirannya tetap menggantung di malam itu.
Satu senyum, satu tatapan, satu momen pendek—tapi cukup untuk menghidupkan kembali sesuatu dalam dirinya. Entah itu harapan, atau luka yang belum pernah benar-benar sembuh.
Esok harinya, saat matahari nyaris tenggelam dan langit mulai membakar jingga, ponsel Ryandi bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari salah satu temannya—teman lama dari komunitas musik yang masih sesekali mengajaknya keluar meski tahu Ryandi lebih sering menolak.
> "Bro, gue di stand clothing anak-anak distro nih. Lagi rame, banyak rilisan baru. Nongkrong yok, sekalian liat-liat, siapa tau lo nemu jaket yang cocok buat balik ke panggung, hehe."
Ryandi menatap layar ponselnya cukup lama sebelum akhirnya meletakkannya di atas meja. Hatinya setengah ingin menolak, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini dia berdiri. Memungut jaketnya dari gantungan, menyampirkannya di bahu, lalu keluar tanpa banyak pikir.
Stand clothing itu terletak di salah satu sudut kawasan kreatif kota, semacam event kecil yang rutin digelar untuk para pecinta skena underground. Lapak-lapak berdiri berjajar, memajang baju band, patch, stiker, hingga aksesoris dengan desain nyentrik. Bau sablon plastisol, parfum khas anak lapangan, dan kopi sachet menyatu dalam aroma khas dunia bawah tanah yang dulu sangat akrab bagi Ryandi.
Langkah kakinya pelan, menyusuri lorong-lorong lapak sambil sesekali menyapa wajah-wajah lama. Musik dari speaker kecil memutar lagu-lagu lawas Sepultura dan Burgerkill, memompa sedikit adrenalin di dadanya.
