Bab 2
Ruella memejamkan matanya sembari bersandar lemas di dalam taksi yang tengah ditumpanginya itu, sekujur tubuhnya gemetar, suara bik Mah terus saja berdenging di telinganya saat menyampaikan kabar bahwa kedua orang tuanya ditemukan meninggal di pulau Bangka.
Tiga puluh menit sudah perjalanan yang dilalui gadis itu menuju rumahnya. Taksi biru yang ditumpanginya kini sudah berhenti tepat di depan pagar pekarangan rumah yang luas lahannya mencapai dua hektar itu.
“Terima kasih, pak.” Ucap Ruella kepada sopir taksi yang telah mengantarkannya dengan selamat ke tempat tujuan itu sembari memberikan sejumlah uang yang sesuai dengan argo yang tertera di layar depan dashboard mobil tersebut.
“Sama-sama, non.” Ucap sopir taksi tersebut sembari menerima uang yang diberikan oleh gadis cantik itu sebagai ongkos dari jasanya mengantarkan penumpang sampai ketujuan.
Setelah turun dari taksi biru tersebut, Ruella segera melangkahkan kaki ke dekat pos satpam yang berada di pangkal gerbang untuk memanggil pak Dih dan meminta untuk dibukakan gerbang agar dirinya bisa segera masuk ke dalam.
“Pak.” Ruella mengetuk kaca luar pos satpam rumahnya.
Supardih yang tengah melamun, kontan terkejut saat seseorang mengetuk kaca dari luar gerbang.
“Non Ella.” Pak Dih langsung berlari untuk membukakan gerbang kecil khusus pejalan kaki tanpa harus membuka gerbang besarnya.
“Non Ella dari mana saja?” Tanya pak Dih yang terdengar khawatir melihat anak majikannya itu baru saja pulang sekolah di jam segini.
Ruella tidak menjawab, gadis itu hanya tersenyum hampa sebagai jawaban dari pertanyaan pak Dih padanya. Gadis itu kemudian melangkah menyusuri jalan setapak yang diperuntukan sebagai jogging track jika penghuni rumah ingin berolahraga.
Sekitar sepuluh menit berjalan kaki, barulah bangunan utama nan megah itu terlihat.
“Mobil polisi.” Batin Ruella saat melihat mobil polisi terparkir di depan rumahnya.
Perasaannya mulai tidak menentu, gadis itu mulai ragu dengan pemikirannya sendiri yang menduga ini hanyalah sebuah sandiwara saja. Langkahnya mulai lemah, kakinya sudah gemetar, rasanya tidak kuat lagi dirinya menggerakan kaki untuk menuju rumahnya yang sudah ditinggalinya selama tujuh belas tahun usianya itu.
Meski enggan, Ruella harus tetap memasuki rumahnya. Mau tidak mau, dirinya harus masuk untuk mengetahui semua ini benar nyata atau memang sesuai dugaannya.
Pintu utama terbuka, Ruella memasuki rumah megah berlantaikan marmer putih tersebut dengan perlahan. Semua orang yang tengah berada di ruang tamu depan memusatkan pandangan ke arah Ruella yang baru saja tiba.
“Non Ella.” Bik Mah berlari kecil menghampiri anak majikannya itu untuk menyambutnya.
Mendengar sang asisten rumah tangga meneriakkan nama Ruella, dua orang laki-laki yang tengah bertugas mengenakan seragam berwarna cokelat itu segera berdiri.
Ruella menatap kedua orang laki-laki yang mengenakan seragam polisi itu dengan penuh tanya, sembari tubuhnya yang di tuntun oleh asisten rumah tangganya itu menuju kursi tamu yang masih kosong.
“Selamat malam, nona. Ruella Hazeline?” Tukas salah satu dari dua laki-laki berseragam cokelat itu dengan suara yang terdengar penuh ketegasan.
“Iya, benar. Saya Ruella Hazeline.” Jawab Ruella dengan mata yang masih terpaku menatap kedua orang laki-laki yang tengah berada di hadapannya saat ini.
“Silahkan duduk!” Ruella mempersilahkan tamunya untuk duduk kembali.
Kedua orang polisi itu pun kembali duduk setelah mendapatkan izin dari pemilik rumah.
“Ada apa ya, pak?” Ruella bertanya kepada kedua polisi itu atas maksud kedatangannya ke rumah itu.
“Kami dari pihak kepolisian, mendapatkan laporan dari rekan kami yang berada di pulau Bangka, bahwa tuan dan nyonya Hazeline ditemukan tidak bernyawa di rumahnya.” Tutur tegas polisi tersebut seolah menghantam keras kepala Ruella hingga menyebabkan gadis itu terdiam.
“Anda selaku ahli waris satu-satunya diharapkan untuk segera ke pulau Bangka untuk mengurus semua administrasi yang diperlukan.” Lanjut polisi yang satu lagi.
Lagi-lagi, kata demi kata yang diucapkan oleh polisi tersebut menyakiti Ruella. Kali ini, jantung gadis itu serasa ditusuk menggunakan pedang tajam seorang samurai, sehingga detakannya terasa berhenti.
Suara tangisan dari bik Mah dan pak Jo menggema di telinga Ruella. Gadis itu bukannya tidak bersedih, namun dirinya masih tidak percaya dengan berita yang disampaikan oleh dua orang polisi tersebut.
“Sekarang, ayah sama ibu ada di mana?” Tanyanya dengan tatapan kosong kepada dua orang polisi tersebut.
“Jenazah keduanya sudah dibawa ke rumah sakit dan menunggu persetujuan dari nona Ruella Hazeline untuk dilakukan autopsi.” Ucap polisi tersebut.
“Ayah sama ibu meninggal karena apa?” Tanya Ruella lagi kepada dua laki-laki yang ada di hadapannya itu.
“Untuk keterangan lebih lanjut, biar Anda mendengar langsung dari pihak kepolisian yang menangani di sana. Kami hanya sebagai penyambung lidah dan perantara untuk menyampaikan informasi ini kepada Anda.” Jawab salah satu polisi itu dengan tegas.
Ruella mengangguk-anggukan kepalanya sebagai tanda bahwa dirinya menerima informasi yang sudah disampaikan itu.
“Baiklah, nona Ruella Hazeline, cukup di sini informasi yang perlu kami sampaikan, dan kami permisi.” Kedua orang polisi tersebut berpamitan kepada Ruella dan kemudian bergerak meninggalkan kediaman keluarga Hazeline tersebut.
Gadis itu masih duduk terpaku menatap kosong ke depan. Lima menit sudah dari kepergian dua orang polisi tadi, namun Ruella masih enggan beranjak dari posisinya.
“Non, tuan dan nyonya.” Rintih tangis bik Mah meratapi kedua majikannya tersebut yang tengah berada di seberang pulau.
“Sebegitunya ayah sama ibu mau kasih kejutan sama aku, bik.” Ucap Ruella sembari tersenyum hampa.
“Mereka mau aku ke sana? Oke!” Gadis itu kemudian meraih ponselnya dan mulai membuka sebuah aplikasi perjalanan untuk memesan tiket menuju bandara Depati Amir Pangkal Pinang.
Dua puluh menit waktu yang diperlukan oleh Ruella untuk memilih dan memesan tiket perjalanan untuknya dan bik Mah ke pulau Bangka.
“Done!” Tukas gadis itu.
“Siap-siap, bik. Lusa kita berangkat. Penerbangan jam sepuluh pagi.” Ruella berkata kepada bik Mah tanpa mempedulikan asisten rumah tangganya itu sudah menangis sesegukan dari tadi.
Gadis itu tidak menemukan kesulitan dalam memesankan tiket untuk asisten rumah tangganya itu, karena data bik Mah telah tersimpan dalam history pemesanan di aplikasi perjalanan tersebut. Setiap kali Ruella berangkat ke pulau Bangka untuk mengunjungi orang tuanya saat liburan, maka bik Mah selalu ikut untuk menemaninya.
Ruella kemudian berdiri dan mulai melangkah menuju tangga untuk segera naik ke lantai dua. Gadis itu sudah tidak sabar ingin segera membaringkan tubuhnya yang terasa sangat lelah di atas kasur empuknya itu. Meski Ruella tersenyum dan mencoba untuk tidak mempercayai informasi yang didapatnya tadi, namun jauh di dalam lubuk hatinya mempercayai itu. Langkah kakinya gontai, di tengah jalan menuju tangga, tiba-tiba kakinya terasa lunglai. Ruella terduduk lemas di lantai marmer putih tersebut. Seketika, dinginnya lantai menyeruak menjalari tubuhnya melalui aliran darahnya menyebar hingga ke sekujur tubuh.
“Non Ella!” Teriak bik Mah memanggil namanya yang terdengar panik saat melihat dirinya terduduk lemas.
Seketika tangis Ruella pecah saat tubuh langsingnya terkulai dalam pelukan bik Mah.
“Ini ulang tahun Ella, bik. Apa ini kado dari ayah dan ibu untuk Ella?” Ucapnya dalam tangis yang semakin menjadi.
Bik Mah terus memeluk tubuh Ruella yang sudah lunglai. Penglihatannya sudah kabur karena tertutup air mata, kepalanya sudah serasa berputar karena baru saja menyadari kenyataan yang ada setelah sibuk membantahnya. Terdengar suara bik Mah yang berkali-kali memanggil namanya, semakin lama suara bik Mah semakin terdengar samar. Tubuhnya yang digoyang-goyangkan oleh asisten rumah tangganya itu semakin lama semakin tidak terasa. Hingga akhirnya Ruella terpejam dan tak sadarkan diri.
***
Bagaikan seorang Tuan Putri, Ruella tertidur di atas ranjang besar dengan keempat pilar gagah yang terbuat dari kayu jati berwarna putih. Tiang tinggi di keempat sisi ranjang yang digantungi oleh tile transparan berwarna putih dan diikat di masing-masing tiang hingga menjuntai dengan rapi. Kamar bernuansa Eropa Klasik itu adalah kamar pribadi milik Ruella yang didesign khusus untuk dirinya. semua pernak pernik yang ada di kamar itu adalah pilihan gadis itu sendiri. Meskipun Ruella adalah seorang gadis yang termasuk generasi Z, namun kecintaannya terhadap film-film Eropa Klasik romantis berlatarkan Era Victoria tidak bisa dibantah.
Ruella sangat menyukai salah satu film yang dirilis pada tahun 2005 lalu yang berjudul Pride and Prejudice. Sebuah romansa klasik yang bercerita tentang sebuah kisah benci yang berubah menjadi cinta.
Gadis itu mulai mengerjipkan matanya saat cahaya matahari masuk ke dalam kamarnya melalui cela tirai yang dibuka perlahan oleh asisten rumah tangganya itu. Tubuhnya masih terasa lemas, kepalanya terasa sangat sakit. Dibukanya perlahan kedua bola mata kecokelatannya itu untuk kembali menerima kenyataan yang ada.
“Bik!” Ruella memanggil asisten rumah tangganya yang tengah membersihkan kamar pribadinya itu.
“Iya, non?” Bik Mah segera berjalan mendekati ranjang Ruella untuk menanggapi panggilan anak majikannya itu.
Bik Mah menatap prihatin wajah cantik Ruella yang terlihat pucat tak bercahaya. Gadis yang sudah dikenalnya selama tujuh belas tahun itu terlihat tidak memiliki semangat hidup saat ini. Mata bik Mah masih terlihat merah dan bengkak karena tak henti-hentinya menangis memikirkan nasib gadis yang berada di hadapannya itu untuk kedepannya nanti sepeninggalan orang tuanya.
“Jam berapa sekarang?” Tanya gadis itu tak bertenaga.
Matanya menerawang menatap langit-langit yang terhalang tile putih transparan.
“Jam delapan pagi, non.” Suara bik Mah sudah mulai bergetar karena menahan tangis.
“Mengapa tidak membangunkan Ella, bik? Ella masih harus sekolah.” Ucap gadis itu tanpa ekspresi.
“Non Ella tidak usah sekolah hari ini. Non istirahat saja di rumah.” Bik Mah duduk bersimpuh di lantai sembari menangis menggenggam tangan Ruella yang terlihat lemas tak bertenaga.
“Tapi Ella harus tetap sekolah, bik. Paling tidak, Ella harus mengabarkan pihak sekolah kalau hari ini Ella sedang sakit.” Suara gadis itu terdengar sangat lirih.
Suara gadis itu mampu menyayat hati siapapun yang mendengarnya, apa lagi bik Mah saat ini tengah bersamanya dan mendengar jelas lirihan hati Ruella.
Tangisan bik Mah semakin deras, meskipun wanita paruh baya itu mencoba menahan suara tangisannya, namun tetap saja terdengar jelas ditelinga.
“Bik Mah sama pak Jo sudah berniat ke sekolah non Ella untuk memintakan izin si non selama satu minggu kedepan.” Tutur bik Mah dengan suara yang bercampur dengan isakan tangisnya.
“Tapi Ella harus tetap sekolah, bik. Ella harus bisa berdiri di atas kaki sendiri. Sekarang Ella sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Ella harus tetap berjuang demi masa depan.” Ratap Ruella yang diiringi dengan keluarnya air mata di sudut matanya.
“Masih ada bibik, non. Bibik akan tetap menemani non Ella. Jangan bicara seolah non Ella sendirian di sini.” Kali ini, bik Mah menangis meraung mendengar ratapan pilu anak majikannya yang kini sudah menjadi seorang yatim piatu.
Ruella memejamkan matanya, tangisnya sudah tidak tertahan lagi, seiring dengan suara raung tangisan bik Mah, hati gadis itu semakin merasa pilu.
Cukup lama kedua orang wanita beda usia itu menangis sembari saling menguatkan, hingga akhirnya tangisan mereka pun mereda dan hati masing-masing merasa jauh lebih tenang.
“Bik Mah siap-siap mau ke sekolah non Ella dulu ya, non. Tadi bik Mah sudah buatkan sarapan, tapi mungkin sekarang sudah dingin. Sebelum pergi, bik Mah panaskan dulu buat non makan.” Tutur bik Mah penuh perhatian kepada Ruella.
Ruella mengangguk.
“Iya, bik. Terima kasih. Ella mau mandi dulu. Dari kemarin malam Ella belum mandi.” Gadis itu tersenyum simpul dengan matanya yang masih bengkak sehabis menangis.
“Kalau begitu, bik Mah pamit ya, non. Takut sampai sekolah nanti malah sudah bubar sekolahnya.” Pamit bik Mah kepada Ruella sembari berdiri dari duduknya.
“Hati-hati, bik.” Pesan Ruella kepada asisten rumah tangganya itu.
“Oh iya. Sehabis dari sekolahan, bik Mah izin mau ke swalayan. Bahan makanan kita kebetulan habis. Paling tidak, bibik belanja untuk masak makan malam dan sarapan besok pagi sebelum kita berangkat ke Bangka.” Ucap bik Mah memberitahukan tujuannya hari ini hendak kemana kepada Ruella.
“Iya, bik. Hati-hati.” Ruella lagi-lagi memberikan pesan kepada bik Mah sebelum wanita itu pergi.
“Non Ella baik-baik di rumah sendirian. Bibik pergi cuma sebentar, tidak sampai malam sudah pulang lagi ke rumah.” Bik Mah berucap seolah hatinya terasa berat meninggalkan gadis cantik itu sendirian di rumah megah ini.
“Iya, bik Mah. Bawel ah. Ella sudah besar. Lagi pula, bahaya apa yang akan terjadi di rumah sendiri.” Ruella tersenyum menjawab wejangan dari wanita paruh baya itu.
“Kalau begitu, bik Mah pamit ya, non.” Bik Mah berpamitan sekali lagi, namun tubuhnya masih saja mematung di tempat.
Ruella tersenyum geli melihat tingkah bik Mah. Sesaat, gadis itu melupakan kesedihan yang dirasakannya karena melihat tingkah asisten rumah tangganya yang sudah berkali-kali minta izin untuk keluar, namun seolah enggan meninggalkan dirinya sendirian.
“Ella sudah besar, bik. Ella sudah tujuh belas tahun kemarin. Bik Mah tidak perlu khawatir.” Ruella menuntun bik Mah untuk melangkah menuju luar kamarnya.
Bik Mah mengikuti langkah Ruella yang tengah menuntunnya dengan kedua tangan lembut milik gadis itu berada di kedua sisi pundaknya. Entah mengapa, bik Mah seolah berat meninggalkan Ruella sendirian di rumah besar ini, namun dirinya harus tetap pergi untuk menuntaskan tugasnya sebelum keberangkatan dirinya dan Ruella untuk mengurus jenazah kedua majikannya yang berada di seberang pulau besok pagi.
