Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3

Ruella tengah berendam di dalam bathub putih yang dipenuhi oleh air hangat. Seluruh tubuhnya terendam dan hanya menyisakan kepalanya saja yang masih berada di permukaan. Gadis itu tengah merenung, memikirkan langkah hidupnya untuk masa depan sepeninggalan kedua orang tuanya. Ruella bukanlah gadis yang memiliki pikiran pendek dan sempit, dia adalah seorang gadis yang memiliki pemikiran yang sangat luas tentang kehidupan. Meski kini gadis itu menyadari bahwa dirinya hanyalah seorang yatim piatu, namun dia harus bisa bertahan dan menjalani hidupnya.

“Tidak, Ruella. Jangan memikirkan apa-apa dulu. Kita harus fokus untuk memberikan penghormatan terakhir pada ayah dan ibu. Kita harus menunjukan bakti seorang anak untuk yang terakhir kali kepada ayah dan ibu.” Tukas Ruella menyemangati dirinya sendiri.

Ruella menghapus air mata yang menetesi pipinya yang tirus itu, kemudian dia mulai membersihkan tubuhnya seperti yang biasa dilakukannya setiap hari.

Setengah jam sudah waktu yang dihabiskan oleh Ruella di dalam kamar mandi besarnya yang berada di dalam kamar pribadinya itu. Gadis itu keluar dari kamar mandi dan sudah berpakaian lengkap. Ruella mengenakan terusan polos sepanjang lutut berwarna hitam dengan tali pundak yang hanya satu jari bersimpul pita di kedua bahunya. Homedress berwarna gelap itu sangat kontras dikenakan oleh gadis yang memiliki kulit putih bersih itu, hingga cahaya tubuhnya terlihat semakin bersinar.

Rona di wajah Ruella sudah terlihat kembali, tidak seperti dirinya ketika bangun tidur tadi. Meski matanya masih terlihat bengkak dan sembab dengan kantung mata yang masih berwarna kemerahan akibat terlalu sering terkena gesekan tangan saat menghapus air mata, namun hal itu tetap tidak berhasil menutupi kecantikan Ruella.

Gadis itu berjalan ke luar kamarnya menyusuri bangunan luas di lantai dua itu menuju tangga untuk turun ke lantai satu. Entah mengapa, kali ini setiap sudut rumah yang memang sudah biasa sepi itu mengingatkan dirinya kembali pada kenangan-kenangan yang dihabiskannya bersama kedua orang tuanya dulu, sebelum mereka memilih untuk menetap di pulau Bangka dua tahun lalu.

Ruella menyusuri pandangannya ke setiap sudut ruangan yang dilewatinya menuju dapur. Matanya tertuju pada jam dinding yang terbuat dari kayu jati berukuran besar yang dirancang khusus menempel di dinding rumah megah tersebut.

“Sudah waktunya makan siang.” Tukas Ruella seraya melanjutkan langkahnya menuju dapur.

Ruella merasakan kesunyian menyelimuti dirinya saat ini. Rumah yang sudah biasa sepi itu kali ini makin terasa sepi. Ruella baru menyadari jika dirinya kini benar-benar menjalani kehidupannya seorang diri.

Gadis itu menatap satu porsi nasi goreng kecap dan satu gelas susu strawberry kesukaannya yang sudah disiapkan oleh bik Mah di atas meja makan. Makanan itu adalah menu sarapannya yang sudah kembali dingin setelah dipanaskan ulang oleh asisten rumah tangga satu-satunya di rumah itu.

Ruella menarik satu kursi makan yang sudah biasa didudukinya jika dirinya tengah makan di rumah. Gadis itu mulai menyendokan nasi goreng yang sudah dingin itu ke dalam mulutnya, sembari sesekali matanya menatapi satu per satu barisan kursi makan yang tersusun rapi di tempatnya. Meja makan besar yang terbuat dari batu marmer itu memiliki sepuluh kursi makan yang tersusun rapi. Namun baru disadari oleh Ruella, dari sekian banyak kursi makan yang ada, hanya kursi yang sedang didudukinya saat ini yang sering terpakai, sedangkan yang lainnya lebih pantas dianggap sebagai pajangan pelengkap. Ternyata, begitu kesepiannya dirinya selama ini tanpa disadarinya.

Gadis itu melahap setengah dari satu porsi nasi goreng yang berada di hadapannya itu. Dia makan bukan karena lapar, namun karena otak cerdasnya memerintahkan dirinya untuk makan jika dirinya tetap ingin mempertahankan kesadarannya dan memiliki tenaga untuk bertahan. Setelah meletakan sendok dan garpunya, Ruella kemudian meraih satu gelas susu strawberry kesukaannya itu dan meneguknya sampai habis tak bersisa.

Gadis itu kemudian beranjak dari duduknya dan berniat untuk kembali ke dalam kamarnya. Namun saat dirinya berjalan menuju tangga, tiba-tiba telepon paralel untuk komunikasi orang yang berada dalam rumah yang menempel di dinding setiap ruangan berdering, Ruella mengurungkan niatnya untuk menaiki tangga dan melangkah menuju sumber suara.

“Iya, pak?” Satu-satunya orang yang akan menggunakan telepon paralel rumah itu saat ini hanyalah Supardih, satpam rumah yang bertanggung jawab atas keamanan rumah beserta isinya itu.

“Non, ada tamu. Mau bertemu dengan non Ruella” Ucap pak Dih memberitahukan bahwa rumah itu kedatangan tamu kepada Ruella.

“Tamu? Siapa, pak?” Tanya Ruella.

“Ini, den Gala, anaknya Almarhum pak Satrio.” Pak Dih menyebutkan nama tamu yang datang tersebut.

“Gala?” Gadis itu berpikir sejenak. “Kak Manggala?” Ruella memastikan kembali.

“Iya, non. Benar.” Ucap pak Dih membenarkan jika orang tersebut adalah Manggala.

“Suruh masuk saja, pak.” Ruella memberikan izin.

Gadis itu kemudian berjalan menuju ruang tamu utama untuk menyambut kedatangan seseorang yang sudah dikenalnya dari kecil dulu, namun sudah sepuluh tahun ini menghilang dari pandangan setelah kematian Satrio, ayah dari Manggala.

Ruella hanya mendengarkan berita dan keberadaan Manggala dari sang ayah, di mana Manggala saat ini, sedang menempuh pendidikan apa, dan lain sebagainya.

Tanpa berpikir aneh, Ruella membuka pintu depan dan menunggu kedatangan Manggala. Meski terakhir kali mereka bertemu saat Ruella masih berusia tujuh tahun, sedangkan Manggala berusia tujuh belas tahun saat itu, gadis itu tidak merasa takut menyambut laki-laki itu saat dirinya sendirian di rumah seperti sekarang.

Ayah Manggala adalah orang kepercayaan dari ayahnya Ruella. Satrio dipercaya untuk mengurus semua penjualan yang dilakukan oleh perusahaan tambang milik ayahnya Ruella. Manggala sering berkunjung ke rumah Ruella dulu bersama Satrio, jadi Ruella merasa sudah mengenal Manggala sebagai kerabat dekat keluarganya. Meski saat sepuluh tahun lalu Satrio meninggal dunia dan Manggala juga berhenti berkunjung ke rumahnya, namun ayah gadis itu selalu bercerita tentang perkembangan Manggala, terutama masalah pendidikannya.

Ruella tengah berdiri di ambang pintu utama rumah megah tersebut. Dari kejauhan, terlihat satu mobil sedan mewah berwarna hitam mendekati bangunan utama. Gadis itu terus memperhatikan mobil sedan yang semakin mendekat itu hingga berhenti tepat di depan teras rumahnya.

Seorang pria keluar dari pintu penumpang bagian depan, namun diyakini oleh Ruella bahwa itu bukanlah Manggala yang dikenalnya. Benar saja, laki-laki itu bergeser sedikit ke belakang untuk membukakan pintu seseorang yang duduk di bangku penumpang bagian belakang. Seorang laki-laki beparas tampan dengan tubuh tinggi tegap yang tengah mengenakan setelan kerja berwarna kelabu itu keluar dari sana. Ruella mengenali wajah laki-laki tampan itu meski kini penampilan Manggala terlihat sangat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu.

Laki-laki yang sepertinya adalah asisten pribadi Manggala tampak menutup pintu mobil dan berjalan menuju bagasi belakang. Dibukanya kap bagasi dan diambilnya sesuatu dari dalam sana. Satu buket besar bunga mawar merah dan satu kotak berukuran sedang yang dibungkus menggunakan kertas warna-warni. Laki-laki itu kemudian memberikan kedua benda itu kepada Manggala yang langsung disambutnya. Setelah itu, Manggala mulai melangkah mendekati Ruella yang sudah berdiri mematung di ambang pintu, sedangkan asisten laki-laki tersebut kembali ke dalam mobil. Mobil itu kemudian kembali melaju menuju gerbang depan dan meninggalkan Manggala di sana.

“Ruella. Happy Sweet Saventeen!” Ucap Manggala sembari mengulurkan kedua benda yang tengah dipegangnya itu kepada Ruella.

Ruella tersenyum tipis yang terlihat dipaksakan, hanya sebagai basa basi dalam bertatakrama. Disambutnya kedua benda tersebut dari tangan laki-laki itu.

“Thanks, Kak.” Ucap gadis itu berterima kasih kepada Manggala atas pemberiannya.

Manggala mengangkat kedua alisnya sembari menatap Ruella.

“Boleh masuk?” Tanyanya sopan.

“Oh, Maaf. Silahkan masuk, Kak.” Ruella kemudian mempersilahkan Manggala untuk masuk ke rumahnya.

Laki-laki itu berjalan dengan langkahnya yang besar dan tegap mengikuti langkah Ruella yang sudah lebih dulu berjalan di depannya.

Ruella menuntun langkah Manggala menuju kursi tamu yang berada di ruang depan.

“Duduk, Kak.” Ucap Ruella kepada laki-laki itu setelah mereka sampai di ruang tamu yang dituju.

Manggala tidak menjawab, matanya sibuk mengedari setiap sudut rumah mewah itu. Laki-laki itu kemudian duduk mengikuti perintah tuan rumah.

“Apa kabar, kamu?” Tanya Manggala kepada Ruella.

“Baik. Kakak apa kabar?” Ruella mengikuti basa basi yang biasa digunakan oleh orang-orang saat mereka sudah lama tidak bertemu.

“Baik. Sangat baik.” Jawab Manggala dengan seringai aneh menghiasi wajah tampannya.

“Tumben ke sini, kak. Ada apa?” Tanya Ruella penasaran sembari menaruh buket besar bunga mawar dan kado dari Manggala ke atas meja tamu yang ada di hadapan mereka.

“Ada banyak alasan mengapa aku kemari lagi setelah sepuluh tahun menghilang.” Manggala menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi dengan busa tebal menyelimuti rangka jatinya.

Ruella mengernyitkan keningnya bingung.

“Maksudnya?” Tanya Ruella sembari menatap lekat Manggala.

“Aku turut berbelasungkawa atas meninggalnya kedua orang tuamu. Aku datang kemari untuk menceritakan suatu kisah sebagai penghibur hatimu yang sedang sedih. Aku sengaja menunggumu hingga genap berusia tujuh belas tahun untuk menceritakan kisah ini. Sebenarnya, aku berniat menjemputmu disekolah kemarin, namun tampaknya kamu ingin menghabiskan waktu bersama kekasih dan teman-temanmu. Ditambah lagi berita duka yang kamu dapatkan kemarin, jadi aku menundanya sampai satu hari saja.” Tutur Manggala yang terdengar sangat aneh dan mengundang pertanyaan bagi Ruella.

“Kisah apa? Mengapa harus menungguku hingga genap berusia tujuh belas tahun baru ingin menceritakannya?” Tanya Ruella yang semakin penasaran tentang maksud kedatangan Manggala yang tiba-tiba itu.

“Karena kisah itu berawal saat sang tokoh utama berusia tujuh belas tahun. Tepat di hari ulang tahunnya, seorang laki-laki yang sudah menjadi piatu akhirnya kehilangan sosok ayahnya juga. Anak laki-laki itu akhirnya hidup merana seorang diri, berjuang kesana kemari demi kelangsungan hidupnya. Hidup anak laki-laki itu sangat menderita karena ulah seseorang. Hingga sampai di satu titik, anak laki-laki itu berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Beruntung, ada orang baik yang memberikan beasiswa pendidikan untuk laki-laki itu, hingga dia bisa sukses dan mendirikan perusahaannya sendiri. Miris, bukan?” Tanya Manggala di akhir ceritannya.

Otak cerdas Ruella langsung menangkap bahwa kisah yang diceritakan oleh Manggala tersebut adalah kisahnya, dan tokoh utama yang dimaksud oleh Manggala adalah laki-laki itu sendiri. Namun, apa hubungannya dengan ulang tahunnya ini?

“Tokoh utama itu adalah kakak?” Ruella ingin memastikan bahwa dugaannya itu benar.

“Kamu memang cerdas!” Manggala menyeringai sembari mengacungkan ibu jarinya ke arah Ruella.

“Tapi, apa hubungannya dengan ulang tahunku yang ke tujuh belas tahun?” Ruella kembali bertanya tentang rasa penasarannya.

“Bisakah kamu menggunakan otak cerdasmu untuk memikirkan siapa penyebab dari penderitaan yang dirasakan oleh laki-laki itu?” Nada bicara Manggala kini tidak lagi terdengar sopan.

“Siapa? Aku?” Tebak Ruella.

Manggala terkikik. Diangkatnya tubuh kekarnya yang tengah bersandar dan didorongnya ke depan. Dibukanya kedua kakinya sedikit yang semula duduk menyilang, kedua sikut ditopang di atas paha kekarnya dengan tangan yang saling bertaut.

“Bukan kamu! Tapi ayahmu!” Ucap Manggala setengah berbisik dengan penuh penekanan kepada Ruella.

“Ayah? Apa yang sudah dilakukan oleh ayah?” Ruella sudah merasakan sesuatu tengah mengancamnya.

“Ayahmu memecat ayahku tanpa aba-aba dan peringatan terlebih dahulu. Semua aset kami disita oleh ayahmu hingga tidak bersisa, dan ayahku mengalami serangan jantung yang akhirnya meninggal dunia, tepat di hari ulang tahunku yang ke tujuh belas tahun!” Manggala melanjutkan ceritanya dengan tatapan tajam dan seringai sinisnya kepada Ruella.

“Lalu, apa hubungannya denganku?” Ruella bertanya sembari berdiri dari duduknya hendak berlari mencari perlindungan.

“Aku yang tidak tau apa-apa harus hidup menderita karena ulah ayahmu. Maka, kamu juga harus merasakan penderitaan yang sama seperti yang aku rasakan!” Ucap Manggala berapi-api penuh dendam.

Laki-laki itu sudah menyadari pergerakan yang akan dilakukan oleh Ruella. Dengan sigap, laki-laki itu ikut berdiri dan segera mengejar langkah Ruella yang tengah berlari menuju pintu depan.

Dengan langkah besarnya, Manggala membalap Ruella dan sampai di pintu depan lebih dulu sebelum gadis itu tiba.

Langkah Ruella terhenti saat Manggala sudah berhasil mendahuului langkahnya dan menghalanginya menuju keluar. Napasnya tersengal, jantungnya memacu lebih cepat dari biasanya.

“Mau apa kamu?!” Ruella menatap tajam ke arah Manggala yang tengah menutup pintu depan dan menguncinya dari dalam.

Manggala tidak menjawab apa-apa, hanya seringai licik yang menghiasi wajah tampannya. Perlahan, laki-laki itu maju mendekati Ruella yang tengah berdiri di hadapannya dengan sorot mata ketakutan dan sikap waspadanya.

Selangkah Manggala maju, selangkah pula Ruella mundur. Gadis itu tengah mengambil ancang-ancang untuk segera berlari dari sana. Ruella memikirkan tempat teraman untuknya bersembunyi sembari menunggu hingga bik Mah dan pak Jo pulang kembali ke rumah.

“Kamar! Aku harus segera berlari ke kamar dengan cepat dan mengunci pintu dari dalam!” Otak cerdas gadis itu memberikan perintah kepada kedua kakinya untuk berlari dengan cepat menuju kamarnya.

Saat Manggala sudah terlihat lengah, Ruella segera berbalik dan mengambil langkah seribu menuju tangga untuk naik ke lantai dua. Ruella berlari dengan sangat cepat, namun kecepatannya masih bisa diimbangi oleh Manggala yang berada tepat dibelakangnya.

Gadis itu tetap tidak peduli, otaknya difokuskan untuk sampai ke kamar pribadinya dan segera mengunci pintu itu dari dalam. Hanya butuh waktu sebentar, kakinya sudah berhasil melangkah ke dalam kamarnya. Namun sayang, tangannya kalah cepat dengan tangan laki-laki yang tengah mengejarnya itu. Pintu yang hendak ditutup itu tertahan oleh tangan Manggala, hingga akhirnya laki-laki itu bisa menahannya menggunakan tubuh kekarnya.

Ruella tetap menekan pintu itu dengan sekuat tenaga yang dia punya dari dalam, berharap laki-laki itu akan lengah seperti tadi. Namun ternyata dorongan yang dilakukan oleh Manggala dari luar lebih kuat dari dorongannya. Dengan sekali hentak saja, Manggala sudah berhasil membuat daun pintu itu terbuka lebar dan Ruella terjerembab di lantai.

Manggala tersenyum angkuh menatap Ruella yang tengah tersungkur di lantai tepat di hadapannya. Laki-laki itu kemudian menutup pintu kamar dan menguncinya dari dalam. Lengkap dengan mengaitkan grendel tambahan yang memang terpasang di pintu itu.

Melihat hal itu, Ruella mencoba memanfaatkan situasinya. Saat Manggala tengah sibuk mengunci pintu, otak cerdasnya memerintahkan dirinya untuk bangkit dan berlari menuju kamar mandi. gadis itu pun kemudian segera bangkit dan berlari menuju kamar mandi yang berada di dalam kamar itu. Namun lagi-lagi langkahnya kalah cepat dengan langkah besar milik Manggala. Pergelangan tangannya digenggam dan ditarik oleh laki-laki itu tepat sebelum dirinya hendak melangkahkan kaki memasuki kamar mandi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel