Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7 Satu Lift dengan Lelaki Mesum

"Tampilan gue gimana, Tan?"

Kintan memindai dari atas sampai ke bawah dengan mata menyipit. Kemudian, dia tersenyum sambil mengacungkan dua jari jempolnya.

"Lo memang punya aset berharga. Muka lo lumayan juga."

Mendengar itu, Keyra tersipu. "Oh, masa sih? Thanks, Kintan."

"Berangkat sekarang?"

"Yuk."

Setelah merasa cukup puas dengan penampilannya, Keyra bergegas berangkat bekerja dihari pertamanya. Bagaimanapun juga Keyra tidak ingin datang terlambat. Dia tidak mau menjadi pegawai yang tidak disiplin. Apalagi statusnya masih pegawai baru.

Pilihan naik bus menuju kantor adalah yang paling tepat, itu karena mereka tidak memiliki kendaraan yang bisa digunakan. Sedangkan untuk naik taksi, hanya disaat-saat tertentu saja. Hidup di kota harus pintar-pintar mengelola uang.

Begitu sampai di dalam gedung kantor, Kintan mengajak Keyra untuk berkeliling kantor. Berhubung mereka datang sangat pagi, jadi belum banyak karyawan yang datang. Sehingga Kintan bisa mengajak Keyra berkeliling untuk mengenal seluk beluk kantor.

"Ini calon ruangan lo."

"Besar banget, Tan. Berapa banyak orang yang kerja di dalam sana?"

"Banyak banget, Key. Gue nggak tau pasti jumlahnya."

"Tadi ada di lantai berapa kita naik?"

"Lantai enam. Sedangkan gue kerja di lantai lima. Jangan lupa."

Keyra mengangguk paham.  "Oke. Lantai paling atas lantai berapa?"

"Lantai 34."

"Gila. Ini kantor isinya apa aja? Kok bisa setinggi ini?"

"Yaelah. Biasa aja kali. Gedung di sini mah nggak begitu tinggi. Masih banyak gedung yang jauh lebih tinggi. Cuma, gedung ini lebar gitu tempatnya. Lo liat deh dari jauh, cenderung keliatan lebih luas daripada tinggi."

"Oh, gitu." Kepala Keyra mengangguk-angguk. "Lantai 34 itu punya atasan, ya?"

Kintan mengangguk membenarkan. "Betul. Punya atasan."

"Seluas itu cuma dipake atasan?"

"Hei. Lantai atas memang punya atasan. Tapi, nggak semua ruangan dia pake."

"Oh, ya?"

"Di gedung ini punya aula besar yang biasa dipake untuk rapat besar. Tapi, di lantai paling atas juga ada aula buat rapat. Bedanya, aula di lantai atas nggak seluas aula yang ada di lantai sepuluh."

"Selain aula, terus apalagi yang ada di lantai atas?"

"Ruangan petinggi kantorlah. Ada beberapa ruangan yang katanya ukurannya luas. Bedalah sama ruangan kita."

"Lo belum pernah ke sana?"

"Belum. Eh, kayaknya sih nggak akan pernah kecuali gue nikah sama salah satu atasan itu," ucap Kintan sambil tertawa kecil.

"Mimpi aja terus."

"Eh, peringatan gue semalem ati-ati. Jangan sampe gue denger gosip kalo lo ada main sama salah satu atasan kantor."

Keyra menelan ludah dengan susah payah. Kalau sudah mode serius begini, Kintan terlihat seram.

"E-emangnya kenapa?"

"Nggak boleh. Lo belum tau aja mulut-mulut cerewet di sini. Apa pun bahan gosip di sini pasti nyampe ke lantai paling atas. Jadi, sebisa mungkin orang yang kerja di sini jaga mata, jaga telinga dan jaga mulut. Kalau sampe penghuni lantai atas tau ada karyawan yang bisanya cuma banyak omong, bisa dipecat."

"Waduh, kok parah banget, ya?"

Kintan memicingkan matanya. "Emangnya lo mau memperkerjakan orang yang cuma punya mulut tapi nggak bisa apa-apa?"

"Ya, nggak mau sih."

"Nah, itu lo tau. Pokoknya lo harus hati-hati. Ya udah yuk, mending kita ke pantry. Pagi-pagi gini enaknya bikin minuman anget."

—0—

"Eh, Kintan."

Merasa terpanggil, Kintan pun menoleh. Saat ini keduanya sedang mengaduk kopi hangat. Kintan dan Keyra yang kedatangan laki-laki berkumis tipis, langsung menyingkir. Sepertinya laki-laki itu mau membuat kopi juga.

"Iya, Mas Gino. Mau buat kopi juga, ya?"

"Nggak jadi deh. Saya lupa kalau belum sarapan. Bisa kena amuk istri kalau tau. Saya buat teh aja."

"Mau saya buatkan?"

"Eh, nggak perlu. Terakhir kali kamu buatkan saya teh, rasanya sama seperti gulali."

Kintan meringis pelan. "Maaf, Mas Gino. Saya nggak tau kalau Mas Gino kurang suka manis."

"It's okay. Masih bisa saya atasi kok."

"Sekali lagi maaf ya, Mas. Kalau gitu saya duluan ke ruangan."

"Yo'i."

Keduanya lantas menuju ke dalam lift. Pantry kantor hanya berada di lantai satu dan lantai teratas saja. Makanya mereka harus turun terlebih dulu apabila ingin membuat kopi atau teh.

"Liftnya cuma dua, ya?"

"Iya."

Keyra menoleh. "Nggak ada lift khusus atasan gitu?"

"Nggak ada. Di sini cuma ada dua lift. Sama-sama buat atasan atau karyawan."

"Oh. Berarti ada kesempatan buat satu lift sama atasan?"

Kintan melirik Keyra dengan tajam. "Jangan cari-cari kesempatan lo, ya."

"Ya, ampun, Tan. Lo nggak percaya gitu sama gue. Emangnya gue tipe cewek apaan?"

"Abisnya lo tanya-tanya begitu."

"Gue cuma mau antisipasi aja. Kata lo tadi kudu ati-ati."

"Emang bener."

Begitu lift berhenti di lantai lima, Kintan keluar. Tapi, sebelum keluar, Kintan terlebih dulu mengingatkan Keyra lagi bahwa dia harus berhati-hati. "Inget apa yang udah gue jel—"

"Mereka siapa?" tanya Keyra tiba-tiba begitu melihat rombongan orang berjas hitam.

Sontak saja Kintan langsung mundur dan masuk lagi ke dalam lift. Langkah mundurnya hanya sebagai bentuk refleks karena tidak menyangka kalau orang-orang penting itu kini berada di lantai tempatnya bekerja.

"Mereka itu atasan kantor," bisik Kintan. "Kampret! Kok mereka malah ke sini? Eh, gue juga kenapa masih di sini?" Kintan berseru panik.

Pintu lift tertahan ketika satu persatu laki-laki yang Kintan sebut para atasan kantor, masuk ke dalam lift. Keyra yang tidak mau ditinggal sendirian hanya mampu mengapit tangan Kintan agar temannya itu tidak meninggalkannya sendirian.

"Lepas," bisik Kintan sepelan mungkin. Kintan juga melotot agar cekalan tangan Keyra terlepas dari lengannya.

Keyra menggeleng cepat. Cekalannya bahkan semakin erat di lengan Kintan.

"Kalian mau ke lantai berapa?" tanya salah satu laki-laki kepada mereka berdua.

Pasalnya, angka di lift menunjukkan lantai lima. Sedangkan, dua orang perempuan itu masih betah di dalam lift. Yang mungkin itu artinya mereka akan menuju ke lantai yang lain.

"Lantai lima, Pak," jawab Kintan agak takut.

"Di sini kan lantai lima."

"Pintu liftnya tertutup tuh," sahut yang lain.

Melihat itu Kintan buru-buru melesat pergi. Keyra hanya mampu terbengong menatap kepergian Kintan yang mendadak. Padahal cekalan tangannya lumayan erat.

"Kamu mau ke lantai berapa?" tanya orang itu lagi setelah lift melaju naik.

Keyra menelan ludahnya kasar. "L-lantai enam, Pak."

"Lantai enam?" tanya laki-laki yang kini berdiri di barisan paling depan.

Laki-laki itu bahkan menoleh ke belakang untuk melihat Keyra dengan lebih jelas. Sedetik kemudian, seringaian laki-laki itu terlihat jelas di mata Keyra. Keyra langsung merasa jantungnya berdetak kencang sekali hingga membuatnya kesulitan untuk bernapas.

"Lantai enam, ya?"

Keyra hanya mampu mengumpat pelan dalam hati. Demi apa dia bertemu lagi dengan orang itu?!

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel