Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6 Satu Kantor

Keyra menatap Kintan ragu. "Gue terima telepon dulu. Siapa tau dari kantor."

Setelah itu Keyra melengos pergi. Hal itu tak luput dari perhatian Kintan yang saat ini terkikik geli melihat ekspresi wajah Keyra. Perempuan itu sudah curiga ada sesuatu yang terjadi pada Keyra.

"Siapa tau dari kantor," ulang Kintan dengan ekspresi geli dan dengan nada suara yang dibuat semirip mungkin dengan Keyra. Bermaksud mengejek.

Lain halnya dengan Keyra yang merasa kesal setengah mati kepada orang yang sudah meneleponnya berulang kali meskipun Keyra sudah menolaknya berulang kali pula.

Keyra menganggap orang yang seperti itu termasuk golongan orang yang tidak tahu malu. Bisanya hanya merusuh saja.

"Mau apalagi kamu?" serobot Keyra tanpa memperdulikan kalau orang di seberang telepon sana terkejut. Keyra tidak peduli. Mau orang itu terkejut, pingsan atau bahkan kejang-kejang, Keyra tidak peduli.

"Wow, santai, Baby. Kok bawaannya emosi mulu sih? Padahal gue barusan nelepon."

"Mau kamu itu apa sih? Nggak usah ganggu saya lagi. Urusan kita sudah selesai!"

"Mana bisa kayak gitu. Menurut gue kejadian yang kemarin itu terlalu berharga kalau kita lupakan gitu aja. Gue malah berharap kalau lo mau ngulang lagi yang kemarin itu."

"Jangan harap, ya, kamu! Sudah, jangan ganggu saya lagi!"

"Nggak bisa. Gue nggak mau."

Mata Keyra melotot tidak sadar. Orang ini, memang sudah sinting! "Kenapa nggak mau?"

"Karena gue udah merasa kita cocok. Gue nggak mau kita udahan gitu aja."

"Kamu sakit, ya? Atau kamu lagi tidur, terus mimpi?"

"Gue sadar seratus persen."

"Ah, terserah kamu."

"By the way, lo di mana sekarang? Kalau semisal gue datang ke tempat lo, gimana?"

"Jangan harap saya mau menyambut kamu!"

"Nggak disambut juga nggak apa-apa kok. Yang penting kita bertemu. Sekarang lo di mana? Gue mau meluncur ke sana."

"Nggak usah!"

Keyra memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Terserah laki-laki itu mau menganggapnya apa. Lagi pula Keyra tak mau berurusan lagi dengan laki-laki itu. Kepalanya bisa pusing tujuh keliling kalau memikirkan orang itu.

"Orang stres!" umpat Keyra dengan segala kekesalannya.

"Siapa yang stres, Key?"

Keyra mengerjap. Kemunculan Kintan yang tiba-tiba itu jelas membuat Keyra tersentak kaget. Hampir saja Keyra menjatuhkan ponselnya kalau saja tangannya tak erat dalam menggenggam.

Tak cukup itu saja, Keyra juga kesal lantaran Kintan selalu muncul tiba-tiba. Sesuka hati dan membuatnya hampir jantungan.

"Bukan siapa-siapa. Lo nggak kenal."

"Dasar!"

"Nanti malam mau masak apa?" tanya Keyra yang memang sengaja mengalihkan perhatian, "masak sup ayam gimana? Udah lama gue nggak makan sup ayam."

"Ayam siapa yang mau lo masak?"

"Lo nggak punya sediaan ayam potong, Tan?"

"Nggak ada. Udah lama juga gue nggak belanja ayam potong. Gimana kalau kita curi ayam tetangga?"

Keyra tersenyum misterius. "Bagus juga ide lo. Mau tetangga yang mana nih? Kanan apa kiri?"

"Kanan aja deh. Katanya lebih baik kanan daripada kiri."

Keyra sontak terbahak mendengar ungkapan Kintan. "Kalau lo ngomongin baik dan salah untuk apa juga kita maling ayam orang?"

Seolah sadar dan mengerti maksud Keyra, Kintan menggaruk kepalanya. "Iya, juga sih. Terus gimana?"

"Gimana apanya?"

"Lah, kata lo tadi minta masak sup ayam sedangkan kita nggak ada sediaan ayam potong."

"Beli aja sih. Jangan kayak orang miskin deh. Meskipun bener."

"Sialan lo!"

"Jadi, kita beli ayam dulu ke mana?"

"Hm, ke mana, ya? Eh, bentar dulu, Key. Gue masih nunggu kabar dari kantor."

Keyra mengernyit. Sambil menunggu Kintan, Keyra memutuskan duduk. "Emang kabar jenis apa yang lo tunggu dari kantor? Kabar kenaikan jabatan?"

"Semoga aja. Tapi, bukan itu sih."

"Lah, terus apa?"

Kintan menghela napas pasrah. "Belum lama ini kantor buat acara pergi liburan sekaligus kerja gitu. Kebetulan deretan petinggi juga ada beberapa yang ikut. Nah, di acara itu ada sesi dokumentasi yang mana nantinya mau tim gue edit. Nanti hasilnya bisa untuk promosi gitu, dibeberapa iklan online."

"Oh, kenapa jadi lo yang edit?"

"Yah, gimana lagi. Itu tugas divisi gue yang termasuk tim pemasaran, kan?"

"Iya, sih. Lah, terus emangnya lo harus stand by gitu?"

"Iya. Soalnya tim dokumentasi bakal langsung hubungi gue. Nanti barulah gue koordinasi sama tim gue. Kalau nggak salah hari ini dikirim. Pak Direktur minta segera foto-foto itu diedit. Katanya lebih cepat, lebih baik."

"Ribet amat."

"Jangan gitulah. Meskipun ribet, besok kantor itu udah jadi ladang duit lo."

Keyra mendesah kecewa. "Oh, iya. Besok gue mulai kerja, ya? Berarti mulai besok nggak ada jadwal gue buat nganggur."

"Makanya jang— eh!"

Keyra melotot heran. Pasalnya Kintan tampak heboh saat sedang memeriksa ponselnya. "Kenapa, Tan? Udah dikirim?"

"Udah!" seru Kintan tak kalah heboh. "Key, lo mau liat fotonya nggak?"

"Emang lo udah hubungin tim lo?"

"Alah, nanti kan bisa." Kintan menarik Keyra yang sedang menuangkan air minum.

"Pelan-pelan kan bisa, Tan!"

"Liat nih. Ada gue!"

Keyra yang sedang minum pun ikut menyaksikan deretan gambar yang ditunjukan Kintan meski hanya melirik. Hingga diurutan foto keempat, Keyra tersedak.

"Apaan sih, Key. Jorok ih. Muncrat kena tangan gue nih," ucap Kintan dengan ekspresi jijiknya.

"Ulangi foto sebelumnya."

"Maksudnya?"

"Mundur."

"Yang ini?"

Keyra mengangguk cepat, sama cepatnya dengan tangan kanannya yang merampas ponsel Kintan. Bahkan, Kintan hampir saja mengamuk karena ponselnya nyaris menghantam lantai.

"Si-siapa mereka?"

"Yang mana?"

"Semuanya. Semua yang ada difoto itu."

Kintan menyengir lebar, tampak sombong. "Oh ini, lo pinter juga ya nyari foto yang berisi laki-laki tampan dan kaya raya."

Keyra mendelik kesal. "Bukan itu, Tan, yang gue tanya. Elah!"

"Oh, ya, sorry. Jadi, lo tadi tanya apa?"

"Mereka itu, siapa?"

"Yang ini, Mas Candra, yang ini Pak Arian, yang ini Pak Kizan, yang ini Pak Andra,  yang ini Mas Dhani dan yang di sini Pak Farren," jelas Kintan sambil menunjuk satu persatu laki-laki di dalam gambar.

"Siapa?"

Kintan melototi Keyra dengan tajam. "Gue nggak mau ngulang lagi."

"Kok bisa?"

Dengan kerutan di kening, Kintan pun menjawab, "Bisalah. Sebenarnya maksud lo tanya nama mereka tuh buat apa?"

"Ya, cuma pengen tau aja."

"Lo nggak ada niatan buat mepet salah satu di antara mereka, kan? Beberapa dari mereka udah menikah. Sisanya masih sendiri dan ada juga yang udah punya calon."

"Lah, kenapa lo yang sewot? Kan gue cuma tanya."

"Soalnya aneh kalau lo tanya tanpa sebab gitu. Jujur sama gue, lo suka sama salah satu di antara mereka, ya? Atau lo kenal mereka? Atau lo diem-diem ada hubungan sama salah satu dari mereka? Atau lo ad—"

"Nggak ada. Gue nggak kenal mereka," potong Keyra secepat mungkin. "Lagian gue baru pertama kali denger nama mereka."

"Serius?" tanya Kintan dengan nada tidak percaya.

"Iya."

"Oh, oke. Kalau gitu gue percaya."

"Hm, ya, harus. Mm, ngomong-ngomong mereka kerja dibagian apa?"

Belum kelar rasa penasaran Kintan sebelumnya, Keyra sudah membuat Kintan penasaran lagi. "Nah, kan! Lo memang kepo. Pasti ada sesuatu nih. Jujur sama gue, ada apa sih?"

Kepala Keyra langsung menggeleng. "Nggak ada. Beneran deh."

"Ngibul kan lo. Liat aja besok, kalau sampe lo ketemu sama mereka dan tingkah lo aneh, gue akan anggap lo memang ada sesuatu sama mereka."

"Terserah lo aja."

"Awas lo."

"Iya, bawel!"

"Liat aja besok."

"Udahlah, Tan. Diem, berisik!"

Tanpa menunggu lama, Keyra segera pergi dari sana. Lama-lama, telinganya bisa berasap bila mendengar ocehan Kintan yang tidak ada hentinya itu.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel