Pustaka
Bahasa Indonesia

My Psychopath Husband

11.0K · Tamat
Black Aurora
21
Bab
388
View
9.0
Rating

Ringkasan

Dunia Savana hancur seketika saat Kael Rainier yang misterius penuh dendam membantai ayah, ibu, dan kakaknya di hadapannya. Tapi yang tak ia sangka, Kael justru membiarkannya tetap hidup. Bukan untuk belas kasihan, tapi untuk sesuatu yang jauh lebih mengerikan: menjadikannya istri. Dan selir. Dan tawanan. Kael memperlakukan Savana seperti boneka milik pribadi. Tubuhnya dimiliki, hidupnya dikendalikan. Tapi anehnya, tak sekalipun Kael menyakitinya. Tak ada luka luar, hanya luka batin yang semakin membusuk. Savana dibenci dan dicintai pada saat bersamaan. Diperkosa tapi juga disayangi dengan cara yang menyakitkan. Di dalam rumah megah yang menjelma penjara, Kael menunjukkan sisi lain yang mengacaukan segalanya: sisi manis, protektif, dan rapuh yang membuat Savana bertanya-tanya... siapa sebenarnya monster dalam hidupnya?

RomansaBillionaireIstriDewasaFlash MarriageRevengePernikahanpembunuhanMusuh Jadi CintaDrama

1

Savana membuka matanya dalam kondisi telanjang, tubuhnya terasa sangat nyeri dan bergetar. Malam itu ternyata bukanlah hanya mimpi.

Ia telah ditiduri oleh pria asing yang kini berdiri di depan ranjang dengan tubuh atletisnya yang menawan, namun sorot matanya yang dingin membekukan tulang.

“Aku memang membunuh ayah, ibu, dan kakakmu. Tapi kamu, Savana… kamu akan tetap hidup. Di ranjangku. Di rumahku. Dan dalam hidupku.”

Kael Rainer menikahinya secara paksa. Tanpa upacara dan tanpa saksi. Satu-satunya tanda sahnya pernikahan itu... adalah tubuh Savana yang sudah ia kuasai.

***

BEBERAPA JAM SEBELUMNYA...

Savana terbangun karena suara ledakan keras.

Tubuhnya menegang di balik selimut tipis, saat suara dentuman itu menggema dari lantai bawah rumah.

Detak jantungnya berdebar kencang, memburu dengan rasa was-was yang mendadak menghujam di dada.

Ia mengerjap, mengangkat wajah dari bantal dan menoleh ke arah jam digital di meja nakas—04:02 pagi.

"Apa ada gempa?" gumannya. Tapi rumahnya tidak bergetar.

Yang ada hanyalah keheningan sesaat setelah suara menggelegar tadi, disusul bunyi benda yang pecah seperti vas yang terhempas ke lantai, dan langkah kaki tergesa—berat, berulang, dan menakutkan.

Dengan jantung yang berdegup tak karuan, Savana pun bergerak untuk duduk.

Ia hanya mengenakan gaun tidur putih yang tipis dan jatuh hingga pertengahan paha. Kaki telanjangnya menyentuh lantai kayu yang dingin. Tanpa pikir panjang, ia segera berjalan keluar kamar.

“Sial… Sean ngapain sih subuh-subuh begini,” gumannya, mengira kakaknya sedang bertengkar dengan ayahnya lagi.

Tangannya meraih pegangan tangga, dan langkahnya menyusuri anak-anak tangga satu per satu.

Namun baru sampai di pertengahan tangga, tiba-tiba terdengar suara jeritan tertahan—yang seolah dibungkam oleh kain—membuat langkah Savana terhenti.

Matanya melebar, dan tangannya gemetar.

Lalu saat akhirnya ia telah sampai di lantai bawah, hal pertama yang dilihatnya adalah sebuah mimpi terburuk yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya

“Ibu…?” Savana mendesis lirih. Tubuhnya membeku.

Di ruang tengah yang luas dan modern itu... ada ayah, ibu, dan kakaknya Sean tengah berlutut di lantai.

Tangan mereka terikat ke belakang. Mulut mereka dililit kain tebal yang tampak memaksa mereka untuk diam.

Dan wajah mereka... lebam, berdarah, penuh luka. Ya Tuhan...

Ketakutan yang amat sangat mulai merambat di tubuh Savana dalam sekejap, seperti petir yang menyambar tulang-tulangnya.

Lalu di sana juga ada... tiga pria asing.

Dua di antaranya berpostur besar dengan jas hitam dan kacamata gelap seperti agen rahasia.

Tapi yang paling menarik perhatian Savana adalah pria yang berdiri paling depan.

Ia mengenakan jaket kulit hitam dan celana panjang gelap yang melekat sempurna pada tubuh jangkungnya.

Rambutnya coklat dan disisir rapi ke belakang. Dan wajahnya terlalu tampan untuk sikap sekejam itu.

Rahangnya tegas, hidungnya tinggi, dan mata coklat gelapnya menyorotkan tatapan dingin yang menusuk.

Di tangannya ada sebuah pistol berwarna perak yang tampak elegan sekaligus juga menakutkan, yang ditodongkan langsung di kepala ayah Savana.

“Ayah!” teriak Savana dengan tubuh limbung namun tetap bergerak maju.

“Ibu! Sean!” Suaranya melengking panik. Tapi tak satu pun dari mereka bisa menjawab.

Mata mereka seperti memohon, seolah meminta Savana pergi dan menyelamatkan diri.

Pria berjaket kulit itu menoleh. Tatapannya tajam seperti belati saat menatap Savana dari kepala hingga kaki.

Lalu seulas senyum tipis muncul di bibirnya. Lembut… namun mematikan.

***