3
Savana terbangun di sebuah ranjang yang luas, di dalam kamar mewah bagaikan milik seorang raja.
Sejenak ia mengalami disorientasi, linglung dan bingung dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Dimana ini? Kenapa... Kenapa dia ada sini? Jelas sekali ini bukan rumahnya, dan juga bukan tempat tidurnya.
Rumah Savana cukup besar dan mewah, namun tak ada satu pun kamar di rumahnya yang memiliki ruang seluas dan semewah ini.
Lalu tiba-tiba saja sebuah kesadaran baru pun menghantam pikirannya. Ingatan terakhirnya yang sangat mengerikan.
Ibu. Ayah. Sean.
Mereka semua terbujur kaku tak bergerak di atas lantai, dengan darah yang mengalir deras dari kening yang berlubang.
Ya Tuhan.
Meskipun kelopak matanya masih terasa berat, kini gadis itu pun berusaha membukanya dengan lebar, terutama ketika baru menyadari bahwa kedua kaki dan tangannya dalam kondisi terikat.
"Tolong..." Lirihnya dengan suara tercekat. Ia sungguh tak berdaya dan tak bisa bergerak, karena ikatan di tangan dan kakinya yang terlalu kuat.
"Tolong! Siapa saja, tolong aku!" Dengan mengumpulkan kekuatan, gadis itu pun kembali meminta tolong dengan suara yang lebih keras kali ini, berharap seseorang akan mendengar dan menolongnya.
Baru saja Savana ingin berteriak lebih kencang, tiba-tiba ia melihat sebuah pergerakan di ujung ranjang.
Sesosok tubuh tinggi dan kokoh, disertai seraut wajah yang tampan namun terlihat dingin, kejam, dan datar tanpa ekspresi.
Dia... Pria itu. Kael Rainier.
Seketika Savana menggeleng ketakutan dengan air mata yang mengalir tanpa sadar membasahi wajahnya. Ia takut sekali!
Bagaimana pria ini membunuh keluarganya dengan tangan dingin kembali hadir di benaknya. Apakah ia skan dibunuh juga??
Atau lebih parah dari itu... Disiksa??
Untuk beberapa saat, Kael hanya diam memandangi wajah Savana. Memandangi helai lembut rambutnya yang pirang terang dan panjang. Memandangi bola matanya yang biru jernih.
Memandangi kulitnya yang putih dan halus. Juga memandangi bibirnya yang penuh dan sensual meski gemetar ketakutan.
Lalu seulas seringai dingin yang samar mulai terbentuk di wajahnya, memikirkan betapa berbedanya rupa Savana dibandingkan keluarga gadis itu yang telah ia bunuh. Menarik.
"Kamu bukan anak kandung Richard dan Fifi," ucapnya tiba-tiba, masih dengan suara yang sama dinginnya dengan yang Savana ingat sebelumnya.
Richard dan Fifi, adalah ayah dan ibu Savana.
"Fiturmu sangat berbeda dengan mereka, juga berbeda dengan Sean. Jadi kamu anak pungut? Atau apa?"
Savana menelan ludahnya dengan berat, tubuhnya bergetar semakin hebat kala teringat kembali pada kedua orang tuanya yang telah tewas dengan mengenaskan.
"T-tolong, jangan sakiti aku... Tolong lepaskan aku, Tuan Rainier. Kita... Kita bisa bicara."
"Jawab pertanyaanku dulu," cetus dingin Kael.
Air mata Savana turun semakin deras ketika akhirnya ia mengangguk dengan kaku. "Iya... Ayah dan ibu mengadopsiku dari panti asuhan," sahutnya pelan nyaris berbisik, terkenang kembali ketika dirinya dibawa di usia lima tahun, lalu diasuh dengan penuh kasih sayang.
Lalu siapa yang mengira jika tepat di usianya yang kini baru 18 tahun, Savana telah kehilangan keluarganya, seluruh dunianya, dan terdampar di bawah kuasa pria kejam ini?
Kael memiringkan kepalanya ke samping, dengan netra yang masih tajam tertuju pada Savana. "Kalau begitu, kamu tidak perlu takut, Savana. Aku tidak akan membunuhmu."
ketakutan dan sama sekali tidak berani membuka mata.
***
