Bab 6
Langkah kaki Ncek semakin berat, tiap pijakan terasa melelahkan di tanah yang licin dan berkerikil. Angin dingin berhembus kencang, menusuk hingga ke tulang, tapi ia tak peduli. Satu-satunya yang penting sekarang adalah menjaga Gina tetap hangat dan selamat.
Gina, setengah terlelap dalam pelukan hangat yang menggendongnya, hanya mampu merasakan tubuhnya yang berat dan pandangan yang mulai buram. Ia tak sepenuhnya sadar, tapi satu hal yang terasa jelas: ada kehadiran kuat yang melindunginya dari dingin yang menggigit.
Dalam kegelapan dan kesejukan malam itu, suara napas Ncek yang teratur menjadi satu-satunya penanda bahwa ia masih ada di sana, mengusir kesunyian yang mengancam. Gina menggenggam sedikit kain jaket yang membungkusnya, seolah berusaha meraih secercah rasa aman yang tak tergantikan.
Setelah perjuangan menuruni jalur terjal dan dingin yang menggigit, akhirnya Ncek tiba di posko ke-5, lalu terus menuruni jalur hingga sampai di posko ke-4—tempat terakhir yang cukup aman untuk beristirahat. Nafasnya berat, keringat bercampur embun menetes dari pelipisnya, tapi ia tetap memeluk tubuh Gina erat-erat, memastikan gadis itu tak kehilangan suhu tubuhnya.
Di tengah langkahnya yang mulai melambat, Ncek merasa tubuh di pelukannya bergerak sedikit. Kepala Gina yang semula bersandar lemas di dadanya, kini perlahan mendongak. Matanya yang setengah terbuka mulai menyesuaikan cahaya redup di sekitar.
Suara Gina terdengar pelan, serak, namun jelas.
"Maaf ya... gue ngerepotin kalian semua," ucapnya lirih, dengan nada penuh rasa bersalah.
Ncek hanya menoleh sekilas ke wajahnya, bibirnya menyunggingkan senyum lelah.
"Ngerepotin apaan. Lu cuma salah satu alasan kenapa gue harus tetap kuat jalan tadi," katanya, tenang tapi penuh makna.
Gina terdiam sejenak, menatap Ncek dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Tapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Ncek sedikit tertawa pelan, meski napasnya masih berat karena perjalanan panjang tadi. Ia menatap ke depan, menyandarkan punggungnya pada batu besar di posko ke-4 sambil tetap memeluk Gina yang belum sepenuhnya pulih.
"Btw… gue gak berat kan?" tanya Gina lirih, sambil mempererat pelukannya, seolah ingin memastikan dirinya masih ada, masih terasa hangat di tengah udara yang dingin itu.
Ncek melirik ke arahnya, senyum tipis terukir di sudut bibirnya.
"Berat? Nggak tuh… kayak bawa harapan terakhir umat skena," jawabnya ringan, menggoda.
Gina tertawa pelan, meski napasnya masih sedikit gemetar.
"Ih… bisa aja lo."
"Tapi serius, kalo emang berat, gue juga nggak akan nyampe sini. Tapi gue nyampe, dan lo masih gue gendong, itu berarti... lo pas."
Ucap Ncek, kali ini nadanya tenang, tulus.
Ncek hanya menghela napas pelan, matanya memandang kabut yang mulai turun di sekitar posko. Tapi senyum kecilnya tak bisa disembunyikan.
"Enak kan… dipeluk cewek cantik?" goda Gina sambil menyandarkan kepalanya lebih nyaman di dada Ncek, suaranya terdengar lebih ringan, seperti sedang menyembunyikan degup jantung yang mulai tak karuan.
Ncek tertawa kecil, nadanya datar tapi hangat.
"Kalo gue jawab ‘iya’, nanti lo makin songong."
Gina nyengir, matanya masih setengah sayu, tapi jelas ada percikan jahil di baliknya.
"Lah emang bukan fakta ya?"
Ncek melirik sekilas ke arah wajah Gina, lalu menunduk sedikit.
"Faktanya sih, cewek cantik ini baru aja hampir tumbang di gunung, dan sekarang lagi numpang pelukan sambil ngaku-ngaku."
"Ih! Jahat lo!"
Gina mencubit pelan lengan Ncek, tapi tetap tak melepaskan pelukannya.
Ncek tertawa lagi, kali ini lebih lepas.
"Tapi serius… kayaknya gue nggak keberatan kalo harus gendong lo lagi."
"Hemm… itu mah enaknya kamu aja," jawab Gina manja, bibirnya membentuk senyum jahil, tapi matanya menyimpan rasa yang hangat. Ia masih bersandar pada Ncek, meski tubuhnya perlahan mulai pulih dari dingin yang sempat mengguncang.
Perjalanan mereka berlanjut menembus kabut senja yang perlahan menebal. Malam mulai turun saat mereka akhirnya tiba di posko ke-3. Udara terasa lebih dingin, hening, hanya suara alam dan desiran dedaunan yang jadi pengiring langkah-langkah terakhir mereka.
Tanpa banyak bicara, Ncek langsung mendirikan tenda kecilnya, di sudut aman yang sedikit terlindung dari angin. Gerakannya cepat dan terlatih, menunjukkan bahwa ini bukan pertama kalinya ia menghadapi kondisi seperti ini. Gina hanya duduk bersandar pada ransel, memeluk lutut sambil membungkus tubuhnya dengan sleeping bag tipis yang tadi diberikan Ncek.
Tak lama kemudian, uap hangat mengepul dari kompor portable yang menyala pelan di depan tenda. Aroma kopi hitam mulai memenuhi udara.
"Nih, minum dulu. Biar hangat," ucap Ncek sambil menyodorkan gelas logam kecil berisi kopi panas ke Gina.
Gina menerimanya dengan kedua tangan, dan saat menyeruput sedikit kopi itu, ia mendesah pelan.
"Hmm… enak. Lo selalu siapin beginian tiap naik gunung?"
Ncek hanya mengangguk sambil duduk di sampingnya.
"Naik gunung itu soal persiapan. Apalagi kalo bawa penumpang yang suka manja."
"Yeee… dibilang manja!"
Gina memukul pelan bahunya, tapi senyumnya tak hilang.
Ncek yang sedang menyesap kopinya hanya menoleh pelan ke arah Gina saat mendengar suara lirih itu.
"Ncek… aku masih kedinginan," ucap Gina pelan, suaranya gemetar tipis, bukan hanya karena udara, tapi juga rasa canggung yang sengaja ia bungkus dalam nada manja. Matanya tidak menatap langsung, tapi jelas—kalimat itu bukan sekadar laporan cuaca.
Ncek meletakkan gelas kopinya perlahan, menatap Gina dengan pandangan setengah serius.
"Lo minta apa, Gin?" tanyanya datar, tapi alisnya terangkat sedikit, seperti menantang.
Gina memainkan ujung selimut yang membalut tubuhnya, lalu berdeham kecil.
"Ya… masa gue ngomong duluan sih…" gumamnya.
Ncek tersenyum kecil. Ia menggeser duduknya, mendekat, lalu membuka jaket outdoor-nya yang tebal.
"Sini," ucapnya singkat.
Gina pun bergerak pelan, masuk ke pelukan Ncek tanpa banyak kata. Jaketnya lebar, cukup untuk membungkus mereka berdua dari dingin malam pegunungan. Tubuh Gina bersandar erat, kepalanya menyender di dada Ncek, mendengar dentuman jantung yang kini lebih stabil dibanding tadi.
"Gue nggak nyangka lo bisa segini... manja," bisik Ncek sambil membenarkan letak jaketnya yang menutupi mereka.
Gina hanya tersenyum kecil, matanya terpejam.
"Bukan manja, cuma… kadang cewek juga pengen ngerasa aman, gitu."
Malam terus merangkak naik, suhu semakin turun, tapi di dalam tenda kecil itu justru kehangatan makin terasa pekat. Nafas mereka beradu dekat, dan suara alam di luar seperti menghilang, menyisakan hanya degup jantung dan detak waktu yang seakan melambat.
Dalam pelukan yang erat itu, Ncek menatap wajah Gina dari jarak yang begitu dekat. Matanya dalam, serius, namun tak ada tekanan. Hanya kejujuran seorang lelaki yang ingin tahu…
"Lu gak takut, Gin… gue apa-apain gitu?" bisiknya pelan, nyaris seperti desir angin. Tatapan mereka bertemu, dan dalam sorot mata Ncek ada campuran antara rasa ingin melindungi dan rasa penasaran sebagai laki-laki.
Gina yang masih bersandar, mengangkat wajahnya pelan, menatap balik Ncek hanya sedetik sebelum wajahnya langsung memerah.
"Gak…" ucapnya pelan, nyaris seperti bisikan juga.
"Gue tahu lu bukan cowok kaya gituan."
Setelah menjawab, Gina cepat-cepat menyembunyikan wajahnya kembali di dada Ncek, malu setengah mati, tapi tak ingin menjauh. Pelukannya justru semakin erat, seolah ingin berkata bahwa ia percaya, bukan karena naïf, tapi karena yakin siapa Ncek sebenarnya.
Ncek menarik napas pelan, senyumnya muncul tipis. Tangannya hanya mengusap perlahan punggung Gina, seperti mengatakan, gue di sini, gak ke mana-mana.
"Gue jaga lo, Gin. Bukan cuma malam ini."
Ucapan itu lirih… tapi menggantung di udara dengan makna yang dalam.
Ncek tertawa pelan, nada suaranya rendah dan santai, tapi ada senyum kecil yang gak bisa disembunyikan dari bibirnya.
"Hah, lu barusan ngomong apa?" tanya Gina, pura-pura gak dengar, meski jelas ia mendengar tiap kata tadi—dan mungkin malah mengulangnya di dalam kepala.
Ncek mengangkat alis, menunduk sedikit biar wajahnya lebih dekat ke Gina yang masih bersandar di dadanya.
"Heh, jangan pura-pura budeg. Tadi gue bilang gue jaga lo."
Ia mengatakannya ulang dengan nada lebih pelan, tapi lebih dalam—bukan kalimat gombal, tapi janji kecil yang keluar dari tempat paling jujur dalam dirinya.
Gina terdiam sesaat, masih berpura-pura menyembunyikan wajah di dada Ncek, tapi bibirnya menyungging senyum malu-malu.
"Iya sih… gue dengar. Tapi enak juga sih, denger dua kali," ucapnya dengan nada manja, lalu menggenggam jemari Ncek yang melingkar di bahunya.
"Berarti harus gue ulang tiap malam dong?" goda Ncek pelan.
Gina terkekeh kecil, lalu menutup matanya dalam pelukan hangat itu.
"Asal jangan cuma malam ini, ya."
Dan di antara desir angin malam, tenda itu bukan lagi sekadar tempat berlindung dari dingin… tapi jadi saksi diam dari awal sesuatu yang belum mereka beri nama, tapi keduanya sama-sama tahu — ini lebih dari sekadar pelukan hangat.
Malam Minggu pun tiba, malam yang sudah mereka rencanakan sejak di kaki gunung — malam di mana Ncek akan menjemput Gina untuk nonton gigs lokal. Sebuah event kecil di sebuah café underground yang biasa jadi tempat nongkrong anak-anak skena.
Dengan motor butut andalannya, Ncek tiba di depan rumah Gina. Helm full face-nya ia lepas perlahan, lalu duduk sebentar di atas motor sambil mengirim chat pendek.
"Gue udah di depan, Gin."
Tak butuh waktu lama, suara pintu pagar terdengar. Gina keluar dari rumah dengan gaya khasnya — rambut diurai natural, kaos band lawas Slaughter To Prevail yang sedikit kebesaran, ditumpuk dengan flanel hitam-merah terbuka, dipadukan dengan ripped jeans ketat dan boots. Simpel, tapi penuh karakter.
Ncek sempat bengong sesaat, matanya naik turun menelusuri penampilan Gina.
"Wanjay… lu cakep banget kalo lagi gak beku karena hipotermia," celetuknya sambil tertawa.
Gina mendelik, lalu menyentil lengan Ncek pelan.
"Dasar cowok, mentang-mentang udah deket jadi berani ngata-ngatain."
"Eh bukan ngata-ngatain, itu pujian versi anak gigs," balas Ncek sambil menyodorkan helm cadangannya.
"Naik, Lady Skena. Gigs menanti kita."
Gina naik ke atas motor dengan cekatan, lalu memeluk Ncek dari belakang dengan natural, seperti sudah terbiasa.
"Gas… tapi kalo di jalan lo pelan-pelan, motor lo berisik tapi gue tau nahan napas aja susah."
Ncek hanya tertawa, memutar kunci dan menyalakan motor tuanya yang menggeram dengan suara khasnya.
Di tengah jalan, di bawah lampu-lampu kota yang bersinar redup dan jalanan yang mulai lengang, suara motor butut Ncek menggeram berat. Derunya memecah keheningan, tapi justru jadi bagian dari kenangan malam itu.
Angin malam menerpa wajah mereka, dan dalam hening itu, Ncek seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu di dalam pikirannya. Sejak tadi, sejak menjemput Gina di rumah besar bercat putih dengan pagar besi tinggi dan taman rapi, dia merasa ada sesuatu yang sedikit mengganggu hatinya.
Akhirnya, di lampu merah dekat jembatan kecil, Ncek berkata pelan—tapi cukup keras untuk terdengar di balik helm:
"Gin…"
"Hm?" sahut Gina dari belakang, memeluk erat pinggangnya agar tetap seimbang.
"Lo nggak papa naik motor butut gue? Gue baru tau rumah lo gede banget. Mobil di garasi ada tiga, yang satu Mercy..."
Gina terdiam sejenak, lalu tertawa pelan.
"Ncek…" ucapnya sambil menepuk pundaknya ringan,
"Kalo gue mau cowok kaya, gue udah tinggal duduk doang di rumah, milih dari barisan panjang yang ngasih bunga sama coklat tiap minggu."
Lampu berubah hijau, Ncek menggas motornya lagi, tapi hatinya belum tenang.
"Ya tapi… gue bukan siapa-siapa, Gin. Gak punya apa-apa. Motor aja… ya lo lihat sendiri."
Gina menarik napas, lalu mendekat lebih erat, kepalanya menempel di punggung Ncek.
"Justru itu, Ncek."
"Lo gak punya apa-apa, tapi lo tetap jadi diri lo sendiri. Dan itu yang gue suka."
"Njir gue terasa nonton sinetron." Jawab Ncek sambil tertawa.
